Saya
agak terkejut ketika mendengar kabar akan diadakan kegiatan ladies program dalam rangkaian Diklatpim
I. Terakhir kali saya mengetahui program ini tahun 1994 saat saya baru saja
diangkat menjadi CPNS dan ditempatkan di LAN Perwakilan Jawa Barat, di Bandung.
Kebetulan sekali, saat itu ayah saya mengikuti Diklat Sepadyanas, dan di akhir
program, Ibu sayapun mengikuti ladies
program. Setelah itu, saya tidak pernah mendengar lagi LAN mengadakan acara
untuk istri para peserta diklat ini. Hanya lembaga diklat di daerah yang
nampaknya masih terus mentradisikannya sebagai additional activity yang terpisah dari program Diklat Penjenjangan.
Maka,
terus terang saya bertanya-tanya, apa latar belakang, tujuan, dan landasan
berpikir dari penyelenggaraan ladies
program di Diklatpim I ini? Sayangnya, saya tidak memperoleh jawaban yang
memuaskan dari setiap orang yang saya Tanya. Salah seorang peserta yang
kebetulan seorang perempuan dan berasal dari LAN juga tidak paham mengapa
program ini muncul, selain “menjalankan perintah pimpinan”.
Saya
pribadi memiliki pendapat yang terbelah tentang ladies program. Disatu sisi, saya menolak, namun disisi lain saya
dapat memberikan dukungan pula. Saya menolak atas dasar beberapa argumentasi. Pertama, program ini tidak dijelaskan
sejak awal serta tidak memiliki urgensi dan framework
yang jelas. Apa tujuan besar dari program ini, apa sasaran kompetensi yang
dibangun, mengapa hanya dilakukan setengah hari, mengapa materi yang dipilih
adalah tentang keprotokolan, mengapa desainnya berupa ceramah, dan banyak
pertanyaan lainnya, terus menjadi misteri hingga akhir program. Intinya,
kemanfaatan program ini dalam pandangan saya teramat kecil, untuk tidak
mengatakan nol besar. Kedua, program
ini memberi “beban” tambahan bagi peserta karena seluruh pembiayaan dibebankan
kepada peserta. Ketika sebuah program lembaga berjalan diluar kerangka
institusional, maka sulit bagi saya untuk menerimanya.
Sebaliknya,
saya sangat mendukung program ini dengan syarat kedua situasi yang menjadi
keberatan diatas dapat diatasi. Artinya, ladies
program harus dikemas sebagai bagian tidak terpisahkan dari Diklat
Kepemimpinan, yang desainnya telah matang jauh hari sebelum program tersebut
berjalan. Penyelenggara harus sudah memiliki analisis kebutuhan yang dapat
dipertanggungjawabkan mengapa mengusulkan penyelenggaraan ladies program ini. Sebagai bagian dari Diklat Kepemimpinan, maka ladies program harus diarahkan untuk
memperkokoh kapasitas kepemimpinan dari para suami peserta ladies program. Seperti kata pepatah: dibalik kesuksesan seorang suami, ada peran dan kontribusi istri yang
hebat. Maka, substansi kurikulumnya pun juga didesain bukan semata-mata
meningkatkan keterampilan teknis istri, melainkan lebih memperkuat peran istri
sebagai pendamping suami, pengatur manajemen rumah tangga, pendidik anak, dan
mitra sejajar suami. Atas dasar pemikiran seperti inilah saya menilai materi
keprotokolan adalah salah besar. Hal ini terutama berlaku untuk istri saya yang
sehari-hari mengurus rumah dan anak, yang jauh sekali denan urusan protokoler
yang penuh basa-basi, namun “terpaksa” dijejali dengan teori keprotokolan.
Mengapa tidak dipilih materi lain yang lebih aplikatif seperti smart parenting, psikologi remaja dan anak-anak (untuk mencegah sejak dini perilaku
menyimpang para remaja seperti tindakan bullying
di sekolah, narkoba, pergaulan bebas, dan seterusnya), atau bahkan materi
untuk meng-guide istri menjadi
konsultan bagi suaminya sehingga
lebih betah di rumah, tidak terjangkit stress karena beban kerja di kantor, dan
sejenisnya. Semua materi itu – sekali lagi – merupakan prasyarat keberhasilan
seorang suami.
Oleh
karena ladies program mrupakan bagian
integral dari Diklat Kepemimpinan, maka skema pembiayaannya juga harus
terintegrasi dengan anggaran Diklat Kepemimpinan tersebut. Ini berarti pula, ladies program menjadi program wajib (compulsory program) bagi istri-istri
peserta Diklat Kepemimpinan. Kedudukan, peran, dan tanggungawab suami dengan
istri menjadi dua komponen yang saling melengkapi dan memperkuat dalam
konfigurasi bertemunya sistem domestik kekeluargaan dengan sistem publik
(profesi suami).
Pandangan
kesisteman inilah yang saya lihat sangat lemah dalam ladies program saat ini. Dikotomi antara “urusan rumah tangga” dan
“urusan kantor” sebaiknya ditiadakan. Suami harus tahu apapun yang terjadi
dengan rumah tangganya, sebaliknya istripun layak tahu apa yang dilakukan
suaminya di kantor lengkap dengan problematika yang muncul. Tentu saja, untuk
urusan-urusan yang masuk kategori “rahasia jabatan” tidak boleh diceritakan
kepada siapapun termasuk kepada istri maupun anggota keluarga yang lain.
Bung
Karno sendiri dalam buku Penyambung Lidah
Rakyat karya Cindy Adams pernah mengkritik tradisi masyarakat tradisional
kita yang menganggap wanita (para istri) hanya sebagai kanca wingking, yang hanya memiliki tiga tugas yakni macak, masak, dan manak (Jerman: Kleider,
Küche, Kinder). Wanita seolah-olah diposisikan sebagai “pundi-pundi” yang
tidak boleh dilihat orang lain dan tidak boleh ditampilkan di depan khalayak
ramai. Maka, dengan meminjam pemikiran Bung Karno ini, pendidikan bagi
perempuan adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan
dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, ladies program bisa dikatakan sebagai wujud tanggungjawab
mencerdaskan para perempuan Indonesia, sekaligus memperkuat sinergi istri-istri
dengan para suaminya.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 16 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar