Masalah
terbesar dalam kebijakan desentralisasi dan format hubungan pusat-daerah di
Indonesia mungkin sekali adalah tidak jelasnya batas-batas urusan dan wewenang
yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Boleh jadi mencari dan menetapkan batas-batas urusan yang
jelas dan tegas adalah sesuatu hal yang mustahil, namun boleh jadi pula para
pengambil kebijakan di negeri ini belum mampu menemukan dan merumuskan
batas-batas tersebut.
Padahal,
esensi desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan kepada daerah otonom,
lengkap dengan infrastruktur pendukungnya, baik sarana, personalia, maupun
pembiayaan. Oleh karena itu, belum jelasnya pembagian urusan akan berpotensi
menimbulkan permasalahan lanjutan seperti duplikasi program, miss-koordinasi
pelaksanaan program, kelemahan dalam penetapan indikator kinerja, kekeliruan
dalam alokasi anggaran, atau inefisiensi penggunaan sumber daya.
Kalaupun saat
ini sudah ada Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan, namun
masih lebih merupakan pedoman umum dan belum benar-benar membagi secara konkrit
urusan antar level pemerintahan. Justru permasalahan yang sering timbul
sebagaimana disebutkan diatas adalah permasalahan yang terkait dengan urusan
konkuren yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh setiap tingkatan
pemerintahan ini. Artinya, untuk urusan absolut pemerintah pusat yang tidak
terbagi dengan pemerintah daerah, relatif tidak ada masalah yang berarti.
Inilah permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan desentralisasi.
Selain
permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan asas atau urusan desentralisasi,
masih ada lagi permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan asas atau urusan
dekonsentrasi. Permasalahan hubungan pusat – daerah terkait implementasi asas
dekonsentrasi adalah konsekuensi logis dari belum jelasnya batas-batas
pembagian urusan pusat dan urusan yang didesentralisasi kepada daerah. Jika
urusan (konkuren) pusat belum teridentifikasi dengan konkrit, bagaimana bisa
menentukan urusan pusat yang akan dilaksanakan oleh perangkat dekonsentrasinya
secara konkrit pula? Maka, menjadi jelaslah mengapa program dekonsentrasi hingga
saat ini diindikasikan masih banyak duplikasi dan tumpang tindih dengan urusan
daerah. Situasi ini tentu sangat berlawanan dengan semangat penyelenggaraan
dekonsentrasi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan, menjaga kedekatan aparat
pusat kepada rakyat di daerah, serta menjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Sedikit uraian
diatas memberi ilustrasi bahwa pembagian urusan merupakan akar masalah dalam
sistem desentralisasi di Indonesia. Jika masalah ini bisa dikurangi, maka cukup
banyak masalah-masalah turunan yang juga bisa diselesaikan. Untuk itu, dalam perspektif
revisi UU No. 32/2004 perlu diberi perhatian serius untuk memperbaiki aspek
pembagian urusan ini. Untunglah, draft UU Pemerintah Daerah sebagai pengganti
UU Nomor 32/2004 khususnya pada pasal 25 telah mengantisipasi hal ini, misalnya
dengan mengatur klasifikasi urusan menjadi urusan absolut pemerintah pusat,
urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar, urusan wajib yang tidak
terkait dengan pelayanan dasar, serta urusan yang bersifat pilihan. Selain itu,
pada pasal 26 dan 27 telah ditetapkan batas-batas kewenangan pusat dan daerah. Pasal
26 memberi 4 kewenangan kepada pemerintah pusat dalam hal urusan konkuren,
yakni: 1) menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan yang menjadi
kewenangan daerah, 2) melaksanakan fasilitasi dalam penyelenggaraan urusan yang
menjadi kewenangan daerah, 3) melaksanakan supervise, monitoring dan evaluasi
terhadap urusan yang menjadi kewenangan daerah, serta 4) melaksanakan urusan
pemerintahan yang bersifat strategis nasional dan internasional. Sedangkan pada
pasal 27 diatur tentang kewenangan provinsi dalam hal urusan konkuren yakni
mengatur dan mengurus urusan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.
Meskipun sudah
lebih maju dibanding UU sebelumnya, namun pengaturan seperti itu masih terkesan
normatif dan formalitas belaka. Belum ada batas-batas yang lebih terinci dan
terukur, sehingga membuka terjadinya problem yang sama di kemudian hari. Untuk
itu, pengalaman Perancis dapat dijadikan sebagai benchmark, dimana untuk meningkatkan kejelasan batas-batas
fungsi/wewenang dalam urusan dekonsentrasi, Perancis menetapkan adanya 3 (tiga) perangkat
dekonsentrasi yang bertugas menjalankan kewenangan kementerian di tingkat provinsi,
yakni pejabat administrasi (administrative
corps), struktur lokal untuk pelaksanaan fungsi pemerintah pusat (local structures for implementation),
serta aparat pengawasan umum (general
inspection) (Bizet, 2002: 479). Dengan kata lain, Perancis lebih
menggunakan pendekatan perangkat dekonsentrasi yang limitatif, dan tidak
memulai dari pembagian urusan dekonsentrasinya. Setelah ditetapkan perangkat
tadi, barulah diberikan program-program dekonsentrasinya. Dalam hal ini, Bizet
(2002: 478) menyebutkan ada delapan program atau urusan dekonsentrasi yang
diimplementasikan sejak tahun 1983-1986, yakni planning, training and education, urban planning, health and social
action, ports and rivers, school transport, public teaching, dan culture.
Tentu
masih banyak sumber-sumber referensi untuk dijadikan sebagai lesson learned untuk menata kembali soal
pembagian urusan ini. Issu ini hanyalah satu masalah kecil dalam samudera
masalah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan khususnya dalam hubungan
pusat-daerah. Paling tidak, dengan menyelesaikan satu issu ini diharapkan akan
menjadi north star yang memberi arah
dan panduan untuk menyelesaikan masalah lain sekaligus mencapai tujuan dari
kebijakan desentralisasi.
Jakarta, 29
April 2014