Pada
tulisan saya sebelumnya berjudul “Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNSMengkritik Birokrasi?)”, saya telah mengemukakan 5 hal yang saya pandang
sebagai anomali dalam reformasi. Sesungguhnya saat itu saya sudah berniat untuk
menghentikan tulisan tentang RB, namun ternyata hati saya terus tergelitik
untuk mencatat berbagai hal yang dalam pandangan saya menajdi faktor pelemah
atau penghambat pelaksanaan RB di Indonesia. Maka, dengan “terpaksa” saya memutuskan
untuk melanjutkan kembali “pembedahan” terhadap makhluk baru bernama reformasi
birokrasi ini.
Hal
pertama yang harus saya katakana adalah
bahwa RB nampaknya tidak bersifat sistemik. Sebagai contoh, RB di K/L dan RB di
Pemda tidak berjalan simultan. Pedoman-pedoman teknis yang dikeluarkan Menpan
mengenai RB untuk K/L (pemerintah pusat) berbeda dengan RB untuk pemerintah
daerah. Bahkan di Kementerian PAN ada pejabat yang membidangi urusan RB untuk
pemerintah pusat, namun ada juga yang membidangi khusus untuk RB Pemda.
Seolah-olah birokrasi dan upaya reformasinya bisa dipenggal-penggal atau
didikotomikan menajdi birorkasi pusat dan birokrasi daerah. Hingga saat inipun,
di daerah hanya ada percontohan yang terdiri dari seluruh provinsi, serta 1
Kota dan 1 Kabupaten untuk setiap provinsi. Saya masih belum mendapat jawaban
yang mengesankan, mengapa daerah yang lain harus ditunda dari kewajiban
melakukan RB? Saya juga berpikir, jika indikator Indonesia di dunia
internasional jeblok seperti IPM/HDI, government
effectiveness, ease of doing business,
dan sebagainya, bukankah itu cermin dan akumulasi kinerja yang rendah dari
seluruh jajaran birokrasi baik di pusat maupun daerah? Lantas mengapa hanya K/L
saja yang “dikejar-kejar” untuk melakukan RB? Karena RB Daerah masih sekedar
menjadi percontohan (itupun baru tahap awal), maka terjadi variasi yang sangat
tajam antar daerah, misalnya dalam kebijakan menetapkan remunerasi/tunjangan
daerah. Daerah dengan PAD/APBD besar akan cenderung memberikan tunjangan yang
besar pula kepada pegawai daerahnya. Maka, situasinya menjadi turunan dari situasi
di pusat, dimana ada daerah yang memberi tunjangan besar, ada yang memberi
tunjangan relatif kecil, serta ada yang belum memberikan tunjangan tambahan
penghasilan sama sekali.
Tidak
sistemiknya RB juga bisa dilihat misalnya antara wilayah perubahan dengan
monitoring dan evalausi RB. Pada 8 area perubahan, tidak ditentukan secara
eksplisit tentang kepemimpinan, yang antara lain terdiri dari sub-kriteria perencanaan
strategis (Renstra) dan Kemitraan. Nah, dalam PMPRB (Penilaian Mandiri
Pelaksanaan RB), justru kepemimpinan dijadikan sebagai aspek pengungkit utama
dalam monev RB. Kasarnya, apa yang dilaksanakan tidak dimonitor dan dievaluasi,
apa yang dimonitor dan dievaluasi malah tidak dilaksanakan.
Contoh
lain yang sederhana dan bisa mengilustrasikan pendekatan kesisteman yang lemah
dalam RB adalah penggunaan “norma waktu” pada dokumen SOP dan pada Analisis
Beban Kerja (ABK). Pada ABK, perhitungan aktivitas seseorang/suatu unit kerja
dihitung berdasarkan “menit”, sedangkan dalam SOP cenderung menggunakan satuan
“hari”. Selain itu, makna “hari” dalam SOP dan ABK bisa berbeda 360o.
pada ABK, 1 hari ekuivalen dengan 5 jam atau 300 menit. Asumsinya, jam kerja 1
hari adalah 8 jam, sementara jam kerja efektif (JKE = total jam kerja dikurangi
aktivitas tidak produktif seperti istirahat, makan, shalat, menerima telpon, ke
belakang, dan lain-lain). Sedangkan dalam SOP, 1 hari dapat bermakna 24 jam
karena memungkinkan aktivitas tertentu dilakukan di malam hari atau diluar
kantor, misalnya penandatanganan dokumen kerja.
Padahal
jika norma waktu pada SOP dan ABK ini bisa dibuat seragam, maka begitu sebuah
instansi selesai menyusun SOP, pada saat itu pula mereka telah selesai
melakukan ABK dan langsung dapat diketahui adanya kelebihan atau kekurangan
pegawai pada instansi tersebut. Tidak compatible-nya
norma waktu pada SOP dan ABK selain berdampak pada inefisiensi dalam penyiapan
kedua dokumen tersebut, juga berpotensi menimbulkan “konflik” antar keduanya.
Jika ini terjadi, maka esensinya tidak terjadi sebuah proses reformasi, namun
sebaliknya.
Hal
kedua yang harus dikritik dari RB
adalah bahwa RB dapat dinilai sebagai sebuah langkah ahistoris alias tidak memperhatikan jalinan kesejarahan (historical nexus). Artinya, ada kesan
bahwa RB dimaknakan sebagai sebuah perubahan menuju perbaikan yang berdiri
sendiri, terpenggal-penggal (piecemeal),
dan tidak berkelanjutan dari program sejenis pada masa-masa sebelumnya.
Padahal, RB sesungguhnya bukanlah program musiman dari rezim pemerintahan
tertentu, namun memiliki saling keterkaitan dan kesinambungan antar rezim. Oleh
karena itu, agar tidak ahistoris, RB
harus melihat kebelakang apa saja yang pernah dilakukan dan apa hasil-hasil
yang sudah dicapai. Dan faktanya, reformasi sesungguhnya sudah berjalan baik
pada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa Orla misalnya, setelah
keluarnya Dekrit Presiden 1959 dibentuklah
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang antara lain, menghasilkan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Organisasi Aparatur
Pemerintah Negara Tingkat Tertinggi. Dua tahun kemudian dibentuk Komando
Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) dengan Keppres Nomor 98 Tahun
1964.
Sementara
pada masa Orba, RB sudah dimulai sejak Repelita I hingga Repelita VI. Pada masa
Repelita V, misalnya, telah lahir Keputusan Menpan No. 90/1989 tentang Program Pemacu sebagai prioritas PAN, atau sering dikenal dengan 8 Program Pemacu PAN. Program pemacu ini meliputi 8 sasaran pokok yakni: 1) Pelaksanaan Pengawasan Melekat; 2) Penerapan Analisis Jabatan; 3) Penyusunan Jabatan Fungsional; 4) Peningkatan Mutu Kepemimpinan Aparatur; (5) Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian; 6) Penyederhanaan Tata Laksana Pelayanan Umum; 7)
Sistem Informasi Administrasi Pemerintahan; dan 8) Penitikberatan Otonomi di Daerah Tingkat II.
Dikaitkan dengan 8 area perubahan yang diusung pada Permenpan No. 20/2010 tentang
Roadmap RB, pertanyaan yang harus dijawab adalah: 1) Adakah hubungan antara 8
program pemacu PAN dengan 8 area perubahan RB?; 2) Jika ada, bagaimana bentuk
hubungan diantara kedua dokumen tersebut, apakah kelanjutan / penajaman
terhadap dokumen yang lebih lama, ataukah saling mengisi / saling memperkuat?;
3) Mengapa muncul area perubahan yang berbeda, atau mengapa ada area perubahan
pada dokumen yang lama yang hilang dan tidak dilanjutkan, apakah sasarannya
sudah tercapai atau memang dinilai tidak prioritas?
Hal
ketiga yang sangat mendasar adalah
lemahnya kepercayaan (trust)
birokrasi di pusat maupun di daerah terhadap program RB. Penyebab utamanya
justru karena tidak konsistennya pelaksanaan program RB tersebut. Di berbagai
kesempatan misalnya, para pejabat Kementerian PAN dari Menteri hingga Eselon
III-nya sering melempar wacana bahwa kedepan tidak dimungkinkan lagi ada
Sarjana Agama yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas PU, Sarjana Sastra sebagai
Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Pengangkatan jabatan harus benar-benar berbasis
pada kompetensi, yang salah satu indikatornya adalah kesesuaian latar belakang
pendidikan dengan karakteristik jabatan, dan pengalaman jabatan seseorang. Namun
yang terjadi saat ini, ada seorang Pejabat Eselon I di Kementerian yang
berlatar belakang teknik namun didudukkan pada urusan SDM. Pada kasus yang
lain, seseorang yang sepanjang karirnya menangani urusan pemeriksaan keuangan,
didudukkan pada posisi yang mengurusi pelayanan publik. Fakta seperti inilah
yang akan membuat hilangnya kepercvayaan dan munculnya keraguan terhadap
keseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi. Salah-salah, inkonsistensi antara
retorika para pejabat dengan tindakan nyata yang dilakukan ini hanya akan menimbulkan
persangkaan tentang hipokritas dalam program reformasi.
Yang
menarik, meskipun secara disiplin keilmuan maupun pengalaman jabatan tidak
sesuai dengan jabatan yang diduduki saat ini, namun proses seleksi dan
pengangkatan jabatan tadi dilakukan melalui open
bidding atau lebih populer dikenal dengan lelang jabatan. Dengan asumsi
bahwa proses open bidding tadi
berjalan secara obyektif dan terbuka, maka hasil yang diperoleh tentunya adalah
kandidat yang paling kompeten dan kapabel, terlepas dari latar belakang
pendidikan dan pengalaman kerjanya. Namun jika hal ini yang terjadi, sama
artinya seleksi jabatan secara terbuka (open
bidding) membantah asumsi sebelumnya bahwa Sarjaka Teknik tidak layak
memimpin unit kerja yang mengurusi SDM, bahwa Sarjana Agama tidak dapat
diangkat menjadi Kepala Dinas PU, bahwa Sarjana Sastra tidak mungkin menduduki
jabatan sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Lantas jika demikian,
maka yang harus dijadikan referensi dalam penempatan jabatan, hasil open bidding secara murni, ataukah kompetensi
yang terbangun oleh sistem pendidikan dan pengalaman kerja selama
bertahun-tahun?
Hal
keempat yang juga mendasar adalah
bahwa RB saat ini nampaknya tidak dilandasi pada sebuah strategi kebudayaan
yang jelas. Aspek budaya hanya menjadi salah area perubahan yang dikenal dengan
mindset dan culture set, namun bukan sebuah reformasi budaya yang menyeluruh
meliputi seluruh are perubahan. Dalam pemikiran saya, reformasi budaya adalah
basis dari seluruh perubahan yang ada. Maka, jika ada area kelembagaan akan
direformasi, maka haruslah sebuah reformasi kelembagaan berbasis budaya. Demikian
pula, perubahan pada aspek tatalaksana adalah reformasi tatalaksana yang
berbasis budaya. Oleh karena itu, semestinya aspek budaya bukan menjadi aspek
yang terpisah dari aspek-aspek reformasi lainnya, melainkan melekat
pada seluruh area perubahan yang ada.
Dari
berbagai refleksi diatas dapat kita simpulkan bahwa evaluasi terhadap program RB
dan implementasinya merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, terutama
menjelang tahun 2014. Sebagaimana diketahui, permenpan No. 20/2010 tentang
Roadmap RB akan berakhir pada tahun 2014, dan untuk itu pada tahun 2013 ini
sudah harus dilakukan upaya serius untuk menyiapkan Roadmap RB II. Jika tidak,
maka pelaksanaan RB pada periode 2014-2019 terancam mandeg dan tidak ada
rujukan secara nasional. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan dapat dilakukan
evaluasi kinerja program RB. Dan bila ini yang terjadi, maka pada hakekatnya
kita mengalami kemunduran dalam menata birokrasi pemerintahan. Jelas kita tidak
menginginkan hal ini terjadi. Untuk itu, evaluasi pelaksanaan RB dalam periode
2010-2013 saat ini segera diselesaikan sebagai input merancang Roadmap RN ke-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar