Sebenarnya
saya ingin menulis tentang hal ini pada saat lebaran Idul Fitri 1434 H (2013)
yang baru saja lewat. Namun seminggu sebelum Idul Fitri hingga seminggu
sesudahnya, saya melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) dengan laptop yang sehari-hari menjadi mitra
saya paling setia dan paling saya andalkan.
Ide
saya bermula dari fenomena tahunan dimana menjelang hari raya lebaran, Bank
Indonesia seperti mendapat tugas tambahan baru berupa penyediaan uang kertas
recehan baru, mulai nominal Rp. 1.000 hingga Rp. 100.000. bank-bank pemerintah
maupun swasta juga mendapat beban baru untuk melayani masyarakat yang ingin
menukar uang lusuhnya, dengan menyediakan counter
khusus penukaran uang. Bahkan di berbagai kota, ada fenomena unik berupa
“jual beli” uang di berbagai sudut kota dan pinggiran jalan. Seorang “calo”
dengan sengaja menukar uang-uang lusuhnya di Bank, kemudian “menjual” kembali
kepada masyarakat yang tidak sempat datang ke Bank namun ingin memiliki
lembaran uang gress dengan nomer seri
berurutan. Tentu, jasa penukaran di jalanan ini tidak gratis seperti di Bank,
ada persentase atau tariff khusus sesuai jumlah yang “dibeli”.
Entah
latah atau sekedar suka dengan uang baru, sayapun sangat ingin memilikinya.
Rasanya berbeda ketika kita memberi uang kepada orang lain (entah itu sanak
saudara, fakir miskin, atau sekedar uang jajan untuk anak-anak) dengan uang
baru. Harus diakui ada nilai tambah yang melekat pada uang baru dibanding pada
uang lama yang penuh lipatan, kotor, bau, mungkin juga sarat kuman, dan kadang
kita sendiri jijik memegangnya. Maka, tidaklah aneh jika pemerintah (Bank
Indonesia) cukup gencar melakukan iklan layanan masyarakat di televisi, media
cetak, pamflet, dan berbagai media lain tentang perlunya penghormatan terhadap
mata uang Rupiah. Nampaknya ada political
will dari pemerintah untuk membuat tampilan Rupiah seperti layaknya mata
uang USD yang tanpa lipatan, tanpa jepretan (staples), dan tanpa coretan. Beda sekali dengan kondisi Rupiah saat
ini yang bukan hanya penuh coretan, lipatan, dan lubang-lubang bekas staples, bahkan banyak diantaranya yang
sudah sobek dan disambung lagi dengan isolatip.
Rupiah menjadi barang yang sayang untuk
dibuang namun enggan untuk disimpan.
Untuk
itu, meskipun membutuhkan biaya promosi cukup besar, upaya pemerintah untuk
menghilangkan peredaran uang-uang lusuh patut didukung penuh. Sebab, Rupiah
hakekatnya bukan semata-mata alat tukar dalam dunia ekonomi, namun juga
merupakan simbol kenegaraan yang harus dihormati selayaknya Bendera Merah
Putih, Bahasa Indonesia, atau lambang-lambang negara lainnya. Tampilan lusuh
uang Rupiah secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan kepribadian
bangsa yang lusuh dan jorok pula. Maka, meski masih membutuhkan pembuktian,
namun ada hipotesis awal mengenai adanya korelasi antara budaya memperlakukan
uang dengan kepribadian bangsa yang jorok seperti sampah yang berserakan,
toilet-toilet yang bau dan kotor, taman-taman dan gedung yang tidak
terpelihara, bahkan fasilitas umum yang terbengkalai dan menjadi pemandangan
tidak sedap dalam wajah perkotaan kita.
Dengan
demikian, upaya memuliakan Rupiah sesungguhnya bukan hanya refleksi
penghormatan terhadap simbol negara semata, namun juga sebuah transformasi
budaya secara bertahap dimulai dari hal-hal kecil. Sulit rasanya membangun
sistem disiplin nasional, etos kerja produktif dan kompetitif, semangat berbagi
dan toleransi antar berbagai perbedaan, ataupun tradisi yang bebas korupsi,
jika uang kertas yang notabene adalah
milik kita sendiripun tidak kita perlakukan dengan layak dan terhormat.
Yang
menjadi catatan saya, “transformasi Rupiah” harus dilakukan secara inovatif.
Penukaran setahun sekali setiap lebaran atau kampanye layanan masyarakat saja
tidaklah cukup. Pemerintah (Bank Indonesia) harus memiliki komitmen bulat untuk
mewujudkannya, bukan sekedar retorika yang menghabiskan biaya besar untuk biaya
advertorial. Kesan saya, upaya memperbaharui wajah Rupiah masing
setengah-setengah dan sepenggal-penggal. Kesan ini langsung muncul ketika saya
menarik uang dari ATM (kebetulan saat itu BCA dan BRI), yang keluar adalah
uang-uang lusuh, kotor, kumal, penuh noda, dan menjijikkan. Saya langsung
bertanya dalam hati: “apa gunanya Bank Indonesia menyediakan triliunan rupiah
uang-uang baru, dan menyediakan counter penukaran
di berbagai bank, jika mereka pada saat yang sama juga menyebarkan uang-uang
lusuh di seluruh ATM? Saya sempat berseloroh bahwa Bank Indonesia seolah
menebar banyak obat namun pada saat yang sama juga menebar banyak racun. Sebuah
langkah yang teramat sia-sia. Kesia-siaan ini terlihat dari berulangnya
fenomena antrian di bank-bank pada musim lebaran hanya untuk menukar uang baru.
Apakah hal ini yang ingin dipertahankan Bank Indonesia sebagai ritual tahunan?
Inilah
yang saya anggap sebuah langkah tidak cerdas dan tidak inovatif. Sebenarnya,
Bank Indonesia tidak perlu menyediakan uang baru setiap lebaran, dan bank-bank
pun tidak perlu membuat counter khusus
penukaran uang, jika ATM hanya berisi uang baru. Apabila pilihan ini yang
diambil, saya yakin kualitas uang kertas yang beredar di Indonesia akan sangat
jauh berbeda dibanding yang ada saat ini.
Kasus
ini memberi pelajaran pada kita bahwa inovasi merupakan suatu hal yang amat
diperlukan dalam sebuah kebijakan. Kebijakan yang tidak inovatif, cenderung
menghasilkan aksi pengulangan (repetisi) yang tidak pernah menyelesaikan
masalah fundamentalnya. Kebijakan yang tidak inovatif juga cenderung
menghamburkan banyak biaya yang tidak banyak membawa manfaat.
Sayangnya,
kebijakan yang tidak inovatif juga terjadi di berbagai sektor atau bidang
pembangunan lain. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang fenomena tidak
inovatifnya penanganan lalu lintas. Wait
and see ya, don’t miss it …J
Jakarta,
19 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar