Ada yang menarik dari UU No. 5/2014
tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya mengenai pembatasan usia untuk
menduduki suatu jabatan. Pada pasal 38 diatur bahwa salah satu syarat menjadi
anggota KASN adalah berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan
diri. Demikian pula pada pasal 41 ada klausul yang mengatur bahwa untuk dapat
diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik dan Kode Perilaku paling
rendah telah berusia 55 (lima puluh lima) tahun.
Ini jelas satu aturan yang unik dan
menggelitik untuk ditelisik. Penetapan batas usia minimal ini mengandung
arti bahwa anggota KASN atau anggota Majelis Kehormatan boleh saja berumur 80,
90, bahkan 100 tahun atau lebih. Sebaliknya, mereka yang masih berumur 49 tahun
11 bulan, setinggi apapun pendidikannya, sehebat apapun integritas dan
kredibilitasnya, dan sebanyak apapun karya monumental yang telah dihasilkan,
tetap saja tidak dapat menjadi anggota KASN.
Saya lantas membandingkan dengan Laily
Prihatiningtyas, wanita termuda yang menjabat Dirut BUMN PT Borobudur dalam
usia 28 tahun saat pengangkatannya tahun 2013 yang lalu. Begitu pula Makmun
Ibnu Fuad yang terpilih menjadi Bupati Bangkalan pada tahun 2012 dalam usia 26
tahun. Sementara itu, Lukman Edy, diangkat menjadi Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal era Kabinet Indonesia Bersatu I pada tahun 2007 ketika usianya belum
genap 37 tahun. Masih banyak lagi contoh betapa generasi muda telah memiliki
kapasitas intelektual, manajerial, dan emosional yang lebih dari cukup untuk
menduduki posisi penting di Republik ini.
Nah, ketika tujuh tahun silam para
pemuda sudah mulai memegang peran penting dalam blantika politik dan kebijakan
negara, menjadi agak ironis ketika di penghujung 2013 kemaren lahir UU yang
menutup peluang bagi generasi muda untuk turut berkiprah dalam posisi tertentu.
Saya tidak tahu persis apa argumentasi dan pertimbangan yang melatarbelakangi
hal ini. Namun bagi saya ini sebuah kemunduran cara berpikir ditengah upaya
bangsa ini mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Dengan semakin
membaiknya Human Development Index,
logikanya semakin terbuka dan kompetitif mekanisme yang digunakan untuk
menjaring kandidat terbaik, bukan justru memunculkan kesan pengkaplingan untuk
orang-orang tertentu, meskipun boleh jadi mereka telah “berjasa” bagi kemajuan
bangsa di bidang tertentu.
Ketentuan pasal 38 UU No. 5/2014 ini
seperti mengkloning pasal 7 UU No. 5/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menandaskan bahwa untuk diangkat menjadi Hakim Agung minimal telah berusia 50
tahun. Saya masih belum percaya sepenuhnya bahwa hakim yang berusia senja
selalu memiliki wawasan lebih luas, kearifan lebih dalam, energi dan tenaga
lebih kuat, atau lebih tahan terhadap godaan. Malah sebaliknya, kedua UU diatas
seperti memberi ruang pengabdian yang makin besar, justru pada usia menjelang
menurunnya produktivitas. Ketentuan ini juga memiliki semangat yang sama dengan
UU No. 18/2003 tentang Advokat yang mensyaratkan usia minimal 25 tahun untuk
menjadi advokat. Seolah-olah, seseorang yang baru berusia 24 tahun 11 bulan
tidak layak menjadi advokat meski telah bergelar Doktor dan telah berpengalaman
di bidang bantuan hukum. Dalam hal seseorang lulus menjadi Sarjana Hukum pada
usia 21 tahun, maka yang bersangkutan kehilangan waktu selama 4 tahun (termasuk
kewajiban magang 2 tahun) untuk dapat menjadi advokat. Tentu, aturan seperti
ini sangat tidak berpihak pada profesionalisme, namun lebih mengedepankan
urusan senioritas dalam menduduki sebuah posisi.
Jika saya mengangkat issu ini, bukan
berarti saya anti dengan kelompok senior. Saya justru pernah menulis bahwa
menggugat gerontokrasi (pemerintahan oleh para orang tua) itu tidak relevan
karena faktanya banyak orang tua yang masih memiliki vitalitas tinggi untuk
menjalankan sebuah penugasan. Ini juga bukan soal dikotomi tua – muda. Saya
justru ingin menghapuskan dikotomi tersebut. Usia mungkin saja berhubungan
dengan kematangan psikologis atau pengalaman organisasional, namun semestinya
tidak dijadikan sebagai ukuran hitam putih. Sebab, tidak ada jaminan bahwa yang
lebih tua selalu lebih matang kondisi kejiwaan dan pengalaman organisasinya.
Sebaliknya, tidak setiap yang muda memiliki kekurangan kompetensi.
Faktanya, “diskriminasi” atas usia ini
bukan hanya terjadi pada generasi muda. Generasi “tua” pun mengalaminya.
Sebagai contoh, Surat Menpan dan RB No. B/3264 tanggal 28 Oktober 2013 yang
ditujukan kepada seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Daerah, memberi batas
usia maksimal bagi PNS yang akan melaksanakan tugas belajar, yakni pada
usia 45 tahun untuk jenjang Diploma I/II/III/IV dan Strata-1, serta 50 tahun
untuk jenjang Spesialis dan Strata-2/Strata-3. Artinya, seseorang yang sudah
berusia 50 lebih 1 hari, sudah kehilangan haknya untuk mendapatkan tugas
belajar S-2 atau S-3. Ada lagi pembatasan usia maksimal, yakni untuk
pengangkatan CPNS hanya dimungkinkan bagi mereka yang berumur maksimal 35
tahun. Seorang warga negara yang sepintar apapun akan kehilangan haknya secara
otomatis jika ia telah berumur 35 lebih 1 hari.
Saya pribadi berpandangan bahwa soal
pembatasan usia ini kita kembalikan kepada konstitusi, adakah semangat
pembatasan tersebut? Dalam pasal 27 ditetapkan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, tanpa
syarat umur tertentu. Sepanjang mereka mampu melakukan pekerjaan tanpa
menimbulkan kondisi yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain, maka
orang tersebut memiliki kesempatan yang sama, tidak peduli berapapun umurnya.
Demikian pula pasal 31 menegaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran”. Artinya, setiap pegawai baik tua maupun muda, sama-sama berhak
untuk mendapatkan kesempatan tugas belajar.
Tanpa kita sadari, kita sering membuat
aturan yang tidak diperlukan, dan akibatnya hanya menimbulkan beragam
interpretasi dan merugikan hak-hak konstitusional pihak tertentu. Semoga
refleksi singkat ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk melakukan deregulasi
dan penyederhanaan aturan-aturan yang masih membawa semangat perbedaan.
Indonesia kedepan harus lebih dibangun diatas pondasi egalitarian dan persamaan
hak-hak dasar manusia, dengan mengedepankan prinsip kompetensi, kompetisi yang
adik, serta pemerataan kesempatan bagi seluruh umat manusia di bumi pertiwi.
Jakarta, 17 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar