Iseng-iseng saya
membuat survey melalui Blog saya tentang korupsi. Awalnya saya ingin membuat
banyak pertanyaan, mulai dari pengertian responden tentang korupsi, faktor yang
mendorong terjadinya korupsi, kesungguhan aparat hukum menangani kasus korupsi,
para pelaku korupsi, dan seterusnya hingga strategi menghapus korupsi dari bumi
pertiwi. Namun, Blog gratisan saya nampaknya memang tidak didesain sebagai Blog
yang bersifat akademik dan interaktif, sehingga akhirnya saya hanya bisa
membuat satu pertanyaan tentang strategi mengatasi korupsi.
Pertanyaan saya
adalah: “Menurut Anda, apa solusi terbaik untuk mencegah dan memberantas korupsi?". Terhadap pertanyaan tersebut, saya menyediakan 6 (enam) opsi
jawaban. 4 (empat) jawaban pertama menyangkut upaya pencegahan, sedangkan 2 (dua)
jawaban lain merupakan langkah pemberantasan korupsi. Keenam opsi jawaban
tersebut adalah:
- Meningkatkan kesejahteraan pejabat;
- Memperkuat landasan spiritual dan religius para pejabat;
- Menciptakan sistem pengelolaan keuangan yg lebih mudah dan transparan;
- Memasukkan korupsi dalam kurikulum pendidikan;
- Penegakan hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif;
- Ancaman pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya.
Karena ini hanya
survey iseng-isengan saja, maka saya tidak menetapkan populasi dan target
sampel dari responden saya. Saya juga tidak memperhitungkan aspek waktu
pelaksanaan survey, apalagi dikaitkan dengan kasus-kasus tertentu. Ini
benar-benar hanya helicopter view
yang ingin melihat di tingkat permukaan terhadap pendapat siapapun yang kebetulan
berkunjung ke Blog saya.
Sampai saya buat
tulisan ini, ada 42 orang yang memberikan jawaban, dimana setiap responden
boleh memberikan jawaban lebih dari satu. Dan saya ucapkan terimakasih kepada
Blogspot yang secara langsung telah membuat rekapitulasi terhadap seluruh
jawaban yang masuk. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Opsi Jawaban
|
Distribusi
& Persentase Jawaban
|
Meningkatkan
kesejahteraan pejabat
|
2 (4%)
|
Memperkuat
landasan spiritual dan relijius para pejabat
|
13 (30%)
|
Menciptakan
sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan transparan
|
16 (38%)
|
Memasukkan
korupsi dalam kurikulum pendidikan
|
8 (19%)
|
Penegakan
hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif
|
21 (50%)
|
Ancaman
pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya
|
19 (45%)
|
Dari rekap diatas nampaklah bahwa responden lebih mendukung
upaya pemberantasan dari pada pencegaha, yang ditunjukkan oleh banyaknya
pilihan terhadap opsi penegakan hukum yang tegas dan pemberian ancaman pidana
mati (death sentence). Ini saya kira
mencerminkan harapan umum masyarakat Indonesia yang menginginkan para koruptor
dihukum seberat-beratnya. Dan harapan ini sama sekali tidak ada salahnya,
mengingat korupsi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merusak sendi-sendi kehidupan rakyat di
bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan. Jika saja
korupsi dapat ditekan mendekati zero
corruption, kesulitan pendanaan dalam pembangunan sub-way, monorail, atau bahkan jembatan Selat Sunda, mungkin sekali
tidak akan muncul. Sangat boleh jadi pula, masalah busung lapar, lumpuh layu,
atau kematian karena kurang makan, tidak akan pernah kita dengarkan jika tidak ada korupsi di negeri ini. Maka
wajarlah jika masyarakat menuntut pemberian sanksi yang tegas, jika perlu yang
keras, terhadap pelaku korupsi. Itu saja mungkin tidak cukup. Masyarakatpun
masih mencaci, menghijat, dan mendoakan para manusia serakah tadi agar abadi di
kerak neraka.
Namun, pilihan responden yang cenderung pada upaya
penanganan dibanding pencegahan menurut saya juga menunjukkan karakter bangsa
ini yang menyukai segala sesuatu yang bersifat instan, jangka pendek, mudah
dilihat hasilnya seketika, dan tidak memberi prioritas terhadap masalah jangka
panjang. padahal dari teori gunung es (Iceberg
Theory), pemberian hukuman seberat apapun terhadap koruptor dapat dikatakan
sebagai langkah reaktif yang hanya mengatasi masalah di permukaan (surface) saja. Berapa banyakpun koruptor
dihukum, akan lahir koruptor-koruptor baru sepanjang tidak ada penanganan yang
lebih mendasar, sistemik, dan komprehensif. Ibaratnya, hilang satu koruptor,
tumbuh seribu koruptor lainnya. Sama juga ketika kita memberihkan sampah di
sungai sementara mindset masyarakat
masih memandang sungai sebagai keranjang sampah, maka tidak akan pernah
terwujud sungai yang bersih dan bebas polusi.
Oleh karena itu, perlu upaya lain yang tidak sekedar rektif,
namun lebih bersifat responsif, generatif, dan sistemik. Nah, strategi
pencegahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya yang lebih responsif,
generatif, dan sistemik tadi. Pemberantasan korupsi sesungguhnya bukan sekedar
target menangkap para pelakunya, namun lebih merupakan proyek besar bangsa
Indonesia bernama nation building dan
character building. Repotnya, saat
ini kita sudah teramat jarang mendengarkan program-program nation building ini. Nampaknya banyak orang merasa bahwa
pembangunan semangat kebangsaan kita telah selesai melalui penataran P-4 (Tap
MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Bahkan kurikulum pendidikan nasional kita amat sedikit (untuk tidak mengatakan
tidak ada sama sekali) mengajarkan soal-soal budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan perjuangan kebangsaan, dan sejenisnya. Saya khawatir, meskipun telah
ada KPK, jika mentalitas bangsa tidak dibangun, dalam kurun 30-50 tahun yang akan
datang korupsi justru lebih menggila dari kondisi sekarang.
Maka menjadi menyimak jawaban responden yang hanya 19% yang
mendukung agar program anti korupsi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak
SD hingga perguruan tinggi. Akan menjadi ironis jika pandangan seperti ini juga
dimiliki para perancang kurikulum dan para pengambil kebijakan lainnya. Coba
kita lihat kasus “sepele” tentang kantin kejujuran di berbagai sekolah. Berapa
banyak sekolah yang dulu berinisiatif membuat kantin di sekolahnya tanpa penunggu?
Siapapun boleh mengambil makanan atau benda lain yang dijual di kantin
tersebut, dan mereka membayar dengan harga yang telah tertera, dan menaruh uang
pembayaran dalam tempat yang tersedia. Jika ada kembalian, para penjual ini
juga yang langsung mengambil uang kembalian. Nah, pertanyaannya: berapa kantin
kejujuran yang masih bertahan saat ini? Saya hanya melihat 1 saja, yakni kantin
kejujuran yang ada di kantor KPK. Ilustrasi ini memberikan sinyal red alert bagi bangsa ini, bahsa
anak-anak usia sekolahpun belum bisa diajak berpikir anti korupsi. Jika
pendidikan anti korupsi tidak diprioritaskan dan dimulai sekarang juga, mau
jadi apa bangsa Indonesia dalam waktu 30-50 tahun mendatang?
Menarik pula untuk menyimak jawaban responden yang hanya
sebesar 4% yang menyetujui peningkatan kesejahteraan pejabat sebagai strategi
penanggulanagn korupsi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan desain
reformasi birokrasi yang justru memberikan penambahan tunjangan kinerja (lebih
umum dikenal dengan istilah remunerasi) bagi PNS seluruh level. Semakin tinggi
jabatan seseorang, maka semakin besar pula tunjangan yang diterimanya. Bahkan
di kementerian tertentu yang sudah menerima tunjangan kinerja 100%, smasih pula
memberikan Tunjangan Kinerja Tambahan yang besarnya bisa sama dengan Tunjangan
Kinerja pokok.hal inilah yang sangat berpotensi menyakiti hati masyarakat,
terutama yang tergolong miskin dan seolah tidak mampu turut menikmati kue
pembangunan. Bagi mereka, bisa saja pemberian tunjangan kinerja ini adalah sebuah
kamuflase untuk melegalkan korupsi.
Perbedaan cara pandang antara masyarakat umum dengan
pemerintah seperti nampaknya akan menjadi perbedaan yang tidak pernah ketemu
titik. Pemerintah meyakini bahwa memberantas korupsi haruslah dengan memberikan
kesejahteraan yang cukup, karena memang salah satu penyebab korupsi adalah
kebutuhan yang mendesak (corruption by
needs). Sementara masyarakat lebih melihat masalah korupsi di tubuh
pemerintahan disebabkan oleh keserakahan (corruption
by greed), mengingat taraf kehidupan aparat secara umum tidak kekurangan,
bahkan sebagian memamerkan kemewahan ditengah kemiskinan warga. Selain itu,
kasus-kasus korupsi perpajakan misalnya, memberikan bukti tak terbantahkan
bahwa kesejahteraan seorang pegawai akan menghapus perilaku dan tindakan
korupsi pegawai yang bersangkutan.
Diantara perbedaan pandangan diatas, saya pribadi mendukung
yang kedua. Saya termasuk yang tidak pernah setuju ketika ada argumen yang
menyatakan bahwa agar hakim terlibat pada dugaan kasus mafia peradilan salah
satunya adalah karena faktor ekonomi hakim tersebut, sehingga munculah
kebijakan memberikan kenaikan gaji dan/atau tunjangan hakim. Demikian pula
seorang dokter spesialis yang lebih banyak berpraktek bukan di RS karena alasan
gaji yang rendah, kemudian disikapi dengan pemberian tunjangan kelangkaan
profesi. Di salah satu daerah di Kalimantan, tunjangan kelangkaan profesi
dokter spesialis bisa mencapai 25 hingga 30 juta/bulan. Bagi saya, perbuatan
(okmun) hakim yang terlibat mafia peradilan dengan jual beli perkara, atau
seorang dokter spesialis yang tidak disiplin waktu dan berkinerja rendah,
pilihannya hanya satu, yakni tegakkan aturan apa adanya, bukan malah dimanja
dengan pemberian tunjangan. Ini pola pikir yang bagi saya menyesatkan dan tidak
berlandaskan pada rasa keadilan terhadap sesama pegawai atau profesi lainnya.
Persoalan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan
transparan menurut saya juga menarik dicermati. Dalam pengamatan saya, sistem
keuangan yang ada saat ini masih menerapkan prinsip kebenaran formil dari pada
kebenaran material. Kasus nyata yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika
saya masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur, salah satu tanggungjawab
saya adalah pencetakan hasil kajian dalam wujud buku. Saya sangat bersyukur
dengan mitra percetakan yang jujur dan berdedikasi, sehingga mereka melaporkan
bahwa dari dana yang sudah teralokasikan, mereka dapat memenuhi jumlah
eksemplar buku sesuai standard an target lembaga. Hebatnya, mereka mengatakan
bahwa secara riil masih ada sisa dana, dan mereka menawarkan untuk apa uang
tersebut akan digunakan. Sebenarnya, itu adalah hak penuh mereka yang tidak
perlu lagi dilaporkan kepada kami. Tugas mereka mencetak dan tugas kami
membayar sesuai aturan, maka selesailah perkaranya. Itulah sebabnya, saya katakan
mitra percetakan tadi sebagai pihak yang berdedikasi, dan ini patut menjadi
contoh bagi kalangan aparatur. Karena terus ditanya, maka saya sarankan agar dimanfaatkan
untuk mencetak buku yang sama, sehingga total buku yang kami terima lebih dari
target. Namun alangkah terkejutnya ketika hal itu disalahkan oleh Inspektorat
pada saat melakukan pemeriksaan. Menurut mereka, hal seperti itu bisa
dikategorikan sebagai upaya memperkaya orang lain.
Itu hanya
sedikit kasus betapa sistem administrasi penganggaran (perencanaan hingga
pemeriksaannya) sangat formalistik dan kaku, buta terhadap inovasi dan
kejujuran, dan tuli terhadap suara kebenaran yang lebih substansial. Dengan
sistem yang ada seperti saat ini, menurut saya sangat rentan terhadap niat-niat
jahat, apalagi jika disertai dengan permufakatan jahat. Contoh klasik bisa kita
lihat dalam hal penggunaan anggaran perjalanan dinas. Dimana BPK beberapa waktu
yang lalu mengindikasikan kebocoran sebesar 40% lebih. Bagi saya, kebocoran substansial
bisa saja mencapai 70%. Artinya, perjalanan dinas itu sesungguhnya tidak
diperlukan sebesar itu. “Kebocoran” bukan hanya manipulasi tiket atau kuitansi
hotel, namun juga karena penggelembungan jumlah orang yang berangkat,
penggelembungan lama hari, atau penggelembungan tujuan perjalanan. Namun
sepanjang administrasinya lengkap, maka sistem audit kita akan menyatakan
sebagai “benar”, meskipun didalamnya terkandung niat-niat yang tidak semestinya
dalam penggunaan anggaran perjalanan tersebut.
Banyak lagi yang
bisa kita refleksikan dari survey mini tadi, Insya Allah lain kali akan saya
teruskan setelah saya buat survey yang serupa yang mendukung issu “seksi” ini.
Terima kasih untuk sahabat-sahabat yang terus setia mengunjungi Blog saya.
Salam hormat dan akrab selalu !!