Jajaran
pemerintah daerah sudah layaknya bergembira dengan rencana revisi UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam draft RUU Pemda muncul satu bab
tersendiri tentang inovasi daerah. Selain berharap akan lahirnya ratusan bahkan
ribuan inovasi, pengaturan inovasi dalam UU ini juga diharapkan dapat
memberikan ketenangan bagi kepala daerah dan para pejabat daerah dalam
menghasilkan kebijakan yang inovatif untuk percepatan pembangunan daerah dan
perbaikan standar hidup masyarakat. Dengan dasar hukum yang semakin kuat ini,
maka inovasi tidak lagi dipersepsi secara keliru sebagai penyimpangan dari
aturan tertentu, serta tidak dipandang sebagai inisiatif pribadi seorang
pimpinan daerah. Artinya, inovasi akan didorong menjadi kebutuhan (jika belum
menjadi kewajiban) dan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Inilah alasan bagi saya pribadi untuk mengatakan bahwa gagasan
pengaturan inovasi dalam RUU Pemda adalah sebuah langkah maju yang harus disambut
positif dan didukung sepenuhnya.
Sayangnya, masih
ada beberapa pihak yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang kurang tepat,
sebagaimana dikemukakan oleh Pokja Otonomi Daerah (koalisi enam LSM: KPPOD,
Seknas Fitra, PSHK, Yappika, YIPD dan URDI) dalam policy brief mereka berjudul “Inovasi Daerah dan Tindakan Hukum
terhadap Aparat Daerah”. Mereka berargumen bahwa peraturan pada hakekatnya
adalah suatu upaya pembatasan. Oleh karena itu mendorong inovasi melalui aturan
merupakan tindakan yang ironis. Bagi mereka, inovasi bisa didorong dengan
menciptakan enabling environment
termasuk memberikan insentif dan penyederhanaan peraturan yang terlalu kompleks
yang dapat memberi ruang bagi kepala daerah untuk berkreasi. Dalam hal ini,
kreatifitas aparat daerah untuk berinovasi dimungkinkan dengan adanya ruang
bagi diskresi.
Saya sepakat
bahwa inovasi akan mengalir dengan deras dalam lingkungan yang kondusif untuk
berkembangnya kreativitas. Potensi kreativitas itu pada dasarnya ada pada
setiap diri pejabat, sehingga tidak terlalu berlebihan untuk berharap setiap
pejabat mampu berpikir, berbuat, dan mengambil keputusan secara kreatif dan
inovatif pula. Namun faktanya, keberanian untuk berpikir out of the box atau beyond
regulation, dan mengambil keputusan yang berbeda dari kebiasaan atau business unusual itu nyaris tidak pernah
terjadi karena ketakutan bahwa hal itu akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak
dibenarkan secara aturan. Dan ketika hal ini berlangsung dalam waktu yang
panjang, maka muncullah kesesatan pendapat bahwa inovasi identik dengan
pelanggaran aturan (baca tulisan saya berjudul “Kambing Hitam Bernama
Inovasi”). Pada saat yang bersamaan, berkembang kekeliruan pandangan yang
menyamakan inovasi dengan diskresi. Padahal, secara konseptual keduanya sangat
berbeda (baca tulisan saya berjudul “Antara Diskresi dan Inovasi”).
Dari argumentasi
diatas terlihat bahwa miskinnya inovasi dalam pemerintahan daerah bukan karena
ditutupnya ruang diskresi, melainkan lebih pada kekhawatiran melanggar aturan.
Oleh karena itu, dalam hemat saya tidak diperlukan upaya untuk memperluas
ruang-ruang diskresi, karena diskresi itu sudah melekat dalam setiap jabatan.
Disamping itu, setiap jabatan juga sudah memiliki kewenangan formal yang
dijamin oleh peraturan perundang-undangan, sehingga perluasan diskresi hanya
akan menimbulkan kesan tidak jelasnya kewenangan formal seorang pejabat. Yang
lebih diperlukan justru adalah memberikan garansi kepada setiap pejabat bahwa inovasi
yang dilakukan memiliki landasan hukum yang kuat. Sekali lagi, inilah urgensi
dan nilai tambah yang ditawarkan oleh RUU Pemda dengan penambahan pasal-pasal
inovasi.
Saya juga tidak
menangkap ada semangat pembatasan inovasi dalam RUU Pemda tersebut. Sebaliknya,
dari klausul yang mengatur bahwa inovasi adalah semua bentuk pembaharuan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, terlihat
nyata bahwa RUU ini memberi keleluasaan yang
besar bagi pejabat daerah untuk melakukan berbagai inovasi. RUU ini juga inisiatif inovasi dapat berasal dari siapa saja, baik kepala daerah, anggota DPRD, individu aparatur daerah, ataupun perangkat daerah. Saya
membayangkan, ketika RUU ini nantinya masuk tahap implementasi secara penuh,
Indonesia akan berubah laksana kebun inovasi raksasa, dimana dari Sabang sampai
Merauke akan tumbuh beragam inovasi. Jika selama ini Indonesia dijuluki sebagai
zamrud yang bertebaran di bumi khatulistiwa, maka zamrud-zamrud itu adalah
inovasi-inovasi yang digagas dan dilahirkan oleh anak-anak negeri.
Sangat
menggembirakan bahwasanya RUU Pemda ini juga memberikan apresiasi dan insentif
bagi pemerintah daerah maupun pegawai dan SKPD yang melakukan inovasi. hal ini
akan memberi motivasi besar bagi setiap daerah, SKPD, maupun pegawai untuk
berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk daerah atau instansinya melalui inovasi
yang tiada henti. Bahkan lebih hebat lagi, RUU ini memberikan perlindungan
terhadap inisiatif inovasi yang “gagal”. Dalam salah satu pasalnya diatur bahwa
“Dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah
menjadi kebijakan pemerintah daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran
yang telah ditetapkan, aparat daerah tidak dapat dipidana”. Mungkin klausul
ini terlalu berlebihan dan dapat menjadi sumber masalah baru di kemudian hari.
Paling tidak, ketentuan ini akan memunculkan banyak penafsiran (multiple interpretation) yang akan
membawa para pihak kedalam perdebatan panjang yang kontra produktif. Meskipun
saya sangat menghargai semangat RUU untuk memberi jaminan perlindungan hukum bagi
pejabat yang melakukan inovasi, namun saya pribadi tidak mendukung upaya
perlindungan harus dieksplisitkan seperti ini. Pada hakekatnya, hukum apapun
dan dimanapun sudah memiliki tujuan perlindungan bagi setiap orang sepanjang
tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran. Sebaliknya, siapa saja yang terbukti
melakukan kesalahan dan pelanggaran maka tidak boleh ada yang melindunginya.
Terlepas dari
berbagai sisi positifnya, harus diakui adanya butir-butir dalam RUU Pemda ini yang
berpotensi menghambat inovasi. Beberapa diantaranya adalah pasal atau ayat yang
mensyaratkan usulan inovasi yang berasal dari anggota DPRD harus ditetapkan
dalam rapat paripurna. Selanjutnya, keputusan sidang paripurna harus
disampaikan kepada kepala daerah untuk dituangkan dalam bentuk Peraturan Kepala
Daerah sebagai inovasi daerah. Ketentuan seperti ini akan menggeser inovasi
kearah komoditi politik karena harus dibahas oleh banyak fraksi di DPRD, dengan
kemungkinan harus diputuskan berdasarkan suara terbanyak alias voting. Dengan
proses yang panjang seperti itu, ide inovasi tidak segera menjadi sebuah aksi,
namun akan terbenam dalam jebakan administrasi yang kaku dan jauh dari semangat
inovasi.
Selain itu, ada
lagi klausul yang “lucu”, karena menegaskan bahwa dalam hal inovasi
berasal dari individu, yang bersangkutan harus memperoleh izin tertulis dari
pimpinan SKPD sebelum diangkat sebagai inovasi SKPD tersebut. Artinya, pimpinan
SKPD memiliki “hak veto” untuk menyatakan sebuah inovasi boleh atau tidak boleh
dilanjutkan. Inovasi menjadi begitu prosedural dan birokratis, serta sangat
berorientasi pada pemegang kekuasaan tertinggi di sebuah instansi. Mungkin
tidak akan menjadi masalah manakala pimpinan instansi juga memiliki spirit
untuk berinovasi. Namun ketika mereka adalah orang-orang yang menyukai prinsip business as usual, mempertahankan kemapanan
dan kenyamanan, serta enggan untuk berubah (resistance
to change), maka dapat dipastikan inovasi akan mati suri. Pengaturan
inovasi yang begitu bagus menjadi sia-sia gara-gara seorang pimpinan instansi
tidak memberikan persetujuan.
Dengan kata lain, masih terkesan adanya kontradiksi antara
semangat mendorong inovasi secara kreatif dan dinamis dengan tradisi birokrasi
lama yang kaku dan statis. Ibarat sebuah rumah, pintu-pintu dibuka lebar namun
tetap saja penghuninya tidak bisa keluar karena pagar/gerbangnya masih terkunci
rapat-rapat. Inilah yang bagi saya merupakan tantangan besar untuk menyempurnakan
materi pengaturan RUU Pemda khusus yang mengenai inovasi daerah. Inilah
momentum negeri ini untuk segera keluar dari jebakan negara berpenghasilan
menengah (middle income trap)
sekaligus segera melakukan lompatan besar (quantum
leap) menuju negara dengan kapasitas bersaing setara dengan negara-negara
maju. Kalau tidak sekarang, kapan lagi negeri ini akan berbenah, Saya bahkan
berharap, ketika RUU Pemda sudah berhasil mendorong inovasi bagi jajaran
pemerintah daerah, akan ada aturan yang mewajibkan pemerintah pusat untuk
melakukan inovasi yang jauh lebih strategis demi kemajuan Ibu Pertiwi. Semoga!
Jakarta, 16 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar