Di era reformasi birokrasi (RB)
saat ini, open recruitment atau
dikenal juga dengan istilah open bidding
atau lebih populer disebut lelang jabatan, menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari reformasi birokrasi itu sendiri. Artinya, lembaga pemerintah
yang tidak mau menerapkan open
recruitment dalam pengisian jabatan di lembaganya, akan mendapat belum
menerapkan reformasi dengan sepenuh hati.
Secara konseptual, tujuan
dilakukannya open recruitment cukup
baik, yakni untuk menyeleksi dan mendapatkan kader terbaik dan paling kompeten
(mampu, pintar, dan berperilaku terpuji) diantara kandidat yang ada. Dengan memilih
dan menempatkan kader terbaik dan paling kompeten, diharapkan kinerja
organisasi akan meningkat secara signifikan. Selain itu, open recruitment juga merupakan mekanisme yang cukup mujarab untuk
menangkis maraknya politisasi dalam pengisian jabatan selama ini. Program
inipun terbukti mampu meningkatkan iklim persaingan yang sehat antar pegawai,
yang menjadi landasan budaya kinerja unggul dalam sebuah organisasi. Artinya,
tidak mungkin tercipta kinerja prima tanpa adanya sistem kompetisi yang fair dalam organisasi, dan itu mampu
dibangun oleh pola baru ini.
Namun, tidak ada yang sempurna di
dunia ini, demikian halnya program RB khususnya open recruitment, tetap ada ruang-ruang yang membutuhkan perhatian
dan penyempurnaan. Tantangan utama dari seleksi jabatan secara terbuka ini
adalah konsistensi dan komitmen untuk berpegang teguh pada filosofi dan tujuan
dasar dari program ini. Saat ini, mulai banyak sinisme dan apriori di kalangan
PNS yang menilai open recruitment hanya
sekedar lips service untuk pencitraan
institusi atau pejabat tertentu belaka. Open
recruitment menjadi dalih yang ampuh untuk menunjukkan bahwa mereka sudah
mengimplemenatsikan reformasi, meski secara esensial dan substansial belum
terbukti. Sinisme ini muncul juga bukan tanpa sebab. Beberapa kali saya ngobrol dengan para pegawai yang pernah
mengikuti open bidding dan mendengar
kesaksian mereka bahwa program tersebut hanya permainan belaka. Salah satu
argumentasi yang dikemukakan, toh yang
akhirnya terpilih dan dilantik mayoritas adalah pegawai dari internal
organisasi yang melakukan open bidding
tersebut. Selain itu, cukup sering terjadi seseorang yang mengikuti seleksi
untuk jabatan A justru diangkat pada jabatan B. Bahkan ada pula pejabat yang
tidak mengikuti open bidding justru
diangkat pada jabatan tertentu meski ada orang lain yang melamar untuk jabatan
tersebut. Salah seorang tema saya yang pernah sama-sama mengikuti Diklat juga
bercerita bahwa dia sudah 3 (tiga) kali masuk 3 (tiga) besar dalam seleksi
jabatan di 3 (tiga) instansi yang berbeda. Di salah satu instansi tersebut,
yang nota bene adalah instansi yang
sangat disegani, pejabat yang akhirnya dilantik justru tidak menempuh proses
seleksi sejak awal.
Kasus-kasus seperti itulah yang
seringkali merusak citra program secara mendasar. Maka, komitmen dan
konsistensi dari instansi dan pejabat yang bertanggungjawab dalam perumsuan
kebijakan open recruitment dan
implementasinya, menjadi pertaruhan besar untuk kelanjutan dan keberhasilan
program ini diwaktu-waktu selanjutnya. Belum lagi soal dugaan tidak
transparannya penilaian, buruknya komunikasi instansi penyelenggara open recruitment dengan pelamar, dan
sebagainya. Salah seorang sahabat saya yang pernah mengikuti program ini sangat
optimis mampu terpilih menjadi yang terbaik. Dia masih menunggu hasil
ujian/seleksi dan menantikan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya.
Namun yang terjadi, sekonyong-konyong dia mendengar kabar bahwa telah dilantik
kompetitornya, tanpa ada pengumuman hasil sama sekali.
Disamping soal integritas
(komitmen dan konsistensi), keberhasilan open
recruitment juga tergantung dari transformasi kultural dalam birokrasi.
Sebab, hal ini sangat berkaitan dengan faktor budaya. Sebagai contoh, bagi
banyak orang termasuk saya pribadi, “melamar” jabatan adalah sesuatu yang tabu
dan merupakan pantangan besar untuk dilakukan. Melamar pekerjaan (sebagai PNS
misalnya) adalah sebuah keniscayaan. Namun melamar jabatan sangat tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial dan agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “jangan kau
beri jabatan kepada yang meminta”. Sementara program open recruitment justru seolah-olah mendorong PNS untuk “meminta”
jabatan sesuai keinginan dan pilihannya. Agar cultural barrier ini bisa diminimalisir, saya mengusulkan agar PNS
yang akan mengikuti open recruitment
diberikan legalitas administratif berupa surat penugasan untuk mengikuti open recruitment. Artinya, dia ikut
dalam kompetisi jabatan bukan karena ambisi pribadinya, namun semata-mata
menjalankan tugas organisasi. Dengan demikian, program ini diharapkan tetap
berlagsung tanpa menimbulkan kecanggungan budaya bagi para pesertanya.
Hambatan kultural lain yang dapat
muncul dan menjadi faktor pengganggu adalah belum terbiasanya masyarakat kita
(termasuk pada PNS) menerima kekalahan dalam sebuah kompetisi non olahraga atau
kesenian. “Kekalahan” dalam open
recruitment bisa saja dimaknai sebagai legitimasi terhadap inkompetensi
yang menurunkan kredibilitas diri. Itulah sebabnya, ada kader-kader berbobot
yang enggan mengikuti seleksi terbuka seperti ini. Mereka bukan ragu dengan
kapasitasnya, namun lebih pada rasa khawatir jika tidak terpilih dan
menimbulkan kesan orang lain bahwa dia tidak cukup kompeten menduduki jabatan.
Kader-kader bermutu ini memilih untuk tidak ikut karena belum sepenuhnya yakin
dan percaya terhadap obyektivitas dan kredibilitas program open recruitment.
Hambatan kultural seperti ini
diperparah lagi dengan tidak adanya budaya apresiasi dalam masyarakat kita.
Yang lebih banyak berkembang adalah egoisme dengan merasa lebih baik dari pada
orang lain, serba curiga dan memandang remeh orang lain, dan kurang berpikir
positif terhadap orang lain yang lebih muda, yang berpendidikan atau berpangkat
lebih rendah, yang berasal dari luar habitatnya, dan seterusnya. Akibatnya, ada
kecenderungan distrust terhadap
peserta open recruitment dari luar
organisasi. Situasi seperti ini pada dasarnya hanyalah menunjukkan adanya
keengganan untuk berubah (resistance to
change), dan inipun dapat menjadi faktor yang menyulitkan perubahan dalam
tubuh birokrasi.
Sementara itu, secara
institusional juga ada potensi penghambat program ini. Hingga saat ini belum
ada kebijakan yang mengatur secara lengkap kewajiban instansi pemerintah
menerapkan open recruitment, kecuali
hanya setingkat Surat Edaran Menpan dan RB. Belum ada Kejelasan apakah seluruh
jabatan harus diisi dengan mekanisme ini, atau boleh secara selektif. Jika
boleh, berapa persen dari jumlah seluruh jabatan yang ada yang dapat tidak
memberlakukan sistem ini. Pengaturan hal ini penting menurut saya. Sebab,
organisasi manapun pada dasarnya telah melakukan proses pengkaderan dan
pengembangan kompetensi secara alamiah bagi para pegawainya. Maka, akan aneh
jika jabatan-jabatan yang ada pada organisasi tertentu justru banyak diisi oleh
kader dari luar organisasi tersebut, yang justru tidak memiliki pengalaman
jabatan (career path) pada organisasi
baru yang dimasukinya. Itulah sebabnya, semakin banyak jabatan yang diisi oleh
orang luar hanya menandakan kegagalan kaderisasi dan pembinaan prestasi pada organisasi
tersebut. Namun tentu saja, argumen seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai
pembenar untuk menutup diri dari masuknya orang-orang hebat dari luar
lingkungannya.
Hal lain yang juga perlu
diperhatikan dari aspek institusional adalah berkurangnya kewenangan Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) dalam penempatan/pengangkatan pejabat. Dengan
mekanisme open recruitment, Panitia
Seleksi (Pansel) akan menyodorkan 3 (tiga) nama untuk dipertimbangkan dan
dipilih oleh pejabat yang berwenang. Nah, disinilah terjadi sedikit dilema.
Jika PPK menerima apa adanya rekomendasi Pansel, seolah-olah keputusannya telah
terdahului oleh Pansel. Sebaliknya, jika PPK tidak memperhatikan dengan seksama
rekomendasi, seolah ia bertindak otoriter, tidak menghargai kerja Pansel, dan
membawa subyektivitasnya, serta mengabaikan proses yang lebih terbuka dan
terukur. Rumitnya, tidak ada jaminan bahwa ketiga kandidat yang ditawarkan
Pansel adalah mereka yang memiliki chemistry
yang sesuai dengan PPK, dan belum tentu dapat bekerjasama dengan baik.
Untuk meminimalisir hambatan
institusional tadi, ada baiknya open
recruitment dilakukan setelah sebuah instansi pemerintah memiliki peta
kompetensi. Peta tersebut menggambarkan kebutuhan kompetensi yang harus
dipenuhi, serta ketersediaan (sufficiency)
dan ketiadaan (deficiency) kompetensi
di dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam keadaan terpenuhi (sufficient), maka tidak perlu dilakukan open recruitment, cukup penunjukan dan
pengangkatan dari kader internal. Sebaliknya jika berada dalam keadaan
kekurangan (deficient) kompetensi,
maka baru dibuka seleksi dengan melibatkan kader eksternal.
Satu lagi yang harus dipikirkan
adalah paska open recruitment. Ada selentingan pemikiran
bahwa karena mereka sudah terbukti lulus dari seleksi terbuka dan telah
dilantik, maka mereka memiliki justifikasi untuk duduk pada jabatan selama
mungkin. Logika yang mereka pakai adalah, apakah logis seseorang diganti
sementara dia sudah lolos dan lulus dari uji kompetensi bernama open recruitment? Selain itu, karena
mereka sudah dianggap kompeten (tidak ada lagi gap kompetensi), apakah berarti mereka tidak lagi memerlukan capacity building? Jika perlu, model capacity building seperti apa yang harus
diberikan, mengingat selama ini capacity
building (termasuk Diklat) diberikan untuk menutup gap kompetensi. Bagaimana pula penilaian kinerja yang harus
diterapkan untuk pejabat yang duduk dari hasil seleksi terbuka, apakah sama
dengan pejabat lain yang duduk dari hasil seleksi terbatas di Baperjakat?
Terlepas dari berbagai kerumitan
diatas, mungkin perlu pula dicari landasan teoretik konseptual dan paradigmatic
dari open recruitment ini. Jika
mengikuti birokrasi Weberian yang hirarkhis, nampaknya birokrasi kita saat ini
sudah mulai berubah menjadi heterarkhis, sehingga pengisian jabatan tidak hanya
diisi secara natural dari jalur dibawahnya secara berjenjang. Dengan perubahan
struktur hirarkhis menjadi heterarkhis tadi, maka, birokrasi kitapun telah
berubah dari model piramidal menjadi prisma, atau bahkan bentuk tak beraturan.
Ini saya kira akan menjadi PR bagi kalangan akademisi untuk memberi nama model
birokrasi yang heterarkhis dan tidak beraturan …
Jakarta, 23 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar