Pada saat mengajar materi inovasi
di sebuah program diklat dan memasuki masa istirahat, saya katakan bahwa
istirahat dalam perspektif inovasi itu adalah sebuah keharusan, sehingga saya
tidak terlalu kaku dengan batas waktu 15 menit yang disediakan. Saya kemudian
menceritakan bahwa di Manchester University, setiap gedung dari seluruh gedung
yang ada diwajibkan memiliki coffee shop,
dan pada setiap jam istirahat seluruh staf universitas diwajibkan untuk
meninggalkan ruangan dan menuju ke coffee
shop tersebut. Tujuannya bukanlah untuk membuang waktu kerja yang begitu
berharga, namun agar terjadi interaksi antar staf dan terjalin komunikasi mengenai
berbagai hal baru yang berbeda dibanding rutinitas yang mereka hadapi.
Saya kemudian menambahkan beberapa
cerita inspiratif yang saya ambilkan dari blog inovasi milik It Pin Arifin yang
sangat inspiratif. Konon, ketika Nissan
Design International (NDI) mengalami kebuntuan dalam merancang model
Pathfinder, wakil presiden NDI kala itu, Jerry Hirshberg, membuat keputusan mencengangkan
dengan mengajak seluruh staf perusahaan untuk menonton film The Silence of The Lamb pada jam kerja! Menurut
Hirshberg, setelah acara tersebut, ketegangan di perusahaan tersebut berkurang
perlahan-lahan dan beberapa hari kemudian ide-ide berdatangan sehingga masalah
berhasil diselesaikan. Kisah unik juga terjadi di Oticon. Ketika Lars Kolind
mengambil alih pimpinan perusahaan yang sedang mengalami krisis, salah satu
tindakan yang dilakukannya untuk menyehatkan kembali perusahaan tersebut adalah
dengan merombak arsitektur gedung kantor perusahaan. Lebar tangga-tangga di kantor Oticon diperbesar agar para staf bisa
melakukan percakapan informal tanpa takut mengganggu orang lain yang berlalu-lalang.
Ada lagi cerita menarik dari Ferrari yang terkenal sebagai salah satu perusahaan
paling kreatif di Eropa, bukan hanya dalam hal produknya, tetapi pada cara mereka membangkitkan kreativitas para
karyawannya. Kuncinya ternyata cukup sederhana, yakni secara teratur mereka menyelenggarakan
program Creativity Club untuk para
stafnya. Dalam setiap pertemuan klub, mereka akan mengundang para artis dari
bidang seni yang berbeda-beda, dari para pelukis, pemahat, pemusik, penulis,
DJ, fotografer, chef, aktor, hingga konduktor orkestra. Selain
berbincang-bincang dengan para karyawan Ferrari, para artis tersebut juga
diminta mengajarkan ketrampilan mereka melalui kursus-kursus singkat. Para
peserta klub pun tidak dibatasi, selain eksekutif dan kalangan manajer, para
pekerja pabrik juga boleh ikut serta. Apa yang terjadi di Ferrari ini mirip
sekali dengan yang dikembangkan di Pixar, perusahaan pembuat film animasi 3 dimensi. Pixar mendirikan Pixar University yang menjalankan
kelas-kelas, event, atau workshop yang berkaitan dengan
pembuatan film animasi 3 dimensi, termasuk kelas-kelas melukis, memahat, atau creative
writing. Setiap karyawan diharapkan menghabiskan 4 jam setiap minggu di
universitas tersebut untuk terus mengembangkan diri dan kreativitas mereka, dan
mereka dianjurkan mengambil kelas-kelas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
mereka.
Apa yang terjadi di Manchester
University, Nissan, Oticon, Ferrari, maupun Pixar adalah contoh serius
bagaimana stimulus acak diterapkan untuk merangsang kreativitas pegawainya. Kreativitas
lebih sering lahir dari kondisi yang variatif, berubah-ubah, berbeda-beda, atau
bahkan baru sama sekali. Sebaliknya, kreativitas jarang sekali muncul dari
lingkungan yang stabil, stagnan, rutin, seragam, dan tidak membuka ruang-ruang bagi
ekspresi dan aspirasi pegawai. Itulah sebabnya, kesempatan istirahat dalam
diklatpun harus dimanfaatkan sebagai kesempatan memperoleh stimulus acak bagi
para peserta diklat. Faktanya, setelah istirahat ada kecenderungan aktivitas
peserta semakin dinamis, yang membuktikan bahwa mereka benar-benar telah
mendapatkan stimulus acak tersebut.
Itulah the power of break / recess. Maka, janganlah seorang atasan
menghalangi anak buahnya yang ingin beristirahat. Istirahat bukan hanya sebuah
hak asasi bagi seorang pegawai, namun juga menjadi ajang inkubasi diri untuk menenangkan
ketegangan, mengendapkan pemikiran, menjernihkan permasalahan, serta
mematangkan rencana-rencana yang masih berupa ide-ide kecil dan sederhana. Ketika
masa inkubasi berakhir, hampir dapat dipastikan bahwa kreativitas akan muncul
dengan sendirinya. Dalam kaitan ini, membaca buku atau menonton film yang tidak
disukai, menghadiri pertemuan dengan kalangan yang berbeda profesi atau latar
belakang, berdiskusi dengan orang yang memiliki pandangan kontras dengan kita, menggunakan
bahasa daerah dalam pertemuan formal, atau membaca sebuah bab mulai dari kesimpulan,
adalah juga cara-cara sederhana untuk menghadirkan stimulus acak bagi otak kita,
sebagai upaya menggelitik indera kreativitas kita.
Dalam konteks organisasi yang
lebih luas, stimulus acak bisa dilakukan misalnya dengan memberi tugas-tugas
yang berbeda dari biasanya, atau menugaskan ke daerah yang asing dan belum
pernah dikunjungi sama sekali. Tour of
duty dan tour of area juga bisa
menjadi cara jitu untuk menumbuhkan kegairahan dan rasa tertantang terhadap
sesuatu yang baru. Tentu saja, mutasi pegawai ini harus memperhatikan aspek
kompetensi dan perilaku dari pegawai yang bersangkutan. Disamping itu, masa liburan
maupun cuti pegawai pada hakekatnya adalah juga masa istirahat untuk
menghidupkan stimulus acak. Maka, setiap pimpinan organisasi tidak boleh
menolak cuti yang menjadi hak pegawai. Jika memungkinkan, justru pegawai yang
telah jenuh dihimbau untuk mengambil cuti dengan disertai pemberian insentif. Yakinlah
bahwa setelah masa cuti berakhir, kontribusi pegawai terhadap organisasi akan
semakin besar. Organisasilah yang akan menerima manfaat lebih besar dari
pengajuan cuti para pegawainya.
Atas dasar pemikiran demikian, kita
bisa memahami mengapa masa reses bagi
anggota legislatif menjadi sangat penting. Pada masa-masa itulah mereka mengunjungi
konstituennya di berbagai daerah untuk bersilaturahmi dan menangkap
aspirasinya. Kondisi kehidupan rakyat yang beragam, harapan dan kepentingan
yang berbeda-beda, cara mengekspresikan aspirasi yang juga bervariasi, mestinya
memberikan stimulus acak bagi anggota legislatif tadi, sehingga diharapkan
memunculkan ide-ide kreatif bagaimana mengatasi problema sosial dan issu-issu kesenjangan
pembangunan di berbagai wilayah.
Sampai disini, saya merasa sudah
waktunya bagi saya untuk beristirahat. Jika tulisan ini saya teruskan, saya
tidak akan mendapatkan stimulus acak untuk memperkuat ide-ide kreatif saya sebagai
bahan penulisan artikel berikutnya … J
Kampus Pejompongan, 10 April 2014
*memanfaatkan waktu menunggu
rapat berikutnya, tepat azan dhuhur berkumandang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar