Kamis, 17 April 2014

Antara Batas Usia Minimal dan Maksimal


Ada yang menarik dari UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya mengenai pembatasan usia untuk menduduki suatu jabatan. Pada pasal 38 diatur bahwa salah satu syarat menjadi anggota KASN adalah berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri. Demikian pula pada pasal 41 ada klausul yang mengatur bahwa untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik dan Kode Perilaku paling rendah telah berusia 55 (lima puluh lima) tahun.  

Ini jelas satu aturan yang unik dan menggelitik untuk ditelisik. Penetapan batas usia minimal ini mengandung arti bahwa anggota KASN atau anggota Majelis Kehormatan boleh saja berumur 80, 90, bahkan 100 tahun atau lebih. Sebaliknya, mereka yang masih berumur 49 tahun 11 bulan, setinggi apapun pendidikannya, sehebat apapun integritas dan kredibilitasnya, dan sebanyak apapun karya monumental yang telah dihasilkan, tetap saja tidak dapat menjadi anggota KASN.  

Saya lantas membandingkan dengan Laily Prihatiningtyas, wanita termuda yang menjabat Dirut BUMN PT Borobudur dalam usia 28 tahun saat pengangkatannya tahun 2013 yang lalu. Begitu pula Makmun Ibnu Fuad yang terpilih menjadi Bupati Bangkalan pada tahun 2012 dalam usia 26 tahun. Sementara itu, Lukman Edy, diangkat menjadi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal era Kabinet Indonesia Bersatu I pada tahun 2007 ketika usianya belum genap 37 tahun. Masih banyak lagi contoh betapa generasi muda telah memiliki kapasitas intelektual, manajerial, dan emosional yang lebih dari cukup untuk menduduki posisi penting di Republik ini. 

Nah, ketika tujuh tahun silam para pemuda sudah mulai memegang peran penting dalam blantika politik dan kebijakan negara, menjadi agak ironis ketika di penghujung 2013 kemaren lahir UU yang menutup peluang bagi generasi muda untuk turut berkiprah dalam posisi tertentu. Saya tidak tahu persis apa argumentasi dan pertimbangan yang melatarbelakangi hal ini. Namun bagi saya ini sebuah kemunduran cara berpikir ditengah upaya bangsa ini mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Dengan semakin membaiknya Human Development Index, logikanya semakin terbuka dan kompetitif mekanisme yang digunakan untuk menjaring kandidat terbaik, bukan justru memunculkan kesan pengkaplingan untuk orang-orang tertentu, meskipun boleh jadi mereka telah “berjasa” bagi kemajuan bangsa di bidang tertentu. 

Ketentuan pasal 38 UU No. 5/2014 ini seperti mengkloning pasal 7 UU No. 5/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menandaskan bahwa untuk diangkat menjadi Hakim Agung minimal telah berusia 50 tahun. Saya masih belum percaya sepenuhnya bahwa hakim yang berusia senja selalu memiliki wawasan lebih luas, kearifan lebih dalam, energi dan tenaga lebih kuat, atau lebih tahan terhadap godaan. Malah sebaliknya, kedua UU diatas seperti memberi ruang pengabdian yang makin besar, justru pada usia menjelang menurunnya produktivitas. Ketentuan ini juga memiliki semangat yang sama dengan UU No. 18/2003 tentang Advokat yang mensyaratkan usia minimal 25 tahun untuk menjadi advokat. Seolah-olah, seseorang yang baru berusia 24 tahun 11 bulan tidak layak menjadi advokat meski telah bergelar Doktor dan telah berpengalaman di bidang bantuan hukum. Dalam hal seseorang lulus menjadi Sarjana Hukum pada usia 21 tahun, maka yang bersangkutan kehilangan waktu selama 4 tahun (termasuk kewajiban magang 2 tahun) untuk dapat menjadi advokat. Tentu, aturan seperti ini sangat tidak berpihak pada profesionalisme, namun lebih mengedepankan urusan senioritas dalam menduduki sebuah posisi. 

Jika saya mengangkat issu ini, bukan berarti saya anti dengan kelompok senior. Saya justru pernah menulis bahwa menggugat gerontokrasi (pemerintahan oleh para orang tua) itu tidak relevan karena faktanya banyak orang tua yang masih memiliki vitalitas tinggi untuk menjalankan sebuah penugasan. Ini juga bukan soal dikotomi tua – muda. Saya justru ingin menghapuskan dikotomi tersebut. Usia mungkin saja berhubungan dengan kematangan psikologis atau pengalaman organisasional, namun semestinya tidak dijadikan sebagai ukuran hitam putih. Sebab, tidak ada jaminan bahwa yang lebih tua selalu lebih matang kondisi kejiwaan dan pengalaman organisasinya. Sebaliknya, tidak setiap yang muda memiliki kekurangan kompetensi. 

Faktanya, “diskriminasi” atas usia ini bukan hanya terjadi pada generasi muda. Generasi “tua” pun mengalaminya. Sebagai contoh, Surat Menpan dan RB No. B/3264 tanggal 28 Oktober 2013 yang ditujukan kepada seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Daerah, memberi batas usia maksimal bagi PNS yang akan melaksanakan tugas belajar, yakni pada usia 45 tahun untuk jenjang Diploma I/II/III/IV dan Strata-1, serta 50 tahun untuk jenjang Spesialis dan Strata-2/Strata-3. Artinya, seseorang yang sudah berusia 50 lebih 1 hari, sudah kehilangan haknya untuk mendapatkan tugas belajar S-2 atau S-3. Ada lagi pembatasan usia maksimal, yakni untuk pengangkatan CPNS hanya dimungkinkan bagi mereka yang berumur maksimal 35 tahun. Seorang warga negara yang sepintar apapun akan kehilangan haknya secara otomatis jika ia telah berumur 35 lebih 1 hari.  

Saya pribadi berpandangan bahwa soal pembatasan usia ini kita kembalikan kepada konstitusi, adakah semangat pembatasan tersebut? Dalam pasal 27 ditetapkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, tanpa syarat umur tertentu. Sepanjang mereka mampu melakukan pekerjaan tanpa menimbulkan kondisi yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain, maka orang tersebut memiliki kesempatan yang sama, tidak peduli berapapun umurnya. Demikian pula pasal 31 menegaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Artinya, setiap pegawai baik tua maupun muda, sama-sama berhak untuk mendapatkan kesempatan tugas belajar.  

Tanpa kita sadari, kita sering membuat aturan yang tidak diperlukan, dan akibatnya hanya menimbulkan beragam interpretasi dan merugikan hak-hak konstitusional pihak tertentu. Semoga refleksi singkat ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk melakukan deregulasi dan penyederhanaan aturan-aturan yang masih membawa semangat perbedaan. Indonesia kedepan harus lebih dibangun diatas pondasi egalitarian dan persamaan hak-hak dasar manusia, dengan mengedepankan prinsip kompetensi, kompetisi yang adik, serta pemerataan kesempatan bagi seluruh umat manusia di bumi pertiwi. 

Jakarta, 17 April 2014.

Tidak ada komentar: