Mantan Presiden Gus Dur pernah
bergurau bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi baik, yakni Jenderal
Hoegeng, Polisi Tidur, dan Patung Polisi. Meskipun dalam nada bercanda,
sebenarnya itu merupakan sindiran yang amat tajam mengenai perilaku polisi yang
dalam pandangan banyak orang lebih mempersulit dibanding melayani. Polisi
Tidur, jelas tidak pernah berlaku diskriminatif kepada siapapun yang
melewatinya. Ia juga tidak pernah mengajak “damai” terhadap pelanggar lalu
lintas yang terjadi di sekitarnya. Lebih-lebih, ia juga tidak mungkin
mempermainkan sebuah perkara untuk kepentingan dirinya. Mungkin, itulah
sebabnya Gus Dur memberi predikat Polisi Tidur sebagai salah satu polisi
terbaik di Indonesia.
Namun disisi lain, saya justru
merasakan bahwa polisi tidur yang asal dibuat dan “asal ditidurkan” sering
menimbulkan permasalahan tersendiri. Saya pribadi – mungkin juga orang lain –pastilah
merasa tidak nyaman ketika dalam sebuah
gang atau jalan raya sekalipun banyak polisi tidur dan melintang menghalangi
jalan kita. Alasan saya sederhana saja: bukankah jalan di aspal atau di beton
adalah untuk memberi kenyamanan bagi para penggunanya? Mengapa setelah jalan
bagus justru diadakan polisi-polisi tidur? Bagi saya, cara berpikir seperti itu
menunjukkan logika yang kacau. Bahkan tidak jarang, di dekat polisi tidur
sering ditemui peringatan bernada ancaman “Ngebut Benjut”.
Jika pembangunan polisi tidur dan
peringatan “ngebut benjut” esensinya adalah pesan (message) dari masyarakat sekitar atau dari inisiator yang membangun
polisi tidur (sender) kepada para
pemakai jalan (receiver) untuk
berhati-hati dalam berkendara, menurut saya itu adalah model komunikasi yang
kurang etis dan kurang beradab. Sender menggunakan
alat dan media komunikasi yang hard
(kasar/keras) untuk memberi tekanan (pressure)
mental kepada receiver. Kalaupun si receiver melaksanakan message si sender, dapat dipastikan dia melakukannya dengan hati gondok. Maka, persoalan hati-hati,
berkendara secara santun, dan menjaga etika serta keselamatan orang lain
sesungguhnya terletak pada kesadaran dan kepedulian pengendara (rider’s consciousness) serta kecerdasan
berkendara (riding intelligence), bukan pada sang polisi
tidur. Boleh jadi polisi tidur cukup efektif membangun rider’s consciousness dan riding
intelligence tadi, namun upaya yang
lebih humanistic seperti sosialisasi (public
campaign) yang berkelanjutan, pendidikan lalu lintas bagi anak-anak sejak
dini, dan seterusnya, menurut saya jauh lebih baik untuk konteks jangka
panjang.
Kalaupun tetap dipandang perlu
memberi peringatan kepada pengendara, mengapa tidak dipilih cara yang lebih bijak?
Contoh di Jalan Manyar, Cilacap, mungkin bisa layak ditiru dan dikembangkan
diseluruh belahan negeri ini. Di gang kecil tersebut ada sebuah Taman
Kanak-Kanak yang cukup banyak muridnya, sehingga pada jam-jam masuk dan pulang
sekolah, jalan tersebut sangat ramai. Pengendara yang tidak hati-hati, bisa
saja menjadi ancaman bagi anak-anak tersebut. Di dekat TK tersebut memang ada
polisi tidur, namun bukan TK tadi yang membuatnya. Pimpinan TK justru membuat
peringatan berbunyi “Pelan itu Sopan”. Dan bagi para pengantar/penjemput anak
TK yang seringkali membuat semerawut dan macet, ada himbauan berbunyi “Teratur
itu Berbudi Luhur”. Nah, dengan pendekatan yang menyentuh sistem nilai
universal seperti itu, orang cenderung taat tanpa merasa diperintah atau bahkan
diancam.
Lebih ekstrem lagi, saya pernah
berpikir bahwa membangun polisi tidur tanpa ijin resmi dari Kepolisian dan
Kementerian/Dinas Perhubungan adalah sebuah sabotase. Bayangkan, jalan yang
dibangun pemerintah dengan dana yang tidak sedikit, malahan dirusak oleh warga
dengan alasan keselamatan, kehati-hatian, dan sejenisnya. Saya yakin pemerintah
telah mempertimbangkan bahwa dengan lebih baiknya kondisi dan kualitas jalan,
maka kecepatan kendaraan akan lebih tinggi. Dan dengan kecepatan yang lebih
tinggi tadi, saya juga yakin bahwa pemerintah sudah memperhatikan implikasinya
terhadap faktor keselamatan. Maka, sekali lagi, pembangunan polisi tidur
semestinya tidak dibiarkan menjadi mekanisme warga sementara pemerintah (cq.
Polisi dan aparat Perhubungan) hanya diam melihatnya. Biarkan aparat yang
menentukan dimana akan dibangun polisi tidur (jika diperlukan). Biarkan pula
mereka yang menganalisis aspek keamanan dan keselamatan pada suatu lokasi.
Partisipasi masyarakat tentu sangat didorong dan perlu diapresiasi, namun bukan
berarti masyarakat boleh mengintervensi fungsi institusi kenegaraan.
Konkritnya, jika warga merasa perlu membuat polisi tidur di lingkungannya,
sampaikan usulan kepada aparat, yang atas dasar usulan tadi aparat akan
mengkaji kelayakannya dan kemudian mengalokasikan anggaran jika polisi tidur
tadi benar-benar dibutuhkan. Namun, jangan pernah seseorang membangun polisi
tidur dengan berdalih demi keselamatan.
Untuk selanjutnya, agar tidak
muncul preseden bahwa siapapun dapat membuat polisi tidur dimanapun sesukanya,
maka aparat Kepolisian dan Perhubungan perlu lebih cerdas dan tegas dalam menjalankan
tugasnya. “Cerdas” dalam arti memiliki informasi yang lebih akurat tentang
tingkat keselamatan di berbagai ruas jalan dan wilayah, kebutuhan kualitas
jalan, mampu mengkomunikasikan kepada publik. “Tegas” dalam arti bahwa mereka
lebih pro-aktif untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan terhadap
polisi tidur yang terlanjur sedang/ telah dibangun. Dengan demikian, keberadaan
polisi tidur benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dasar
legalitas, dan secara moralitas kepada para penggunanya. Polisi tidur bukan
hanya pengganggu kenyamanan, namun benar-benar dibutuhkan untuk menjaga
keselamatan semua pihak. Jika ini terjadi, maka pernyataan Gus Dur bahwa polisi
tidur adalah salah satu polisi terbaik di Indonesia akan menjadi kenyataan,
bukan sekedar gurauan belaka.
Jakarta, 26 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar