Issu tumpang tindih tugas,
fungsi, dan kewenangan antar instansi pemerintah sudah teramat sering kita
dengarkan. Begitu pula kabar tentang sulitnya koordinasi dan sinergi antar lembaga
karena kuatnya egoisme sektoral dan institusional, seperti menjadi menu wajib
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, saya cukup terperanjat
saat mendengarkan paparan Kadin Kota Batam yang begitu lugas mengupas tuntas
persoalan dunia usaha yang bersumber dari tidak efektifnya kelembagaan
pemerintah serta tidak jelasnya mekanisme tatalaksana birokrasi.
Pengusaha
pelayaran yang kebetulan sedang menjadi formatuur
untuk menyusun pengurus Kadin Kota Batam ini melempar pertanyaan, apakah di
Indonesia ada Administrasi Maritim? Peraturan perundangan yang mengatur
kelautan mungkin sudah terlalu banyak, namun hal ini tidak cukup untuk
mengatakan bahwa kita sudah memiliki maritime
administration. Sebab, administrasi maritim tidak hanya berhubungan dengan payung
hukum atau regulasi semata, namun juga mencakup kelembagaan kemaritiman yang terpadu, business
process atau tatakelolanya, SDM yang kompeten dari policy maker hingga coast
guard-nya, juga mengenai sumber-sumber daya dan fungsi manajemennya (budgeting, planning, controlling, networking,
empowering, etc.). Kitapun sudah memiliki Akademi Pelayaran, namun administrasi
maritim nampaknya menghendaki cakupan yang lebih luas dibanding sekedar teknis
pelayaran, meliputi hukum internasional, sistem politik/ekonomi/pemerintahan/sosial
budaya sebuah negara, issu pertahanan/kedaulatan/HAM/nasionalisme, dan
seterusnya.
Dari
ketiadaan administrasi maritim ini, berdampak pada munculnya gesekan yang makin
menguat antar instansi. Ibu dari Kadin tadi memberi contoh misalnya terjadinya friksi
antara Bea Cukai dengan BP. Batam. Bea Cukai tidak mengakui Batam sebagai free trade zone, sehingga tetap memungut
cukai atau bea masuk terhadap produk-produk barang impor, sementara BP Batam
tetap bersikukuh bahwa semua barang impor tidak boleh lagi dipungut pajak atau
bea masuk. Friksi serupa terjadi antara BP Batam dan pemkot Batam, dimana ada
tuntutan dari sekelompok masyarakat (baik tuntutan murni maupun ada unsur
penunggangan) untuk membubarkan BP Batam. Ironisnya, Kementerian Perhubungan
juga terlibat friksi dengan BP Batam, dimana jasa sandar kapal di pelabuhan
semestinya masuk atau dibayarkan kepada Perhubungan Laut, namun justru dipungut
oleh BP. Batam. Apakah friksi ini berhenti sampai disini? Ternyata tidak. Ibu dari
Kadin masih bercerita bahwa selama ini terjadi kasus penghentian atau penyetopan
kapal di tengah laut oleh Angkatan Laut, Bea Cukai, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan,
dan lain-lain, yang ujung-ujungnya diselesaikan dengan “cara damai”.
Sekali lagi, hal-hal yang
mengemuka dari pelaku usaha di Batam tadi sungguh membuat saya terperanjat. Bukankah
selama ini ada Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, yang diketuai oleh Menko
Perekonomian, dengan anggota tujuh Menteri (Keuangan, Pedagangan, Perindustrian,
Perhubungan, Pekerjaan Umum, Nakertrans, Dalam Negeri) ditambah Kepala Bappenas
dan Kepala BKPM. Ketika mereka sudah terkumpul dalam satu wadah, mengapa overlap dan duplikasi tadi masih saja
tidak terhindarkan? Lebih-lebih saat ini Menko Perekonomian dan Menteri
Keuangan dijabat orang yang sama, masihkah ada alasan tentang sulitnya
koordinasi? Apakah para pembesar negeri ini benar-benar tidak mengetahui ada permasalahan
dibawah, ataukah memang tidak memiliki kepedulian dan membiarkan masalah tanpa alasan
yang tidak jelas?
Banyaknya
lembaga yang menangani suatu urusan secara “keroyokan” tanpa didukung oleh sistem
komunikasi dan koordinasi yang baik, menjadi indikator negara yang
terfragmentasi (fragmented state),
bukan dalam konteks geografis atau kewilayahan, namun fragmentasi secara kelembagaan
dan kebijakan. Negara menjadi “berwajah banyak” (Dasamuka) di hadapan warganya, yang jelas membuat warga bingung
bahkan frustasi. Setiap institusi selalu meng-claim dirinya sebagai representasi negara yang memiliki otoritas berdasarkan
peraturan hukumnya masing-masing, namun tidak peduli dan tidak berinteraksi dengan
institusi diluar dirinya. Kesan yang muncul kemudian adalah negara ini
menciptakan banyak institusi dan bekerja berdasar prinsip “semua mengerjakan
semua”. Hubungan antar lembaga menjadi benang kusut yang mustahil terurai,
kecuali dengan memotong benang tersebut.
Situasi
kontras kami peroleh saat berkunjung ke PT. Bintan Resort Cakrawala. Kedatangan
kami disambut oleh seorang manajer, dan ternyata dia pula yang memberi paparan
tentang berbagai hal terkait perusahaannya. Tidak disangka-sangka, dia juga
yang mengantar dan memandu kami berkunjung ke lapangan seperti ke pelabuhan,
Nirwana Garden, padang golf, dan sebagainya. Tidak berhenti sampai disini, dia
juga yang menyiapkan makan siang dan menemani rombongan. Hingga akhirnya, dia
pula yang melepas rombongan kami melanjutkan perjalanan. Cara bekerjanya begitu
efisien, tidak ada duplikasi, gesit dan cekatan, dan tuntas. Kesan yang muncul
adalah “sesedikit mungkin orang, mengerjakan sebanyak mungkin urusan”.
Dalam
konteks birokrasi, semestinya prinsip one
institution with multiple functions juga harus dilakukan. Arsitektur kelembagaan
pemerintahan yang banyak dan gemuk, tidak terikat oleh visi besar yang sama,
serta banyaknya atribut khas yang mencirikan keangkuhan institusional, harus dipangkas
menjadi kelembagaan yang sedikit, ramping, menjalankan visi besar yang jelas,
serta costumer friendly atau ramah
terhadap pelanggan. Wajah-wajah yang banyak harus dioperasi dan dilebur menjadi
satu wajah, sehingga warga negara tidak kehilangan banyak waktu dan banyak
biaya saat berhubungan dengan entitas bernama “negara”.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 7 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar