Menjelang hari H Pemilu
Legislatif 9 April 2014, mestinya bisa menjadi momentum perubahan mendasar
bangsa ini menuju ke masa kejayaannya. Namun dari beberapa issu/visi/program
yang disampaikan selama masa kampanye, terlebih dari pajangan poster, spanduk,
umbul-umbul, ataupun baliho yang bertebaran dimana-mana, nampaknya belum ada
yang bisa meyakinkan rakyat bahwa perubahan besar akan terjadi pada masa 5
tahun mendatang. Saya sebagai konstituen merasa bingung tentang apa yang akan
mereka lakukan ketika nantinya terpilih menjadi wakil rakyat. Saya sungguh
kecewa bahwa banyaknya problematika berbangsa tidak mampu diramu menjadi
resep-resep alternatif dan disajikan sebagai hidangan lezat bagi para pemegang
DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Kekecewaan saya semakin membesar
karena gambaran saya tentang agenda-agenda mendesak untuk diselesaikan dalam
waktu lima tahun kedepan ternyata tidak terpikirkan oleh para kandidat. Oleh
karena itu, sulit sekali bagi saya untuk mencari figur yang memiliki kedekatan chemistry dengan diri saya. Dan ini
menyebabkan hingga saat ini saya tidak memiliki pilihan kepada siapa saya akan
menitipkan satu suara untuk mereka perjuangkan. Sungguh saya merasa sayang,
meski hanya memiliki satu suara namun suara saya ini harus menguap tak berarti.
Dalam kasus saya seperti ini, golput (golongan putih) bukanlah fenomena
rendahnya kepedulian dan partisipasi politik, namun lebih menjelaskan gejala
tidak terjadinya transaksi politik antara kandidat dengan konstituennya.
Dalam hukum ekonomi, ketika
seorang penjual menawarkan barang dagangan yang tidak disukai atau tidak
dibutuhkan oleh konsumen, maka tidak akan terjadi transaksi dagang atau jual
beli. Dengan analogi seperti ini, saya sebagai konsumen politik sama sekali
tidak paham tentang komoditi yang dijual pada kandidat. Dalam pengamatan saya,
hal terbesar yang dijual para kandidat hanyalah nama dan wajah belaka. Bagi
saya selaku “pembeli” ini adalah barang dagangan paling saya benci. Saya tidak
butuh nama apalagi wajah. Sebagus apapun mereka berdandan di salon, bagi saya
wajah bukanlah sesuatu yang “menjual”. Hal selanjutnya yang dijual adalah asal
parpol dan tokoh-tokoh besar yang dimiliki atau pernah dimiliki parpol
tersebut. Kader yang berasal dari PDI-P lazimnya akan menyertakan foto Bung
Karno, Megawati, atau Jokowi bersama-sama foto mereka sendiri. Demikian pula,
kader dari parpol lain pada umumnya akan menampilkan foto dari ketua umum
masing-masing. Bagi saya, kader-kader yang memajang gambar-gambar tokoh itu
hanya menunjukkan bahwa mereka tidak cukup percaya diri terjun ke dunia
politik. Mereka selalu menjual orang lain, dan bukan menjual kemampuan diri
sendiri. Sekali lagi, saya tidak mau membeli barang dagangan seperti ini. Nah,
diantara ratusan poster yang hanya menjual wajah diri sendiri maupun wajah
tokoh tertentu, ada juga yang sudah menyisipkan prinsip-prinsip ideologis yang saya
asumsikan akan melandasi perjuangan mereka ketika terpilih menjadi wakil
rakyat. Beberapa diantaranya berbunyi: “berjuang untuk rakyat”, “mengabdi
sepenuh hati”, dan sejenisnya. Meskipun terkesan sangat formalistik dan
cenderung gombal, paling tidak mereka
tidak terlalu konvensional dalam teknik marketingnya.
Saya sendiri membayangkan teknik
marketing politik yang sama sekali baru, misalnya dengan menjual statement berisi komitmen dan “kontrak
politik” yang harus dituntaskan dalam masa pengabdian seorang anggota
legislatif. Dengan teknik ini, maka poster, spanduk, atau baliho tadi tidak
diisi dengan foto kandidat, foto tokoh, nama kandidat dengan gelar berderet,
ataupun lambang parpol, melainkan cukup berupa kalimat singkat yang mampu
menarik pembacanya untuk membenarkan kalimat tersebut. Bagi saya, teknik seperti
ini akan lebih menimbulkan rasa penasaran dari pembaca dengan mengajukan
pertanyaan, misalnya: siapa sih kandidat
yang punya model unik berkampanye itu? Atau, siapa sih yang memiliki ide tidak seperti kandidat lainnya? Rasa
penasaran ini akan mendorong seseorang untuk mencari jawaban, dan sangat
mungkin akan memberikan dukungan kepada kandidat tersebut.
Singkatnya, saya berani
menyimpulkan bahwa teknik kampanye kita masih ortodoks seperti model kampanye
pada Pemilu 1971 dan sesudahnya. Tidak ada inovasi dan terobosan-terobosan baru
dalam dunia politik kita, sehingga terasa sangat hambar dan membosankan. Ribuan
poster dan spanduk hanyalah merusak keindahan kota dan menghasilkan ratusan ton
sampah perkotaan. Model kampanye seperti ini juga tidak memberikan efek
pencerdasan dan pendidikan politik bagi masyarakat, sementara indeks
pembangunan manusia terus merangkak naik. Jelas ini menjadi sesuatu yang
kontradiktif. Situasi inipun tidak memberikan insentif atau rangsangan bagi
tumbuhnya partisipasi pemilih yang lebih murni, yakni kesadaran bahwa mencoblos
adalah sebuah kebutuhan, bukan keterpaksaan.
Mengingat situasi sebagaimana
saya uraikan diatas, maka sekedar urun rembug bagi para anggota legislatif yang
akan terpilih nantinya, saya menitipkan 5 (lima) program
strategis berdasarkan pemikiran saya untuk mewujudkan Indonesia yang jauh lebih
baik. Seandanya saya adalah kandidat calon anggota legislatif atau calon
Presiden, lima hal inilah yang akan saya usung sebagai platform dan kontrak politik saya kepada rakyat. Adapun kelima hal
itu adalah sebagai berikut:
1. Percepatan
pembangunan kedisiplinan nasional
yang semakin kokoh. Salah satu wujud dari sistem kedisiplinan nasional ini
adalah adanya komitmen yang kuat dari setiap institusi publik dalam menjalankan
misinya, serta ketaatan terhadap sistem yang telah menjadi konsensus bersama.
Dengan kedisplinan nasional yang solid ini, energi setiap institusi publik
tidak menguap atau menghilang tanpa bekas (efek evaporasi), sebaliknya justru
menghasilkan efek kondensasi, yakni mengubah faktor input berupa energi (sumber
daya) organisasi menjadi kemanfaatan yang dibutuhkan masyarakat.
2. Program
peningkatan efisiensi nasional. Konkritnya,
pemerintah harus segera menyusun roadmap
pengembangan sistem SDM aparatur sehingga dalam 20 tahun yang akan datang,
komposisi PNS permanen dengan tenaga kontrak dari kalangan profesional menjadi
30 : 70. Selain itu, perlu adanya pengintegrasian kelembagaan pemerintahan dari
berbasis sektor menjadi berbasis rumpun (1 rumpun terdiri dari beberapa
sektor). Pada saat yang sama, wajib dilakukan pengintegrasian program dan
anggaran setiap institusi tidak berdasarkan kuota/pagu/baseline namun berdasar prioritas nasional.
3. Pembudayaan
sistem keteladanan nasional. Pembangunan
keteladanan nasional harus menjadi agenda utama dalam sistem kenegaraan dan
kemasyarakatan, dan wajib menjadi spirit utama dalam RPJMN yang menjadi acuan
dalam merumuskan RPJM Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Renstra KL dan SKPD.
Untuk memperkuat sistem keteladanan nasional itu, maka pengendalian dan
integritas diri akan menjadi indikator utama
dalam sistem seleksi pejabat publik. Etika organisasi-pun harus dibangun dengan
kokoh, dan niat baik harus menjadi landasan dalam perumusan kebijakan di semua
lini/jenjang pemerintahan. Hal yang tidak bisa dilupakan terkait hal ini adalah
perlunya menghidupkan kembali semangat cinta tanah air dan rela berkorban
dengan mempopulerkan kisah-kisah heroik para pendahulu sebagai suri teladan
untuk generasi masa kini dan seterusnya.
4. Penguatan
integrasi nasional. Dengan visi ini,
maka desentralisasi fiskal harus dikoreksi agar lebih berpihak kepada
kemandirian dan pemberdayaan daerah. Kekuatan TNI wajib terus ditingkatkan
dengan melibatkan basis masyarakat sipil yg lebih luas. Harmoni dan kerukunan
antar lembaga negara, antar tingkatan pemerintahan, antar parpol, antar
kelompok masyarakat, antar umat
beragama, antar generasi, antar suku/etnis, dan antar pemangku kepentingan
harus menjadi mainstream dalam program pembangunan. Demikian pula, kebanggaan
menjadi bangsa Indonesia wajib terus diperkuat. Nilai-nilai Pancasila wajib
untuk terus diinternalisasikan menjadi perilaku kolektif kebangsaan. Public trust kepada penyelenggara
negara-pun menjadi keniscayaan!
5. Pengembangan
sistem ketahanan nasional sebagai platform perjuangan lembaga pemerintahan
dan lembaga politik. Ketahanan nasional adalah situasi dimana terdapat daya
tahan, daya juang, dan daya saing yang tangguh dari seluruh elemen bangsa.
Maka, perlu disusun framework
penguatan ketahanan nasional dari segala dimensi. Ketahanan pangan, ketahanan
energi, dan ketahanan ekonomi menjadi fundamen paling
mendasar, yang harus diikuti dengan ketahanan diri untuk tidak mudah terjerumus
dalam godaan penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan (untuk aparat
negara), suap dan gratifikasi (untuk pelaku usaha), narkoba dan pergaulan bebas
(untuk generasi muda), indisipliner dan loyalitas semu (untuk pegawai), maupun
niat-niat hanya untuk mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan (untuk
seluruh warga masyarakat). Selain itu, pranata sosial budaya harus ditingkatkan
fungsinya sebagai buffer terhadap
pengaruh global yang menggerus jati diri kebangsaan.
Kelima hal tersebut jika
dilakukan akan meningkatkan kewibawaan nasional baik dimata masyarakat maupun dunia
internasional, sehingga saya menyebutnya sebagai Panca Wibawa Nasional. Ini saya
pandang sebagai kontribusi konseptual saya kepada ribuan caleg yang sedang
berjuang meraih hati rakyat.
Selamat memilih Caleg cerdas dan
amanah, Indonesia-ku.
Jakarta,
7 April 2014.
(sepanjang
jalan dari rumah menuju kantor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar