Rabu, 08 Mei 2013

"Fragmented State" (Negara Dasamuka)


Issu tumpang tindih tugas, fungsi, dan kewenangan antar instansi pemerintah sudah teramat sering kita dengarkan. Begitu pula kabar tentang sulitnya koordinasi dan sinergi antar lembaga karena kuatnya egoisme sektoral dan institusional, seperti menjadi menu wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, saya cukup terperanjat saat mendengarkan paparan Kadin Kota Batam yang begitu lugas mengupas tuntas persoalan dunia usaha yang bersumber dari tidak efektifnya kelembagaan pemerintah serta tidak jelasnya mekanisme tatalaksana birokrasi. 

Pengusaha pelayaran yang kebetulan sedang menjadi formatuur untuk menyusun pengurus Kadin Kota Batam ini melempar pertanyaan, apakah di Indonesia ada Administrasi Maritim? Peraturan perundangan yang mengatur kelautan mungkin sudah terlalu banyak, namun hal ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa kita sudah memiliki maritime administration. Sebab, administrasi maritim tidak hanya berhubungan dengan payung hukum atau regulasi semata, namun juga mencakup kelembagaan kemaritiman yang terpadu, business process atau tatakelolanya, SDM yang kompeten dari policy maker hingga coast guard-nya, juga mengenai sumber-sumber daya dan fungsi manajemennya (budgeting, planning, controlling, networking, empowering, etc.). Kitapun sudah memiliki Akademi Pelayaran, namun administrasi maritim nampaknya menghendaki cakupan yang lebih luas dibanding sekedar teknis pelayaran, meliputi hukum internasional, sistem politik/ekonomi/pemerintahan/sosial budaya sebuah negara, issu pertahanan/kedaulatan/HAM/nasionalisme, dan seterusnya.  

Dari ketiadaan administrasi maritim ini, berdampak pada munculnya gesekan yang makin menguat antar instansi. Ibu dari Kadin tadi memberi contoh misalnya terjadinya friksi antara Bea Cukai dengan BP. Batam. Bea Cukai tidak mengakui Batam sebagai free trade zone, sehingga tetap memungut cukai atau bea masuk terhadap produk-produk barang impor, sementara BP Batam tetap bersikukuh bahwa semua barang impor tidak boleh lagi dipungut pajak atau bea masuk. Friksi serupa terjadi antara BP Batam dan pemkot Batam, dimana ada tuntutan dari sekelompok masyarakat (baik tuntutan murni maupun ada unsur penunggangan) untuk membubarkan BP Batam. Ironisnya, Kementerian Perhubungan juga terlibat friksi dengan BP Batam, dimana jasa sandar kapal di pelabuhan semestinya masuk atau dibayarkan kepada Perhubungan Laut, namun justru dipungut oleh BP. Batam. Apakah friksi ini berhenti sampai disini? Ternyata tidak. Ibu dari Kadin masih bercerita bahwa selama ini terjadi kasus penghentian atau penyetopan kapal di tengah laut oleh Angkatan Laut, Bea Cukai, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, dan lain-lain, yang ujung-ujungnya diselesaikan dengan “cara damai”. 

Sekali lagi, hal-hal yang mengemuka dari pelaku usaha di Batam tadi sungguh membuat saya terperanjat. Bukankah selama ini ada Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, yang diketuai oleh Menko Perekonomian, dengan anggota tujuh Menteri (Keuangan, Pedagangan, Perindustrian, Perhubungan, Pekerjaan Umum, Nakertrans, Dalam Negeri) ditambah Kepala Bappenas dan Kepala BKPM. Ketika mereka sudah terkumpul dalam satu wadah, mengapa overlap dan duplikasi tadi masih saja tidak terhindarkan? Lebih-lebih saat ini Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan dijabat orang yang sama, masihkah ada alasan tentang sulitnya koordinasi? Apakah para pembesar negeri ini benar-benar tidak mengetahui ada permasalahan dibawah, ataukah memang tidak memiliki kepedulian dan membiarkan masalah tanpa alasan yang tidak jelas? 

Banyaknya lembaga yang menangani suatu urusan secara “keroyokan” tanpa didukung oleh sistem komunikasi dan koordinasi yang baik, menjadi indikator negara yang terfragmentasi (fragmented state), bukan dalam konteks geografis atau kewilayahan, namun fragmentasi secara kelembagaan dan kebijakan. Negara menjadi “berwajah banyak” (Dasamuka) di hadapan warganya, yang jelas membuat warga bingung bahkan frustasi. Setiap institusi selalu meng-claim dirinya sebagai representasi negara yang memiliki otoritas berdasarkan peraturan hukumnya masing-masing, namun tidak peduli dan tidak berinteraksi dengan institusi diluar dirinya. Kesan yang muncul kemudian adalah negara ini menciptakan banyak institusi dan bekerja berdasar prinsip “semua mengerjakan semua”. Hubungan antar lembaga menjadi benang kusut yang mustahil terurai, kecuali dengan memotong benang tersebut. 

Situasi kontras kami peroleh saat berkunjung ke PT. Bintan Resort Cakrawala. Kedatangan kami disambut oleh seorang manajer, dan ternyata dia pula yang memberi paparan tentang berbagai hal terkait perusahaannya. Tidak disangka-sangka, dia juga yang mengantar dan memandu kami berkunjung ke lapangan seperti ke pelabuhan, Nirwana Garden, padang golf, dan sebagainya. Tidak berhenti sampai disini, dia juga yang menyiapkan makan siang dan menemani rombongan. Hingga akhirnya, dia pula yang melepas rombongan kami melanjutkan perjalanan. Cara bekerjanya begitu efisien, tidak ada duplikasi, gesit dan cekatan, dan tuntas. Kesan yang muncul adalah “sesedikit mungkin orang, mengerjakan sebanyak mungkin urusan”. 

Dalam konteks birokrasi, semestinya prinsip one institution with multiple functions juga harus dilakukan. Arsitektur kelembagaan pemerintahan yang banyak dan gemuk, tidak terikat oleh visi besar yang sama, serta banyaknya atribut khas yang mencirikan keangkuhan institusional, harus dipangkas menjadi kelembagaan yang sedikit, ramping, menjalankan visi besar yang jelas, serta costumer friendly atau ramah terhadap pelanggan. Wajah-wajah yang banyak harus dioperasi dan dilebur menjadi satu wajah, sehingga warga negara tidak kehilangan banyak waktu dan banyak biaya saat berhubungan dengan entitas bernama “negara”. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 7 Mei 2013

Tidak ada komentar: