Mungkin tidak ada seorangpun yang
berani membantah premis bahwa mengubah persepsi dan mindset seseorang adalah sesuatu yang teramat sulit. Dan jika mengubah
mindset satu orangpun sulit, apalagi
jika perubahan itu menyangkut mindset kolektif
atau culture-set sebuah bangsa. Itulah
sebabnya, tidak berlebihan jika ada yang menyatakan bahwa membangun mentalitas
dan kepribadian bangsa adalah proyek yang jauh lebih berat namun jauh lebih
prestisius dibanding mega-proyek membangun infrastruktur fisik sebesar apapun.
Nah, transformasi yang dramatis di
Hong Kong (nama resminya adalah Special Administrative Region of Hong Kong) terutama
sejak penyerahan dari Inggris kepada pemerintah China pada tahun 1997, adalah
contoh bagaimana sebuah bangsa berhasil mengubah dan membentuk mindset yang sesuai dengan visi besar
bangsa itu. Sebagaimana diketahui, Hong Kong telah berevolusi dengan sangat cepat
dari ekonomi berbasis manufaktur pada tahun 1950-an dan 1960-an, menjadi
ekonomi yang lebih didominasi oleh sektor perdagangan pada tahun 1970-an dan
1980-an, kemudian berkembang lagi menjadi pusat finansial global tahun 1990-an
dan 2000-an, hingga akhirnya bertransformasi lagi menjadi tujuan utama dan
pusat penghubung entreprenership dan
inovasi global pada tahun 2014 dan seterusnya. Wajah Hong Kong berubah drastis
seiring dengan selesainya proyek-proyek mercusuar. Rasio FDI terhadap GDP pun
melonjak tajam dari 287% pada tahun 2000 menjadi 527% pada tahun 2013. Hong
Kong pada tahun 2012 juga menduduki peringkat ke-3 di dunia sebagai negara tujuan
investasi dengan nilai sebesar USD 75 milyar, atau dibawah Amerika Serikat
sebesar USD 168 milyar dan China sebesar USD 121 milyar. Dengan performa yang
begitu ciamik, tidak heran jika
banyak perusahaan multinasional yang memindahkan markas besar dan operasinya ke
Hong Kong. General Electric di AS, Schneider Electric di Paris, atau Inviniti
di Tokyo, adalah sedikit perusahaan besar yang memutuskan pindah ke Hongkong.
Bahkan Barcelona FC pun turut mendirikan markas besarnya di wilayah Asia juga
di Hong Kong. Antoni Rossich, CEO Barcelona, menyatakan bahwa “Hong Kong is exactly the environment we
need to achieve our objectives in this region. We feel very comfortable here”.
Berbagai kemajuan tadi tentu
tidak datang dengan tiba-tiba. Pastilah ada rencana-rencana cerdas dibalik itu
semua. Kemajuan itupun bukan tanpa tantangan. Untuk negeri sekaya dan semaju
Hong Kong, mungkin soal dana atau teknologi tidak menjadi sebuah hambatan yang
berarti. Tantangan yang lebih berat justru persepsi lama masyarakat dunia yang
memandang Hong Kong sebagai “just another
Chinese city”. Ketika Hong Kong kembali bergabung dengan China pada tahun
1997 tersebut, cukup banyak orang memprediksi Hong Kong akan seperti kota-kota
lain di China yang relatif tertutup, atau menerapkan sistem politik represif
untuk menekan gerakan demokrasi yang anti pemerintah. Selain pandangan seperti
itu, ada pula yang mempersepsi dan memproyeksikan Hong Kong sebagai “Colonial relic frozen in time”, dalam
arti kota ini akan menjadi museum peninggalan Inggris yang akan membeku seiring
berjalannya waktu.
Namun yang terjadi adalah bukti
bahwa itu semua terbantahkan. Apa kuncinya, dan apa saja yang telah dilakukan
pemerintah Hong Kong sehingga menjadi salah satu kota dunia (world city) selain New York dan London?
Untuk sekedar diketahui, majalah Time pada tahun 2008 memperkenalkan
istilah "Nylonkong", yang merujuk pada kota New York, London, dan
Hongkong, untuk menjelaskan bahwa ketiga kota tersebut telah memainkan peran
utama dalam ekonomi global. Selain visi besar dan kerja keras, menurut saya,
jawaban utama dari pertanyaan itu adalah adanya komitmen yang sangat kuat dari
setiap institusi publik dalam menjalankan misinya, serta adanya ketaatan
terhadap sistem yang telah menjadi konsensus bersama. Singkatnya, ada
kedisiplinan nasional yang begitu solid yang menjadikan energi setiap institusi
publik tidak menguap atau menghilang tanpa bekas (efek evaporasi), sebaliknya
menghasilkan efek kondensasi, yakni mengubah faktor input berupa energi (sumber
daya) organisasi menjadi kemanfaatan yang dibutuhkan masyarakat.
Visi besar Hong Kong yang saya
tangkap dari penjelasan pejabat Innovation and Technology Commision (semacam Komisi
Inovasi Nasional) dan InvestHK (BKPM-nya Indonesia) adalah mimpi menjadikan
Hong Kong sebagai penghubung inovasi di kawasan Asia bahkan dunia. Hal ini bisa
dilihat dari policy statement mereka
sebagai berikut: “The government firmly believes
that innovation and technology is a key driver for economic development. We are
committed to developing Hong Kong into a knowledge-based economy that thrives as
an innovation hub in the region.” Untuk mewujudkan visi tersebut, ada
beberapa langkah strategis yang dipilih, diantaranya adalah: 1) enhancing collaboration among the Government,
industry, academia and research sectors to promote research and development as well
as technology transfer; 2) adopting multi-pronged
approach, comprising provision of infrastructural and financial support, human resource
development, collaboration with economies outside Hong Kong and fostering an
innovation culture in the community.
Dari kedua upaya diatas nampak
dengan begitu gamblang bahwa pemerintah Hong Kong sangat menyadari urgensi Triple Helix, yakni sinergi antar
pemerintah, industri, serta kalangan akademik/ litbang dalam menciptakan dan
menerapkan inovasi. Sebanyak apapun inovasi dihasilkan oleh lembaga pendidikan
atau lembaga riset, tidak ada manfaatnya jika tidak diaplikasikan oleh sektor industri.
Demikian pula, jika tidak ada peran positif dari pemerintah untuk menyusun
regulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya inovasi, hampir
mustahil inovasi akan menjadi budaya di institusi riset maupun kebutuhan dunia
usaha. Disamping itu, upaya diatas juga membuktikan komitmen yang begitu kuat
dari pemerintah Hong Kong dengan membangun infrastruktur teknologi modern,
menyediakan anggaran untuk riset dan transfer teknologi, pengembangan SDM,
penguatan kolaborasi baik dengan China daratan maupun dunia internasional,
serta menumbuhkan budaya inovasi di tengah masyarakat.
Terkait dengan penyediaan
infrastruktur teknologi berkelas dunia, pemerintah Hong Kong menjalankan empat
program utama yakni: 1) membangun Hong Kong Science Park yang diisi oleh 500
perusahaan dan menyediakan 10.000 pekerjaan; 2) membangun tiga industrial estate yakni Tai Po, Tseung
Kwan O, dan Yuen Long dengan luas 217 ha dan dihuni oleh 170 perusahaan; 3)
mengembangkan lima pusat penelitian di bidang otomotif, ICT, logistik,
teknologi nano dan material, serta tekstil; 4) membangun Hong Kong cyber port. Selanjutnya dalam hal anggaran,
Pemerintah Hong Kong menyediakan skema anggaran yang sangat besar yakni
berkisar HK$ 700 juta setiap tahunnya, melalui berbagai program seperti Innovation and Technology Support Program, University-Industry
Collaboration Program, Small Entrepreneur Research Assistance Program,
Enterprise Support Scheme, General Support Program, dan sebagainya. Dari
berbagai skema insentif finansial dari pemerintah tadi nampak bahwa berbagai
segmen masyarakat dari kalangan akademisi hingga pengusaha kecil dan menengah,
benar-benar difasilitasi untuk menghasilkan kebaruan-kebaruan dalam tugas dan
urusan masing-masing.
Sementara dari aspek pengembangan
SDM, Pemerintah Hong Kong menggulirkan insiatif pengembangan SDM dengan target
pada 3 (tiga) kelompok masyarakat yakni: 1) untuk kelompok pelajar sekolah
dasar dan menengah ditawarkan program lompetisi teknologi, dan program duta
besar pengetahuan; 2) untuk mahasiswa perguruan tinggi disediakan beasiswa
inovasi dan teknologi, kompetisi technopreneurship, serta skema hibah technopreneurship;
dan 3) untuk entrepreneur muda disediakan program inkubasi taman pengetahuan, program
pendampingan pengusaha kecil (small entrepreneur research assistance program). Tidak
cukup sampai disini, pemerintah Hong Kong juga mengembangkan budaya inovasi,
misalnya melalui event InnoCarnival
setiap tahun. Ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang
pentingnya ilmu pengetahuan dan inovasi serta segala kemanfaatannya.
Belajar dari kasus Hong Kong
diatas, bisa dikatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah menempuh hal yang
relatif sama. Pertama, melalui Komite
Inovasi Nasional telah ditetapkan visi inovasi 2025 yakni “Mendorong Indonesia
menjadi negara maju di tahun 2025 dan merupakan kekuatan ekonomi 12 besar dunia
melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan”. Kedua, melalui pidato Presiden di depan
KIN dan KEN tanggal 16 Juni 2010, Indonesia juga sudah menegaskan policy statement-nya sebagai berikut:
“Pada jangka panjang, sebetulnya inovasi yang kita laksanakan itu berkaitan dengan
nilai dan budaya, values creation. Mengubah
nilai, mengubah perilaku, mengubah mindset
atau cara pandang, mengubah culture
menjadi innovated society menjadi innovation nation. Pertama, bagaimana kita
bisa membangun knowledge society,
masyarakat yang berpengetahuan dan masyarakat yang rasional. Betapa gaduhnya
masyarakat kita kalau makin ke depan tidak makin kuat, cara berpikir, cara
pandang, cara bertindak yang rasional atas dasar pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat kita. Knowledge katanya lebih
menjanjikan dibandingkan traditional
capital yang dipahami dalam ilmu ekonomi.”
Upaya strategis Indonesia-pun
sebenarnya tidak bisa dikatakan buruk mengingat telah disusunnya Inisiatif
Inovasi 1-747 untuk membantu negeri ini bertransformasi ke rezim ekonomi baru, yakni
menuju Indonesia berstatus advanced
economy pada 2025. Fokus Inisiatif Inovasi 1-747 secara khusus adalah aspek
penguatan human capital dan kesiapan
teknologi (technological readiness). Dalam
desain ini besaran belanja litbang yang harus dialokasikan adalah sebesar
minimal 1% dari PDB setiap tahunnya hingga tahun 2014, atau lebih dari 10 kali lipat
alokasi litbang tahun 2010 yakni sebesar 0,07%. Secara berangsur-angsur alokasi
litbang terus ditingkatkan hingga mencapai 3% pada 2025, yang dapat direalisasikan
secara bertahap sesuai dengan daya dukung pemerintah dan partisipasi swasta
(KIN).
Paparan diatas memberi ilustrasi
bahwa persoalan visi hingga strategi pengembangan inovasi di Indonesia tidak
berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Hong Kong. Bedanya, Hong Kong konsisten
mengimplementasikan langkah-langkah strategisnya, sementara kita masih berjalan
di tempat atau berhenti sebagai diskursus yang indah tanpa program eksekusi
yang konkrit. Contohnya, alokasi anggaran untuk riset masih saja dibawah 1%
dari PDB hingga tahun 2014 ini. Jika target alokasi anggaran riset sebesar 3%
tahun 2025 juga gagal, maka jangan harap cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai
advanced economy akan terwujud. Ini
adalah persoalan komitmen terhadap visi dan konsistensi terhadap perencanaan.
Tanpa adanya kepemimpinan yang kuat yang berpegang teguh pada skenario yang
telah dirumuskan, maka semuanya akan menjadi sia-sia belaka.
Disamping adanya visi besar dan
lagkah strategis dalam mewujudkan visi besar sebagai bangsa yang inovatif
sebagaimana diuraikan diatas, masih ada beberapa hal inovatif yang bisa diambil
sebagai pelajaran (lesson learned)
dari Hong Kong. Salah satunya adalah tentang komposisi pegawai di sebuah
institusi. Di beberapa instansi yang kami kunjungi seperti Civil Service
Bureau, InvestHK, ICAC (Independent
Commission Against Corruption), maupun di Central West District Government,
pegawai berstatus PNS atau permanent employee
hanya berjumlah sekitar 30% sedangkan sisanya adalah pegawai kontrak yang
diambilkan dari kalangan professional. Jelas pola seperti ini akan sangat
efisien khususnya dalam hal menghemat anggaran untuk pembayaran pensiun. Pola ini
juga menunjukkan adanya budaya kerja berorientasi kualitas, serta sangat efektif untuk mempercepat pencapaian kinerja karena para professional
yang direkrut langsung dapat mengaplikasikan keahliannya tanpa harus melalui
pembinaan dan pelatihan selama bertahun-tahun. Tentu, pengalaman seperti ini
amat layak diadopsi untuk konteks Indonesia.
Pelajaran lain yang bisa dipetik
adalah adanya kesadaran di seluruh institusi tentang arti penting partnership atau kerjasama dengan
institusi lain. Sebagaimana yang dilakukan ICAC, misalnya, mereka melakukan pendampingan
terhadap instansi pemerintah dan swasta untuk mendeteksi secara dini potensi
korupsi di area-area rawan korupsi. Dengan pendekatan persuasif seperti ini,
mereka bahkan dapat mendeteksi kasus korupsi pembangunan gedung pencakar langit
yang dilakukan dengan mengurangi panjang tiang pancang. Demikian pula, InvestHK
bersikap sangat koperatif dengan investor maupun calon investor, dengan
mempermudah prosedur modal masuk (investasi) maupun keluar (divestasi). Prinsip
mereka adalah easy come easy go,
dengan terus menjaga hubungan baik, sehingga kasus relokasi investasi keluar
Hong Kong sangat kecil untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Kalaupun ada
investor yang memilih merelokasikan dana dan perusahaannya keluar negeri, suati
ketika akan kembali lagi ke Hong Kong karena berbagai kemudahan yang ditawarkan
tadi. Tentu saja, pengalaman seperti inipun teramat
layak diadopsi untuk konteks pelayanan investasi di Indonesia.
Masih banyak hal positif yang
bisa dipelajari dari Hong Kong. Namun dari sedikit hal yang dipaparkan
diataspun sudah menyiratkan ruang-ruang inovasi yang perlu digarap oleh anak
negeri Indonesia.
Serpong, 9 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar