Pentingnya
menulis sudah saya uraikan pada beberapa artikel saya sebelumnya, dan artikel
ini merupakan penguat argumentasi mengapa menulis itu harus menjadi habit bagi seseorang sekaligus kewajiban
dalam sebuah organisasi. Mari kita mulai dengan karakteristik organisasi
modern. Kemampuan bersaing dan keberhasilan dalam memenangkan persaingan bagi
organisasi modern tidak terletak pada besarnya struktur organisasi, banyaknya
anggaran yang dimiliki, atau canggihnya teknologi, melainkan pada seberapa
besar kemampuan organisasi tersebut menguasai pengetahuan. Dengan kata lain,
organisasi yang baik adalah organisasi yang mengandalkan pengetahuan dalam
mengelola organisasinya. Dalam menyusun rencana program dan kegiatan, ekspansi
usaha, pengembangan SDM, dan lain-lain, organisasi tadi harus memanfaatkan
sebesar mungkin pengetahuan, baik yang bersifat tacit (implicit) maupun
yang explicit, baik yang bersumber
dari pengetahuan para pegawai sendiri maupun pengetahuan dari pihak luar.
Inilah yang disebut sebagai knowledge-based
organization.
Sayangnya, dalam
organisasi yang meng-klaim dirinya sebagai knowledge-based
organization sekalipun seperti lembaga riset/litbang, perguruan tinggi, dan institusi pemikir milik pemerintah (think tank), saya masih melihat hal itu
sebagai label belaka, belum
sepenuhnya bercirikan manajemen pengetahuan. Saya bahkan punya kesan bahwa
kebanyakan organisasi di Indonesia masih bersifat talk-based, dalam arti mekanisme verbal masih mendominasi jalannya
organisasi dibanding sistem yang tertulis secara terstruktur dan dapat disimak
atau diterapkan kapan saja dibutuhkan. Coba saja perhatikan, betapa sering para
petinggi negara mengadakan rapat, namun teramat jarang yang didokumentasikan secara
baik dan lengkap. Begitu juga, pejabat-pejabat strategis yang menerima tamu dan
memberikan penjelasan atau pengarahan, tidak direkam secara cermat. Pada
tataran individu setiap pegawai pun bisa kita amati bahwa ide-ide mereka yang
terungkap dari obrolan santai hingga saran-saran pada diskusi formal, sering
tidak tercatat sebagai bagian dari harta kekayaan organisasi.
Di tempat saya
bekerja di LAN, situasinya tidak jauh dari deskripsi saya diatas. Teramat banyak
para pejabat struktural dan pejabat fungsional seperti peneliti, dosen, bahkan
staf yunior sekalipun yang melontarkan gagasan-gagasan cerdas, yang semua itu
mencerminkan aneka ragam pengetahuan. Sayangnya, beragam pengetahuan tadi
hilang begitu saja dan dengan sangat cepat terlupakan karena tidak ada sistem
dokumentasi pengetahuan yang baik. Saya memprediksikan, jika pengetahuan yang
terlontar secara verbal tadi dapat dikuantifikasi, mungkin akan terkumpul lebih
dari 1 juta ton pengetahuan setiap tahunnya. Jelas ini sebuah kerugian besar
bagi sebuah organisasi seperti LAN.
Kondisi seperti
inilah yang sering saya sebut sebagai efek evaporasi pengetahuan, yakni proses
penguapan pengetahuan menjadi gas, yang tak berjejak dan sulit dipanggil
kembali. Semestinya, yang terjadi adalah efek kondensasi, yakni berubahnya gas
(ucapan yang sarat pengetahuan) menjadi embun pengetahuan yang dapat dibaca
berulang-ulang dan dapat ditularkan kepada orang lain. Agar efek kondensasi
pengetahuan ini dapat terjadi, maka diperlukan adanya upaya untuk
mendokumentasikan setiap ucapan, gagasan, maupun “transaksi” atau “jual beli” pengetahuan
dalam wujud diskusi. Nah, proses dokumentasi pengetahuan yang paling efektif
adalah dengan menuliskannya. Memang ada cara dokumentasi lain seperti direkam dengan
alat tape recorder, atau direkan
secara visual dalam bentuk video. Bedanya, dokumentasi melalui rekaman ini
hanya menyajikan kejadian/fakta apa adanya, dan membutuhkan olah intelektual
dalam otak pemirsanya untuk menafsirkan inti pesan dari peristiwa tersebut.
Sedangkan dokumenatsi tertulis pada umumnya sudah diolah lebih lanjut sehingga
lebih sistematis, lebih informatif, dan lebih mudah dipahami. Dengan
mendokumentasikan pengetahuan secara tertulis, maka efek penguapan pengetahuan
dapat dihindarkan, dan ini adalah sebuah keuntungan besar bagi sebuah organisasi.
Saya pribadi
sering melakukan refleksi bahwa pengetahuan sayapun amat banyak yang menguap.
Padahal, jika saya mampu menjaga konsistensi untuk menuliskan apapun ide,
pengalaman, dan pengetahuan saya minimal 1 lembar setiap harinya, maka dalam 1
tahun saya dapat menghasilkan kumpulan tulisan dalam bentuk buku yang tebal,
yakni berisi 365 halaman. Nah, jika asumsinya saya sudah memiliki pengetahuan
yang layak dituliskan semenjak usia 30 tahun, dan usia saya saat ini adalah 45
tahun, maka ada 15 tahun yang saya sia-siakan, dan itu berarti bahwa saya
kehilangan peluang untuk menulis 15 buku @ 365 halaman. Meskipun penggambaran
ini terkesan didramatisir, namun itu untuk mengilustrasikan betapa potensi
pengetahuan kita banyak terbuang begitu saja, betapa waktu kita sia-siakan, dan
betapa bodohnya kita. Tentu saja, refleksi ini berlaku untuk setiap orang
karena merekapun memiliki kekayaan pengetahuan masing-masing.
Kerugian
selanjutnya dari kegagalan melakukan dokumentasi pengetahuan adalah tidak dapat
dilakukannya replikasi pengetahuan dan pertukaran pengetahuan. Bayangkan saja,
seandainya setiap orang melakukan dokumentasi pengetahuan dan kemudian saling
mempertukarkan satu dengan yang lain, betapa cepat proses pencerdasan kehidupan
bangsa. Itulah sebabnya, knowledge
management membutuhkan keterampilan teknis untuk menuliskan pengetahuan.
Dan refleksi ini
semakin “memaksa” saya untuk terus menulis apapun yang terlintas di benak saya.
Sesederhana apapun ide yang sempat singgah di otak kita, sejatinya itu adalah
hadiah dari Yang Maha Kuasa. Maka, hormatilah Dia yang telah bermurah hati
dengan cara menuangkannya kedalam sebuah tulisan, sesederhana apapun itu.
Sebab, sebagaimana dalam harta kita ada hak orang lain, maka dalam sebuah ide-pun,
ada hak orang lain untuk mengetahuinya atau bahkan mengambil manfaat darinya.
Harta dan ide pada hakekatnya adalah sama-sama rejeki dari Tuhan Yang Maha
Pemurah. Jika kita wajib menyedekahkan sebagian dari harta kita, maka kitapun
wajib menyedekahkan ide kita kepada orang lain. Cara menyedekahkan ilmu
pengetahuan kita adalah dengan menuliskannya, untuk kemudian mempublikasikannya
seluas mungkin. Semakin banyak kita bersedekah ilmu/pemikiran, yakinlah ilmu
kita akan menjadi berlipat ganda karenanya.
Jakarta, 11
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar