Kamis, 15 Agustus 2013

Kisah-Kisah Penuh Ethos

Pengantar: Kisah-kisah dibawah ini diambil dari buku Jansen Sinamo berjudul The Chinese Ethos. Buku yang sangat menginspirasi. Saya tidak bermaksud untuk mempromosikan buku tersebut, namun sekedar ingin turut menyebarkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam kisah tersebut, mengingat tidak semua orang telah memiliki buku tersebut. Ketika saya menceritakan salah satu kisah dibawah ini, seorang teman bahkan menanyakan dimana dapat membeli buku tersebut. Terima kasih untuk pak Jansen Sinamo, Guru Ethos Indonesia.


Pak Zhou si Peternak Domba

Alkisah, pak Zhou gelisah dan resah. Peternak domba itu semakin hari semakin terganggu oleh anjing para tetangganya. Anjing-anjing itu tak hanya mengejar, tetapi juga menerkam domba-dombanya. Hampir setiap hari pak Zhou menemukan satu demi satu dombanya mati. Menghadapi masalah pelik itu, berbagai pilihan terbersit di benak pak Zhou. Pertama, pindah ke tempat lain yang lebih bersahabat. Kedua, membawa persoalan ini ke ranah hukum, meminta hakim menghukum mereka. Ketiga, dan inilah yang ia pilih: berbicara kepada para tetangganya, mengunjungi mereka di rumahnya, dan kepada anak-anak tetangganya ia berikan masing-masing seekor anak domba untuk dipelihara. Waktu berjalan terus dan kini semua tetangganya punya domba seperti dirinya. Pak Zhou akhirnya tersenyum bahagia ketika menyadari satu demi satu tetangganya mengikat anjing mereka, tidak lagi membiarkannya berkeliaran memburu domba. Sejak saat itu tak ada lagi anak-anak domba yang ketakutan atau mati diterkam anjing (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 201-202).
* * *

Hidup Adalah Milik Sang Penyelamat

Tersebutlah seorang bocah sedang berjalan-jalan di kebun dan melihat seekor angsa yang terbang menukik sambil menjerit kesakitan lalu tersungkur di semak-semak. Bergegas ia mendekatinya dan ternyata burung besar itu terkena panah. Segera ia memeluknya, lalu memberinya minum dari buli-buli di pinggangnya supaya tenang. Dengan hati-hati ia mencabut panah itu dan merobek ujung bajunya untuk membalut lukanya supaya darah berhenti mengucur. Diambilnya dedaunan, diremasnya, lalu dibalutkannya sebagai obat. Tiba-tiba, datanglah laki-laki lain sambil menenteng busur lalu meminta supaya angsa itu diserahkan kepadanya, karena ialah yang memanahnya. Bocah itu menolak: "Kalau mati, ia milikmu. Tetapi burung ini masih hidup, dan saya telah menyelamatkannya. Kamu tidak berhak atasnya". Tidak terima, persoalan itu akhirnya dibawa ke sidang orang-orang bijaksana. Setelah bersidang akhirnya diputuskanlah: "Kehidupan adalah milik mereka yang menyelamatkannya, bukan yang menghancurkannya". Bocah laki-laki yang menyelamatkan angsa itu kelak dikenal sebagai Buddha Sidharta Gautama (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 206-207).
* * *

Kuda Sial Pembawa Keberuntungan

Alkisah hiduplah seorang lelaki tua di daerah perbatasan sebelah utara. Pada suatu hari salah satu kudanya melarikan diri ke belantara rerumputan. Mendengar hal ini, para tetangganya menyatakan simpati atas kehilangannya. Namun lelaki tua itu berkata: "Mungkin sj ada keberuntungan dibalik peristiwa ini". Beberapa hari kemudian, si kuda kembali dengan sendirinya dan sbg tambahannya, seekor kuda liar ikut bersamanya. Melihat hal ini, si lelaki tua diberi selamat oleh para tetangganya. Namun ia berkata: "Mungkin saja ada kemalangan dibalik peristiwa ini". Kini setelah memiliki seekor kuda baru, putranyapun mencoba menungganginya. Suatu hari ketika berderap dengan riang diatas punggung kuda, putranya terjatuh dan kakinya patah. Sekali lagi para tetangga menyampaikan kata2 hiburan kepada si lelaki tua. Namun mereka kagum atas jawabannya: "Mungkin saja ada keberuntungan dibalik peristiwa ini." Tidak lama kemudian pecahlah peperangan di perbatasan ketika suku-suku dari utara menyerang wilayah tsb. Semua laki2 berbadan sehat diharuskan mengangkat senjata. Sebagian besar mrk tewas di medan perang. Namun putra si lelaki tua dibebaskan dari wajib militer krn kakinya patah, shg ia luput dr perang itu (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 214).
* * *

Ada sebuah cerita dari masa Dinasti Qing, tentang seorang pedagang bernama Zhang. Ia pergi menagih hutang dengan menyeberangi Sungai Yangtze dan baru pulang menjelang akhir tahun. Dengan memikul barang-barang di pundaknya, iapun pulang pagi-pagi buta, tetapi harus menunggu dibawah sebuah bangunan dulu karena gerbang kota belum dibuka. Ia meletakkan tas kantongnya yang penuh emas dan perak lantas tertidur pulas. Ketika terbangun, ia tak melihat lagi tasnya, lalu segera mencarinya. Setelah berjalan cukup jauh dan tidak menemukan tasnya, ia kembali ke tempat tadi. Kini ia benar-benar gusar dan galau. Seorang bapak tua kemudian muncul dan bertanya mengapa Zhang sesedih itu. Zhang menceritakan peristiwanya. Tidak dinyana, orang tua itulah yang ternyata mengamankan tas Zhang. "Saya menemukan ini dibawah situ ketika membuka pintu pagi ini. Saya tidak tahu apakah ini milikmua" kata pak tua. Setelah memeriksa tasnya dan tidak kurang suatu apa, Zhang menerimanya dengan penuh rasa syukur, mengucapkan terimakasih sambil berlutut. Masih utuh semua emas dan peraknya. Sebagian besar adalah milik majikannya. Zhang yang terharu oleh kebaikan si orangtua berniat memberikan sebagian. Namun orangtua itu menolak dan mengatakan uang dan emas bukan kesukaannya.

Zhang pun pamit. Ketika menunggu perahu di tepi sungai yang sangat lebar itu, angin tiba-tiba bertiup kencang. Banyak perahu terbalik dan banyak penumpang yang tenggelam. Melihat peristiwa mengerikan itu, muncul rasa welas asih di hati Zhang dan berpikir "Hari ini saya mendapatkan kembali emas dan perak yang telah hilang. Tanpa itu saya pasti celaka. Saya benar-benar mendapat hidup saya kembali". Lalu ia menggunakan semua uangnya, menyewa sejumlah orang untuk menyelamatkan mereka yang tenggelam. Puluhan orang terselamatkan oleh hati belas kasihnya. Semua yang selamat berterimakasih kepada Zhang. Salah satunya ternyata anak orangtua yang telah mengembalikan tas Zhang tadi pagi, yang juga dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan urusan dagangnya di utara Sungai Yangtze. Zhang terkejut akan hal itu. Kemudian ia kisahkan pengalamannya kepada para korban itu, dan semua orang takjub akan keajaiban itu. Mereka berkata, ini pastilah hukum langit, kebaikan dibalas dengan kebaikan. Rahmat tidak pernah berhenti bergerak. Ia mengalir dari satu orang ke orang lain. Tidak terbayangkan jika orangtua tadi menyembunyikan harta yang ia temukan, maka aliran rahmat akan berhenti, sebab sangat mungkin Zhang bunuh diri karena kehilangan hartanya dan hukuman majikannya. Dan jika Zhang bunuh diri, ia tidak punya kesempatan menyelamatkan orang-orang yang tenggelam, termasuk anak orangtua tadi. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 222-223).

* * *

Pedang Gantung Raja Ji Zha

Dalam perjalanannya menuju Negara Jin, Raja Ji Zha dari Negara Wu berniat singgah di Negara Xu, menemui Raja Xu yang adalah sahabat baiknya. Pertemuan mereka berlangsung akrab. Raja Xu menyambut tamunya dengan pelayanan sempurna. Mereka menghabiskan malam sambil bercerita banyak hal. Dalam pertemuan itu, Raja Xu melihat pedang Raja Ji Zha yang sangat bagus. Pedang itu menarik perhatiannya dan dalam hati ingin punya pedang seperti itu. Maklum, negara Wu memang terkenal sebagai pembuat pedang yang bagus dan negeri itu telah berhasil "menguasai dunia" dengan kehebatan pedang mereka. Melihat bagaimana kagumnya Raja Xu akan pedangnya, Raja Ji Zha berjanji suatu saat akan menghadiahkan pedang itu kepada sahabatnya tersebut. Pada kunjungan kali ini hal itu tak mungkin ia lakukan karena pedang itu masih ia perlukan untuk tugasnya ke Negara Jin. Raja Ji Zha berpamitan melanjutkan perjalanannya dan berterimakasih kepada Raja Xu. Raja Ji Zha mengatakan setelah merampungkan tugasnya nanti, ia akan datang lagi ke negara Xu dan berjanji akan memberikan hadiah kejutan kpd Raja Xu. Tuan rumah pun melepaskannya dengan senang hati.

Benarlah, setelah Raja Ji Zha merampungkan tugasnya di Negara Jin, dalam perjalanan pulang ia singgah lagi di Negara Xu. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika tidak lagi menemukan sahabatnya. Raja Xu wafat mendadak karena serangan jantung. Raja Ji Zha merasa sedih. Semakin sedih lagi karena janjinya memberikan pedang kepada sahabatnya tidak dapat terlaksana. Sebagai gantinya, ia memberikan pedang itu kepada putra Raja Xu, namun anak itu menolak. "Ayah tidak meninggalkan wasiat bahwa saya harus menerima pedang dari baginda. Oleh karena itu, saya tidak berani menerimanya. Mohon maaf baginda". Raja Ji Zha semakin sedih. Disisi makam Raja Xu, ada tumbuh sebuah pohon. "Melihat pohon ini, saya seperti melihat Raja Xu. Karena itu, saya gantung saja pedang ini. Walaupun Raja Xu telah wafat, tetapi di hati saya masih ada janji. Semoga ia yang sdh di surga bisa melihat pedang ini dan mengingat janji saya", kata Raja Ji Zha. Kisah Raja Ji Zha yang menggantungkan pedangnya di pohon dekat makam sahabatnya ini menyebar ke seantero negeri China. Itu dijadikan orang sebagai perlambang janji yang ditepati. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 225-226).
* * *

Yang Zhen yang Bijaksana

Yang Zhen dikenal sebagai pejabat yang jujur dimasa Dinasti Han. Oleh karena kejujurannya ia selalu mendapat promosi. Kali ini pun ia dipromosikan lagi. Mendengar hal itu, seorang pejabat lain bernama Wang Mi datang mengucapkan selamat. Wang Mi menganggap perlu menemui Yang Zhen karena ia merasa berhutang budi padanya. Soalnya, Yang Zhen adalah orang yang dahulu merekomendasikannya sehingga dapat meniti karir seperti sekarang. Pada suatu malam Wang Mi mengunjungi rumah Yang Zhen. Setelah berbasa-basi, Wang Mi mengutarakan maksudnya, ia mengucapkan selamat atas promosi Yang Zhen, dan oleh karena dirinya turut bergembira, ia ingin memberikan sesuatu: sekantong emas diserahkannya kepada Yang Zhen.

Yang Zhen bukannya senang, malahan berang. “Aku merekomendasikan kamu dahulu karena kerjamu sangat bagus, mengurus masalah dengan sangat hebat. Jadi kuharap kau memahami hal ini,” kata Yang Zhen sambil menolak pemberian Wang Mi.

Wang Mi terus mendesak. “Saya hanya ingin membalas kebaikan bapak. Sekarang tengah malam, tidak ada yang tahu,” kata Wang Mi membujuk. Yang Zhen bertambah marah. “Kamu salah sekali. Banyak yang tahu. Langit dan bumi tahu. Kau dan aku tahu. Jadi jangan pernah mengira tidak ada yang tahu. Suatu saat pasti akan ketahuan. Bawa pulang emasmu, anggap tidak pernah terjadi hal ini. Kamu bekerja demi rakyat, saya merekomendasikanmu karena saya tahu kemampuanmu,” kata Yang Zhen tegas. Wang Mi kagum betul pada Yang Zhen dan bertekad akan menjadi pejabat seperti Yang Zhen, jujur dan berbakti. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 233-234).

* * *

Penyair Dari Surga

Li Bai adalah penyair terbesar di era Dinasti Tang. Di zaman itu, puisi-puisi China mencapai zaman keemasannya. Li Bai menciptakan lebih dari 1.100 syair yang abadi hingga kini. Menurut legenda, Li Bai pada awalnya adalah dewa yang bertugas membuat puisi di surga. Tetapi ia memberontak terhadap Kaisar Surga, sehingga diasingkan ke bumi, berinkarnasi menjadi seorang anak pedagang kaya.

Li Bai kecil sangat brilian dan berbakat, tetapi pemalas. Ia benci belajar, sering bolos dan lebih suka bermain-main. Suatu hari, ia bolos lagi dan pergi ke sungai memancing ikan. Disana, ia terkejut mendapati seorang nenek berambut putih sedang mengasah sebatang besi dengan batu. Penasaran, Li Bai mendatangi nenek tua dan bertanya. “Apa yang sedang engkau lakukan, Nek?”

“Aku sedang menajamkan batang besi ini,” kata nenek itu, tanpa berhenti mengasah. “Untuk apa nenek melakukannya?” Li Bai bertanya lagi. “Aku ingin membuat jarum jahit,” jawab si nenek. “Apa?!” Li Bai terperanjat. “Nenek mau mengasah besi yang keras itu menjadi jarum yang kecil? Itu pasti tak mungkin”.

“Semua hal mungkin, selama kau tekun mengerjakannya,” katanya menatap Li Bai. “Aku tahu, mungkin perlu puluhan tahun untuk membuat jarum dari sebatang besi, tetapi itu tak jadi masalah. Selama aku terus mengasahnya, pasti aku dapat membuatnya. Ingat anak muda, tidak ada yang tidak mungkin kau capai di dunia ini sepanjang kau tekun mengerjakannya,” kata si nenek lagi. Li Bai sangat terinspirasi oleh kata-kata itu. Ia kemudian kembali ke sekolah dan tidak pernah bolos lagi. Ia bekerja keras menuntut ilmu, hingga kelak menjadi penyair besar.

Suatu hari, Li Bai berkelana ke Gunung Tai. Disana ia mengunjungi kuil dewa Bixia Yuanjun. Malam harinya, ia bermimpi bertemu kembali dengan nenek tua yang mengasah bang besi disisi sungai di masa kecilnya. Nenek tua itu memperkenalkan diri sebagai Bixia Yuanjun dan berkata kepada Li Bai bahwa dulu ia pernah bertemu di tepi sungai. Bixia Yuanjun mengetahui bahwa Li Bai malas belajar, sehingga ia menyamar menjadi seorang nenek tua untuk memberi pelajaran bagi si anak nakal yang kini telah menjadi penyair besar itu. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 255-256).

* * *

Koin Ajaib

Dalam perjalanan menuju medan perang, seorang jenderal bersama pasukannya melewati sebuah kuil. Sang jenderal berhenti sejenak. Ia ingin singgah di kuil itu. Ia melihat ke belakang, ke arah pasukannya. Dan ia merasakan betapa lemahnya semangat tempur mereka. Jumlah mereka kalah banyak dibandingkan pasukan musuh. “Saya mau mencari petunjuk dari langit di kuil ini, apakah kita bisa menang,” katanyan. “Saya akan melempar koin. Kalau yang muncul gambar, ita menang. Kalau angka, kita kalah. Hasil pertempuran ini kini ada di tangan kita,” katanya lagi. Diapun masuk, lalu bersembahyang dengan khusyuk. Lalu ia melempar sebuah koin ke udara. Hasilnya: gambar!

Melihat hasil itu, semangat pasukannya langsung naik. Mereka pun berperang dengan gagah berani dan berhasil menghancurkan musuh. Atas hasil gilang-gemilang itu, tidak henti-hentinya mereka berterimakasih kepada Kaisar Langit. “Tidak seorangpun dapat mengubah nasib. Kemenangan ini adalah kehendak Langit,” kata salah seorang colonel bawahannya.

Sang jenderal tersenyum dan mengangguk. “Betul Kolonel, memang tidak seorang pun dapat mengubah nasib,” kata jenderal itu sambil menunjukkan koin yang dilemparkannya. Ternyata kedua sisi koin itu sama: gambar! Tuhan memang adil dan tidak memihak siapapun. Tetapi Tuhan membantu mereka yang membantu diri mereka sendiri. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 283-284).
* * *

Menimbang Gajah

Pada zaman Tiga Kerajaan (220-280), hiduplah Cao Cao, penguasa kerajaan Wei di Utara. Ia baru saja mendapatkan seekor gajah sebagai hadiah dari penguasa Wu di Selatan. Ia sangat takjub atas hadiah tersebut karena baru pertama kali ini ada gajah di negerinya. Orang Utara belum pernah melihat gajah selama ini. Cao Cao sangat takjub akan besarnya hewan berbelalai tersebut. Ia penasaran ingin tahu seberapa berat hewan itu, tetapi tidak ada timbangan yang cukup untuk mengukurnya. Para menteri dimintanya untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada yang bisa. Yang tak disangka, Cao Chong putra bungsu Cao Cao yang berusia lima tahun, mempunyau sebuah usul. Dia meminta pawang untuk membawa gajah itu dengan sebuah perahu besar ke sungai. Segera setelah gajah berada diatas perahu besar itu, terasa bagaimana hewan raksasa itu membebani perahu hingga merendam dinding luar perahu sampai setengah di dalam air. Cao Chong senang melihat pemandangan itu, tapi para pegawai istana termasuk ayahnya masih juga belum mengerti maksudnya.

Cao Chong kemudian memerintahkan seseorang membuat tanda batas air di dinding perahu. Setelah itu, is meminta agar si gajah diturunkan. Selanjutnya, ia memerintahkan agar perahu yang kini telah kosong, diisi dengan batu sebanyak mungkin hingga sisi perahu itu terendam mencapai tanda yang telah dibuat tadi. Para pegawai istanapun menurutinya. “Sekarang, ambillah batu-batu itu kembali dan timbanglah satu per satu. Berat semua batu itu adalah berat gajah itu,” kata sang bcah. Semua manggut-manggut dan mengerti bagaimana caranya menimbang gajah. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 301-302).

* * *

Cincin Bertuah dan Ajaib

Diantara anak-anaknya, hal ini ia rahasiakan: sebuah cincin bertahtakan permata yang indah. Bukan cuma indah, cincin itu membawa kehormatan dan keberuntungan kepada siapa saja yang memakainya: dia menjadi orang yang menyenangkan sikapnya sehingga banyak orang menyukainya. Pendeknya cincin itu menjadi benda bertuah. Kelak, ia akan mewariskannya kepada anaknya.

Tapi ada sedikit masalah. Ia mempunyai tiga putra. Semuanya ia sayangi sama besarnya. Ia tidak bisa memutuskan kepada siapa akan diberikannya cincin bertuah itu. Satu-satunya cara untuk sedikit menutupi rasa bersalahnya adalah dengan membuat dua cincin tiruan yang sama persis. Ia berharap bila saatnya tiba, ketiga cincin itu akan ia bagikan kepada anak-anaknya. Dengan demikian tak ada kericuhan karena memperebutkan satu cincin. Dan, memang betul. Menjelang ajal menjemputnya, ia mengumpulkan anak-anaknya, menyampaikan pesan-pesan terakhir, dan membagikan cincin tersebut. Semuanya kebagian. Tak ada rebut-ribut sampai sang ayah meninggal. Namun hanya sebentar saja mereka akur. Entah bagaimana caranya, terbongkarlah rahasia bahwa hanya ada satu cincin yang asli. Sayangnya karena cincin yang asli dan tiruan itu persis sama, tak seorangpun tahu siapa yang kebagian cincin asli warisan sang ayah.

Akhirnya ketiga anak itu datang menghadap kepada seorang hakim yang bijaksana. “Apa masalah kalian?” tanya sang hakim. “Begini tuan. Kami mendapat warisan dari ayah kami tiga buah cincin. Tetapi belakangan kami sadari hanya satu dari cincin ini yang asli, sedangkan dua lainnya adalah tiruan,” kata salah seorang dari mereka. “Apa yang membedakan cincin yang asli dan tiruan?” tanya hakim. “Yang asli akan memberi kehormatan dan keberuntungan kepada pemakainya. Ia akan menjadi orang yang menyenangkan, baik budi, ramah, jujur, dan penyayang sehingga semua orang akan mencintainya. Adapun yang tiruan tak mampu melakukan hal itu.”

Hakim yang bijaksana itu berpikir cukup lama sambil menguji dan meneliti ketiga cincin itu. Lalu ia meminta ketiga orang yang datang padanya untuk mendengarkan dengan seksama. Sang hakim sudah tiba pada keputusannya. “Begini. Saya tidak dapat mengatakan yang mana diantara cincin ini yang benar-benar asli, bertuah, dan membawa kehormatan dan keberuntungan kepada pemakainya,” kata hakim. “Tapi ada satu cara untuk membuktikannya. Dan itu ada pada kalian semua. Anda masing-masinglah yang harus membuktikannya. Jika anda bersikap menyenangkan, baik, ramah, peduli, jujur, dan pengasih, tentu anda akan dicintai sekelilingmu. Dan itu berarti andalah pemilik cincin ajaib yang sesungguhnya. Sekarang kembalilah ke tempat kalian masing-masing. Bawalah kembali cincin ini. Dan mulai sekarang, Anda harus membuktikan diri sebagai pemakai cincin bertuah, pembawa kehormatan dan keberuntungan.”

Hakim menutup sidang. Ketiga orang itupun pulang sambil bertekad menjadi pemilik cincin bertuah yang asli. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 325-327).

* * *

Kehormatan Dalam Semangkuk Sup

Dimasa perang, raja negeri Zhong Shan mengadakan jamuan besar dan mengundang menterinya untuk memperkuat negaranya. “Saya sudah memerintahkan membuat satu panic sup kambing yang lezat, ayo kita cicipi,” kata raja kepada para menterinya. Lalu merekapun bersantap. Setiap orang mendapat semangkuk sup. Namun ketika tiba pada giliran Sima Ziqi, salah seorang menterinya, sup telah habis. Raja meminta maaf kepada Sima Ziqi, tetapi tampaknya Sima Ziqi sudah sempat terluka. “Kehormatanku sudah dilukai. Tidak ada sup, ya sudah,” katanya dalam hati.

Ia meninggalkan perjamuan itu dengan penuh dendam. Tak lama kemudian ia meninggalkan negara Zhong Shan dan memihak kepada negara Chu yang lebih besar. Ia menjadi penasihat raja Chu dan menjelek-jelekkan raja Zhong Zhan. Oleh nasihat-nasihat Sima Ziqi, raja Chu pun mengobarkan perang terhadap negara Zhong Shan. Tak berapa lama, Zhong Shan jatuh ke tangan Chu. Sima Ziqi merasa puas telah dapat membalaskan dendamnya.

Beruntung, raja Zhong Shan masih bisa selamat, dilarikan oleh sekelompok prajurit yang masih setia. Zhoong Shan terharu dan bertanya apa yang menyebabkan mereka mau menolongnya. Salah seorang diantara mereka berkata, “Baginda, masih ingatkan Anda? Saat musim panas dulu, baginda menolong seorang petani dengan memberinya semangkuk nasi. Dia adalah ayah saya. Sebelum wafat, beliau mengatakan jika Anda mengalami kesulitan maka saya harus menolong walaupun dengan nyawa.”

Raja Zhong Shan terdiam. Dalam hati ia menyadari betapa pentingnya kehormatan. Karena semangkuk sup kamibing ia kehilangan tahtanya. Namun untungnya, karena semangkuk nasi pula kini ia selamat. (Sumber: Jansen Sinamo, The Chinese Ethos, hal 329-330).

Tidak ada komentar: