Pak Zhou si Peternak Domba
Alkisah, pak Zhou gelisah dan resah.
Peternak domba itu semakin hari semakin terganggu oleh anjing para tetangganya.
Anjing-anjing itu tak hanya mengejar, tetapi juga menerkam domba-dombanya.
Hampir setiap hari pak Zhou menemukan satu demi satu dombanya mati. Menghadapi
masalah pelik itu, berbagai pilihan terbersit di benak pak Zhou. Pertama,
pindah ke tempat lain yang lebih bersahabat. Kedua, membawa persoalan ini ke
ranah hukum, meminta hakim menghukum mereka. Ketiga, dan inilah yang ia pilih:
berbicara kepada para tetangganya, mengunjungi mereka di rumahnya, dan kepada
anak-anak tetangganya ia berikan masing-masing seekor anak domba untuk
dipelihara. Waktu berjalan terus dan kini semua tetangganya punya domba seperti
dirinya. Pak Zhou akhirnya tersenyum bahagia ketika menyadari satu demi satu
tetangganya mengikat anjing mereka, tidak lagi membiarkannya berkeliaran
memburu domba. Sejak saat itu tak ada lagi anak-anak domba yang ketakutan atau
mati diterkam anjing (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 201-202).
* * *
Hidup Adalah Milik Sang Penyelamat
Tersebutlah seorang bocah sedang
berjalan-jalan di kebun dan melihat seekor angsa yang terbang menukik sambil
menjerit kesakitan lalu tersungkur di semak-semak. Bergegas ia mendekatinya dan
ternyata burung besar itu terkena panah. Segera ia memeluknya, lalu memberinya
minum dari buli-buli di pinggangnya supaya tenang. Dengan hati-hati ia mencabut
panah itu dan merobek ujung bajunya untuk membalut lukanya supaya darah berhenti
mengucur. Diambilnya dedaunan, diremasnya, lalu dibalutkannya sebagai obat.
Tiba-tiba, datanglah laki-laki lain sambil menenteng busur lalu meminta supaya
angsa itu diserahkan kepadanya, karena ialah yang memanahnya. Bocah itu
menolak: "Kalau mati, ia milikmu. Tetapi burung ini masih hidup, dan saya
telah menyelamatkannya. Kamu tidak berhak atasnya". Tidak terima,
persoalan itu akhirnya dibawa ke sidang orang-orang bijaksana. Setelah
bersidang akhirnya diputuskanlah: "Kehidupan adalah milik mereka yang
menyelamatkannya, bukan yang menghancurkannya". Bocah laki-laki yang
menyelamatkan angsa itu kelak dikenal sebagai Buddha Sidharta Gautama (Sumber:
Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 206-207).
* * *
Kuda Sial Pembawa Keberuntungan
Alkisah
hiduplah seorang lelaki tua di daerah perbatasan sebelah utara. Pada suatu hari
salah satu kudanya melarikan diri ke belantara rerumputan. Mendengar hal ini,
para tetangganya menyatakan simpati atas kehilangannya. Namun lelaki tua itu
berkata: "Mungkin sj ada keberuntungan dibalik peristiwa ini".
Beberapa hari kemudian, si kuda kembali dengan sendirinya dan sbg tambahannya,
seekor kuda liar ikut bersamanya. Melihat hal ini, si lelaki tua diberi selamat
oleh para tetangganya. Namun ia berkata: "Mungkin saja ada kemalangan
dibalik peristiwa ini". Kini setelah memiliki seekor kuda baru,
putranyapun mencoba menungganginya. Suatu hari ketika berderap dengan riang
diatas punggung kuda, putranya terjatuh dan kakinya patah. Sekali lagi para
tetangga menyampaikan kata2 hiburan kepada si lelaki tua. Namun mereka kagum
atas jawabannya: "Mungkin saja ada keberuntungan dibalik peristiwa
ini." Tidak lama kemudian pecahlah peperangan di perbatasan ketika
suku-suku dari utara menyerang wilayah tsb. Semua laki2 berbadan sehat diharuskan
mengangkat senjata. Sebagian besar mrk tewas di medan perang. Namun putra si
lelaki tua dibebaskan dari wajib militer krn kakinya patah, shg ia luput dr
perang itu (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 214).
* * *
Ada sebuah
cerita dari masa Dinasti Qing, tentang seorang pedagang bernama Zhang. Ia pergi
menagih hutang dengan menyeberangi Sungai Yangtze dan baru pulang menjelang
akhir tahun. Dengan memikul barang-barang di pundaknya, iapun pulang pagi-pagi
buta, tetapi harus menunggu dibawah sebuah bangunan dulu karena gerbang kota
belum dibuka. Ia meletakkan tas kantongnya yang penuh emas dan perak lantas
tertidur pulas. Ketika terbangun, ia tak melihat lagi tasnya, lalu segera
mencarinya. Setelah berjalan cukup jauh dan tidak menemukan tasnya, ia kembali
ke tempat tadi. Kini ia benar-benar gusar dan galau. Seorang bapak tua kemudian
muncul dan bertanya mengapa Zhang sesedih itu. Zhang menceritakan peristiwanya.
Tidak dinyana, orang tua itulah yang ternyata mengamankan tas Zhang. "Saya
menemukan ini dibawah situ ketika membuka pintu pagi ini. Saya tidak tahu
apakah ini milikmua" kata pak tua. Setelah memeriksa tasnya dan tidak
kurang suatu apa, Zhang menerimanya dengan penuh rasa syukur, mengucapkan
terimakasih sambil berlutut. Masih utuh semua emas dan peraknya. Sebagian besar
adalah milik majikannya. Zhang yang terharu oleh kebaikan si orangtua berniat
memberikan sebagian. Namun orangtua itu menolak dan mengatakan uang dan emas
bukan kesukaannya.
Zhang pun
pamit. Ketika menunggu perahu di tepi sungai yang sangat lebar itu, angin
tiba-tiba bertiup kencang. Banyak perahu terbalik dan banyak penumpang yang
tenggelam. Melihat peristiwa mengerikan itu, muncul rasa welas asih di hati
Zhang dan berpikir "Hari ini saya mendapatkan kembali emas dan perak yang
telah hilang. Tanpa itu saya pasti celaka. Saya benar-benar mendapat hidup saya
kembali". Lalu ia menggunakan semua uangnya, menyewa sejumlah orang untuk
menyelamatkan mereka yang tenggelam. Puluhan orang terselamatkan oleh hati
belas kasihnya. Semua yang selamat berterimakasih kepada Zhang. Salah satunya
ternyata anak orangtua yang telah mengembalikan tas Zhang tadi pagi, yang juga
dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan urusan dagangnya di utara Sungai
Yangtze. Zhang terkejut akan hal itu. Kemudian ia kisahkan pengalamannya kepada
para korban itu, dan semua orang takjub akan keajaiban itu. Mereka berkata, ini
pastilah hukum langit, kebaikan dibalas dengan kebaikan. Rahmat tidak pernah
berhenti bergerak. Ia mengalir dari satu orang ke orang lain. Tidak
terbayangkan jika orangtua tadi menyembunyikan harta yang ia temukan, maka
aliran rahmat akan berhenti, sebab sangat mungkin Zhang bunuh diri karena
kehilangan hartanya dan hukuman majikannya. Dan jika Zhang bunuh diri, ia tidak
punya kesempatan menyelamatkan orang-orang yang tenggelam, termasuk anak
orangtua tadi. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 222-223).
* * *
Pedang Gantung Raja Ji Zha
Dalam
perjalanannya menuju Negara Jin, Raja Ji Zha dari Negara Wu berniat singgah di
Negara Xu, menemui Raja Xu yang adalah sahabat baiknya. Pertemuan mereka
berlangsung akrab. Raja Xu menyambut tamunya dengan pelayanan sempurna. Mereka
menghabiskan malam sambil bercerita banyak hal. Dalam pertemuan itu, Raja Xu
melihat pedang Raja Ji Zha yang sangat bagus. Pedang itu menarik perhatiannya
dan dalam hati ingin punya pedang seperti itu. Maklum, negara Wu memang
terkenal sebagai pembuat pedang yang bagus dan negeri itu telah berhasil
"menguasai dunia" dengan kehebatan pedang mereka. Melihat bagaimana
kagumnya Raja Xu akan pedangnya, Raja Ji Zha berjanji suatu saat akan
menghadiahkan pedang itu kepada sahabatnya tersebut. Pada kunjungan kali ini
hal itu tak mungkin ia lakukan karena pedang itu masih ia perlukan untuk
tugasnya ke Negara Jin. Raja Ji Zha berpamitan melanjutkan perjalanannya dan
berterimakasih kepada Raja Xu. Raja Ji Zha mengatakan setelah merampungkan
tugasnya nanti, ia akan datang lagi ke negara Xu dan berjanji akan memberikan
hadiah kejutan kpd Raja Xu. Tuan rumah pun melepaskannya dengan senang hati.
Benarlah,
setelah Raja Ji Zha merampungkan tugasnya di Negara Jin, dalam perjalanan
pulang ia singgah lagi di Negara Xu. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika
tidak lagi menemukan sahabatnya. Raja Xu wafat mendadak karena serangan
jantung. Raja Ji Zha merasa sedih. Semakin sedih lagi karena janjinya
memberikan pedang kepada sahabatnya tidak dapat terlaksana. Sebagai gantinya,
ia memberikan pedang itu kepada putra Raja Xu, namun anak itu menolak.
"Ayah tidak meninggalkan wasiat bahwa saya harus menerima pedang dari
baginda. Oleh karena itu, saya tidak berani menerimanya. Mohon maaf
baginda". Raja Ji Zha semakin sedih. Disisi makam Raja Xu, ada tumbuh
sebuah pohon. "Melihat pohon ini, saya seperti melihat Raja Xu. Karena
itu, saya gantung saja pedang ini. Walaupun Raja Xu telah wafat, tetapi di hati
saya masih ada janji. Semoga ia yang sdh di surga bisa melihat pedang ini dan
mengingat janji saya", kata Raja Ji Zha. Kisah Raja Ji Zha yang
menggantungkan pedangnya di pohon dekat makam sahabatnya ini menyebar ke
seantero negeri China. Itu dijadikan orang sebagai perlambang janji yang
ditepati. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 225-226).
* * *
Yang Zhen yang Bijaksana
Yang Zhen
dikenal sebagai pejabat yang jujur dimasa Dinasti Han. Oleh karena kejujurannya
ia selalu mendapat promosi. Kali ini pun ia dipromosikan lagi. Mendengar hal
itu, seorang pejabat lain bernama Wang Mi datang mengucapkan selamat. Wang Mi
menganggap perlu menemui Yang Zhen karena ia merasa berhutang budi padanya. Soalnya,
Yang Zhen adalah orang yang dahulu merekomendasikannya sehingga dapat meniti
karir seperti sekarang. Pada suatu malam Wang Mi mengunjungi rumah Yang Zhen.
Setelah berbasa-basi, Wang Mi mengutarakan maksudnya, ia mengucapkan selamat
atas promosi Yang Zhen, dan oleh karena dirinya turut bergembira, ia ingin
memberikan sesuatu: sekantong emas diserahkannya kepada Yang Zhen.
Yang Zhen
bukannya senang, malahan berang. “Aku merekomendasikan kamu dahulu karena
kerjamu sangat bagus, mengurus masalah dengan sangat hebat. Jadi kuharap kau
memahami hal ini,” kata Yang Zhen sambil menolak pemberian Wang Mi.
Wang Mi terus
mendesak. “Saya hanya ingin membalas kebaikan bapak. Sekarang tengah malam,
tidak ada yang tahu,” kata Wang Mi membujuk. Yang Zhen bertambah marah. “Kamu
salah sekali. Banyak yang tahu. Langit dan bumi tahu. Kau dan aku tahu. Jadi
jangan pernah mengira tidak ada yang tahu. Suatu saat pasti akan ketahuan. Bawa
pulang emasmu, anggap tidak pernah terjadi hal ini. Kamu bekerja demi rakyat,
saya merekomendasikanmu karena saya tahu kemampuanmu,” kata Yang Zhen tegas.
Wang Mi kagum betul pada Yang Zhen dan bertekad akan menjadi pejabat seperti
Yang Zhen, jujur dan berbakti. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal
233-234).
* * *
Penyair Dari Surga
Li Bai adalah penyair
terbesar di era Dinasti Tang. Di zaman itu, puisi-puisi China mencapai zaman
keemasannya. Li Bai menciptakan lebih dari 1.100 syair yang abadi hingga kini.
Menurut legenda, Li Bai pada awalnya adalah dewa yang bertugas membuat puisi di
surga. Tetapi ia memberontak terhadap Kaisar Surga, sehingga diasingkan ke
bumi, berinkarnasi menjadi seorang anak pedagang kaya.
Li Bai kecil
sangat brilian dan berbakat, tetapi pemalas. Ia benci belajar, sering bolos dan
lebih suka bermain-main. Suatu hari, ia bolos lagi dan pergi ke sungai
memancing ikan. Disana, ia terkejut mendapati seorang nenek berambut putih
sedang mengasah sebatang besi dengan batu. Penasaran, Li Bai mendatangi nenek
tua dan bertanya. “Apa yang sedang engkau lakukan, Nek?”
“Aku sedang
menajamkan batang besi ini,” kata nenek itu, tanpa berhenti mengasah. “Untuk
apa nenek melakukannya?” Li Bai bertanya lagi. “Aku ingin membuat jarum jahit,”
jawab si nenek. “Apa?!” Li Bai terperanjat. “Nenek mau mengasah besi yang keras
itu menjadi jarum yang kecil? Itu pasti tak mungkin”.
“Semua hal
mungkin, selama kau tekun mengerjakannya,” katanya menatap Li Bai. “Aku tahu,
mungkin perlu puluhan tahun untuk membuat jarum dari sebatang besi, tetapi itu
tak jadi masalah. Selama aku terus mengasahnya, pasti aku dapat membuatnya.
Ingat anak muda, tidak ada yang tidak mungkin kau capai di dunia ini sepanjang
kau tekun mengerjakannya,” kata si nenek lagi. Li Bai sangat terinspirasi oleh
kata-kata itu. Ia kemudian kembali ke sekolah dan tidak pernah bolos lagi. Ia
bekerja keras menuntut ilmu, hingga kelak menjadi penyair besar.
Suatu hari, Li
Bai berkelana ke Gunung Tai. Disana ia mengunjungi kuil dewa Bixia Yuanjun.
Malam harinya, ia bermimpi bertemu kembali dengan nenek tua yang mengasah bang
besi disisi sungai di masa kecilnya. Nenek tua itu memperkenalkan diri sebagai
Bixia Yuanjun dan berkata kepada Li Bai bahwa dulu ia pernah bertemu di tepi
sungai. Bixia Yuanjun mengetahui bahwa Li Bai malas belajar, sehingga ia
menyamar menjadi seorang nenek tua untuk memberi pelajaran bagi si anak nakal
yang kini telah menjadi penyair besar itu. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese
Ethos, hal 255-256).
* * *
Koin Ajaib
Dalam
perjalanan menuju medan perang, seorang jenderal bersama pasukannya melewati
sebuah kuil. Sang jenderal berhenti sejenak. Ia ingin singgah di kuil itu. Ia
melihat ke belakang, ke arah pasukannya. Dan ia merasakan betapa lemahnya
semangat tempur mereka. Jumlah mereka kalah banyak dibandingkan pasukan musuh.
“Saya mau mencari petunjuk dari langit di kuil ini, apakah kita bisa menang,”
katanyan. “Saya akan melempar koin. Kalau yang muncul gambar, ita menang. Kalau
angka, kita kalah. Hasil pertempuran ini kini ada di tangan kita,” katanya
lagi. Diapun masuk, lalu bersembahyang dengan khusyuk. Lalu ia melempar sebuah
koin ke udara. Hasilnya: gambar!
Melihat hasil
itu, semangat pasukannya langsung naik. Mereka pun berperang dengan gagah
berani dan berhasil menghancurkan musuh. Atas hasil gilang-gemilang itu, tidak
henti-hentinya mereka berterimakasih kepada Kaisar Langit. “Tidak seorangpun
dapat mengubah nasib. Kemenangan ini adalah kehendak Langit,” kata salah
seorang colonel bawahannya.
Sang jenderal
tersenyum dan mengangguk. “Betul Kolonel, memang tidak seorang pun dapat
mengubah nasib,” kata jenderal itu sambil menunjukkan koin yang dilemparkannya.
Ternyata kedua sisi koin itu sama: gambar! Tuhan memang adil dan tidak memihak
siapapun. Tetapi Tuhan membantu mereka yang membantu diri mereka sendiri.
(Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 283-284).
* * *
Menimbang Gajah
Pada zaman
Tiga Kerajaan (220-280), hiduplah Cao Cao, penguasa kerajaan Wei di Utara. Ia
baru saja mendapatkan seekor gajah sebagai hadiah dari penguasa Wu di Selatan.
Ia sangat takjub atas hadiah tersebut karena baru pertama kali ini ada gajah di
negerinya. Orang Utara belum pernah melihat gajah selama ini. Cao Cao sangat
takjub akan besarnya hewan berbelalai tersebut. Ia penasaran ingin tahu
seberapa berat hewan itu, tetapi tidak ada timbangan yang cukup untuk
mengukurnya. Para menteri dimintanya untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak
ada yang bisa. Yang tak disangka, Cao Chong putra bungsu Cao Cao yang berusia
lima tahun, mempunyau sebuah usul. Dia meminta pawang untuk membawa gajah itu
dengan sebuah perahu besar ke sungai. Segera setelah gajah berada diatas perahu
besar itu, terasa bagaimana hewan raksasa itu membebani perahu hingga merendam
dinding luar perahu sampai setengah di dalam air. Cao Chong senang melihat
pemandangan itu, tapi para pegawai istana termasuk ayahnya masih juga belum
mengerti maksudnya.
Cao Chong
kemudian memerintahkan seseorang membuat tanda batas air di dinding perahu.
Setelah itu, is meminta agar si gajah diturunkan. Selanjutnya, ia memerintahkan
agar perahu yang kini telah kosong, diisi dengan batu sebanyak mungkin hingga
sisi perahu itu terendam mencapai tanda yang telah dibuat tadi. Para pegawai
istanapun menurutinya. “Sekarang, ambillah batu-batu itu kembali dan timbanglah
satu per satu. Berat semua batu itu adalah berat gajah itu,” kata sang bcah.
Semua manggut-manggut dan mengerti bagaimana caranya menimbang gajah. (Sumber:
Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 301-302).
* * *
Cincin Bertuah dan Ajaib
Diantara
anak-anaknya, hal ini ia rahasiakan: sebuah cincin bertahtakan permata yang
indah. Bukan cuma indah, cincin itu membawa kehormatan dan keberuntungan kepada
siapa saja yang memakainya: dia menjadi orang yang menyenangkan sikapnya
sehingga banyak orang menyukainya. Pendeknya cincin itu menjadi benda bertuah.
Kelak, ia akan mewariskannya kepada anaknya.
Tapi ada
sedikit masalah. Ia mempunyai tiga putra. Semuanya ia sayangi sama besarnya. Ia
tidak bisa memutuskan kepada siapa akan diberikannya cincin bertuah itu.
Satu-satunya cara untuk sedikit menutupi rasa bersalahnya adalah dengan membuat
dua cincin tiruan yang sama persis. Ia berharap bila saatnya tiba, ketiga
cincin itu akan ia bagikan kepada anak-anaknya. Dengan demikian tak ada
kericuhan karena memperebutkan satu cincin. Dan, memang betul. Menjelang ajal
menjemputnya, ia mengumpulkan anak-anaknya, menyampaikan pesan-pesan terakhir,
dan membagikan cincin tersebut. Semuanya kebagian. Tak ada rebut-ribut sampai
sang ayah meninggal. Namun hanya sebentar saja mereka akur. Entah bagaimana
caranya, terbongkarlah rahasia bahwa hanya ada satu cincin yang asli. Sayangnya
karena cincin yang asli dan tiruan itu persis sama, tak seorangpun tahu siapa
yang kebagian cincin asli warisan sang ayah.
Akhirnya
ketiga anak itu datang menghadap kepada seorang hakim yang bijaksana. “Apa masalah
kalian?” tanya sang hakim. “Begini tuan. Kami mendapat warisan dari ayah kami
tiga buah cincin. Tetapi belakangan kami sadari hanya satu dari cincin ini yang
asli, sedangkan dua lainnya adalah tiruan,” kata salah seorang dari mereka.
“Apa yang membedakan cincin yang asli dan tiruan?” tanya hakim. “Yang asli akan
memberi kehormatan dan keberuntungan kepada pemakainya. Ia akan menjadi orang
yang menyenangkan, baik budi, ramah, jujur, dan penyayang sehingga semua orang
akan mencintainya. Adapun yang tiruan tak mampu melakukan hal itu.”
Hakim yang
bijaksana itu berpikir cukup lama sambil menguji dan meneliti ketiga cincin
itu. Lalu ia meminta ketiga orang yang datang padanya untuk mendengarkan dengan
seksama. Sang hakim sudah tiba pada keputusannya. “Begini. Saya tidak dapat
mengatakan yang mana diantara cincin ini yang benar-benar asli, bertuah, dan
membawa kehormatan dan keberuntungan kepada pemakainya,” kata hakim. “Tapi ada
satu cara untuk membuktikannya. Dan itu ada pada kalian semua. Anda masing-masinglah
yang harus membuktikannya. Jika anda bersikap menyenangkan, baik, ramah,
peduli, jujur, dan pengasih, tentu anda akan dicintai sekelilingmu. Dan itu
berarti andalah pemilik cincin ajaib yang sesungguhnya. Sekarang kembalilah ke
tempat kalian masing-masing. Bawalah kembali cincin ini. Dan mulai sekarang,
Anda harus membuktikan diri sebagai pemakai cincin bertuah, pembawa kehormatan
dan keberuntungan.”
Hakim menutup
sidang. Ketiga orang itupun pulang sambil bertekad menjadi pemilik cincin
bertuah yang asli. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 325-327).
* * *
Kehormatan Dalam Semangkuk Sup
Dimasa perang,
raja negeri Zhong Shan mengadakan jamuan besar dan mengundang menterinya untuk
memperkuat negaranya. “Saya sudah memerintahkan membuat satu panic sup kambing
yang lezat, ayo kita cicipi,” kata raja kepada para menterinya. Lalu merekapun
bersantap. Setiap orang mendapat semangkuk sup. Namun ketika tiba pada giliran
Sima Ziqi, salah seorang menterinya, sup telah habis. Raja meminta maaf kepada
Sima Ziqi, tetapi tampaknya Sima Ziqi sudah sempat terluka. “Kehormatanku sudah
dilukai. Tidak ada sup, ya sudah,” katanya dalam hati.
Ia
meninggalkan perjamuan itu dengan penuh dendam. Tak lama kemudian ia
meninggalkan negara Zhong Shan dan memihak kepada negara Chu yang lebih besar.
Ia menjadi penasihat raja Chu dan menjelek-jelekkan raja Zhong Zhan. Oleh
nasihat-nasihat Sima Ziqi, raja Chu pun mengobarkan perang terhadap negara
Zhong Shan. Tak berapa lama, Zhong Shan jatuh ke tangan Chu. Sima Ziqi merasa puas
telah dapat membalaskan dendamnya.
Beruntung,
raja Zhong Shan masih bisa selamat, dilarikan oleh sekelompok prajurit yang
masih setia. Zhoong Shan terharu dan bertanya apa yang menyebabkan mereka mau
menolongnya. Salah seorang diantara mereka berkata, “Baginda, masih ingatkan
Anda? Saat musim panas dulu, baginda menolong seorang petani dengan memberinya
semangkuk nasi. Dia adalah ayah saya. Sebelum wafat, beliau mengatakan jika
Anda mengalami kesulitan maka saya harus menolong walaupun dengan nyawa.”
Raja Zhong
Shan terdiam. Dalam hati ia menyadari betapa pentingnya kehormatan. Karena
semangkuk sup kamibing ia kehilangan tahtanya. Namun untungnya, karena
semangkuk nasi pula kini ia selamat. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos,
hal 329-330).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar