Kata “inkubasi” sudah teramat
sering kita dengarkan, namun “inkubasi inovasi” mungkin belum banyak dikenal
secara luas. Pada umumnya kata inkubasi sering dipakai di bidang kedokteran untuk
menjelaskan waktu
antara terkena infeksi dengan munculnya gejala awal suatu penyakit. Inkubasi
juga lazim digunakan oleh penganut aliran spiritual, yakni praktik tidur di
tempat yang disucikan untuk memperoleh mimpi atau kesembuhan. Sementara dalam
ilmu mikrobiologi, istilah ini merujuk pada proses memelihara kultur bakteri
dalam suhu tertentu selama jangka waktu tertentu untuk memantau pertumbuhan
bakteri. Adapun dalam bidang bisnis, inkubasi adalah sejumlah waktu dan
rangkaian usaha yang dibutuhkan sebelum memulai usaha tertentu.
Dari
berbagai pemakaian istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa inkubasi itu adalah
waktu/masa yang dibutuhkan untuk melaksanakan observasi atau aksi dan intervensi
tertentu, sampai muncul perubahan dari kondisi awal menjadi kondisi baru. Pertanyaannya,
mengapa inkubasi penting untuk dilakukan?
Pada
umumnya, sebuah usaha baru atau inisiatif baru membutuhkan semacam uji coba, market testing, atau piloting sebelum dijalankan sepenuhnya.
Pada tahap awal tadi, biasanya masih dijumpai adanya pengalaman yang terbatas,
keterampilan manajerial yang minim, jejaring usaha yang sedikit, atau dukungan
dan kepercayaan publik yang juga masih sangat terbatas. Dengan berbagai
keterbatasan tadi, kemungkinan keberhasilan suatu usaha/inisiatif menjadi
kecil. Untuk itu, sesuatu yang masih mentah bisa menjadi matang setelah
melewati masa inkubsi. Sesuatu yang masih berupa konsep/ide pun dapat menjadi
program yang aplikatif dengan menjalani masa inkubasi. Keterbatasan aspek
keterampilan maupun metodologi akan diminimalisir dengan program inkubasi ini. Tanpa
adanya inkubasi, boleh jadi sebuah inisiatif atau permulaan usaha (startups) tidak akan pernah berkembang
lebih maju. Ini pula yang terjadi di AS, dimana 66% bisnis pemula masih berada
pada kondisi yang sama setelah 2 tahun berjalan, dan 44% masih tetap sama dan
tidak tumbuh setelah 4 tahun (Amy E. Knaup, Survival
and Longevity in the Business Employment Dynamics Database, dalam Jamil
Alkhatib, Innovation Incubators,
Jordan: German Jordanian University).
Itulah
sebabnya, inkubasi menjadi sangat penting sekali dalam menentukan keberhasilan
sebuah bisnis. Pentingnya inkubasi ini makin terlihat nyata dengan penggambaran
inkubasi sebagai jembatan lembah kematian (valley
of death) yang menghubungkan dua bukit batu terjal. Bukit yang pertama
adalah tamsil untuk menjelaskan ide-ide baru, temuan-temuan kajian/riset, serta
rencana pengembangan bisnis. Sedangkan bukit kedua adalah perumpamaan bisnis
yang telah berjalan normal dan menghasilkan keuntungan. Asumsinya, ide-ide,
hasil penelitian, dan rencana bisnis tadi tidak serta merta mampu menghasilkan
output atau laba besar bagi pelaku bisnis yang bersangkutan, sehingga
diperlukan adanya program antara yang disebut inkubasi. Begitu besarnya arti
inkubasi bagi dunia bisnis dan inovasi, bahkan seorang Jiang Zemin, Presiden China 1993-2003, sampai menyatakan
bahwa “Incubation is one of the single
most important global innovations of the 21st century”.
Atas
dasar uraian tersebut dapat ditarik analogi bahwa inkubasi inovasi adalah
penerapan program tertentu untuk mengembangkan ide/inisiatif inovasi, yang
dilakukan pada periode tertentu yakni sejak munculnya gagasan atau inisiatif
inovasi sampai dengan kesiapan implementasinya. Dengan demikian, “waktu”
menjadi kata kunci pertama dalam konsep inkubasi ini. Tentu saja, lamanya waktu
inkubasi akan berbeda dan tergantung pada tingkat kematangan dari sebuah ide/benih
inovasi, kompleksitas masalah yang ada atau keterkaitan dengan aspek/faktor
lainnya, program yang diterapkan dalam masa inkubasi, dan seterusnya. Namun, waktu saja tidak akan dapat menjadikan sesuatu
menjadi matang dan sempurna, melainkan butuh upaya yang konkrit, sistematik dan
terus-menerus. Seekor burung-pun perlu mengerami secara teratur telor-telornya dalam
suhu tertentu sebelum menetas menjadi anak-anak burung. Oleh karena itu, kata
kunci kedua dari inkubasi adalah “program” yang didesain secara khusus untuk
mengembangkan kapasitas pelaku usaha atau inovasi, mematangkan rencana dan
fokus usaha, melengkapi sarana dan metode, mengembangkan teknologi (jika
diperlukan), menutupi defisiensi dana, mengurangi defisit kompetensi (mal-keterampilan)
pegawai melalui training, dan
sebagainya. Inilah intisari beberapa aktivitas yang terjadi selama masa
inkubasi tersebut.
Namun perlu dipahami bahwa
inkubasi bukan jaminan terhadap keberhasilan usaha atau inisiatif inovasi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Stephen Wunker dalam artikelnya berjudul Incubating Innovation (Forbes, Desember
2007), dari 300 perusahaan yang disurvei ternyata hanya 47% yang merasa puas
dengan pencapaian tujuan strategis organisasi setelah mengikuti program
inkubasi. Sementara yang merasa puas dengan pencapaian target finansial hanya
24% saja. Dalam hal ini, mungkin saja program inkubasinya gagal menyiapkan
organisasi/perusahaan tadi untuk berkompetisi dalam pasar bebas, namun mungkin
pula ada yang keliru dalam pelaksanaan bisnis perusahaan tersebut. Maknanya,
inkubasi pra usaha harus didukung dengan manajemen yang baik pada tahap
operasionalisasi perusahaan secara penuh. Asumsi yang harus dipakai disini
adalah bahwa jika dengan program inkubasi saja masih ada kemungkinan kegagalan
dalam pelaksanaan usaha dan inovasi, apalagi jika tidak dilakukan inkubasi sama
sekali.
Untuk menghindari kemungkinan
gagal tadi, Wunker menyarankan untuk memulai dengan merumuskan tujuan yang
jelas dari inkubator (pihak yang menjalani inkubasi), menetapkan aturan yang
jelas, serta meletakkan dasar-dasar perusahaan yang kuat. Selain itu, seorang
inkubator perlu memiliki mandat atau keleluasaan untuk secara aktif mencari
cara-cara baru yang dibutuhkan oleh unit usahanya. Dengan tujuan yang jelas dan
mandat yang fleksibel tadi maka si inkubator akan dapat mengembangkan
“portofolio” atau model inovasinya.
Paling tidak, dengan menjalani
inkubasi tadi ada 3 (tiga) manfaat pokok yang dapat diperoleh, yakni mengurangi
segala macam resiko dari pilihan usaha/inovasinya, meningkatkan knowledge sebagai modal menjalankan
usaha/inovasinya, serta memperbanyak peluang dalam pengembangan usaha/inovasi.
Dalam skala yang lebih makro, program inkubasi juga akan memberi kesempatan
berupa terbukanya lapangan kerja baru, menciptakan link yang lebih intens antara industri dengan universitas atau
lembaga riset, serta membudayakan semangat berinovasi dalam masyarakat.
Mengingat cukup banyaknya manfaat
dari program inkubasi ini, maka wajarlah jika salah satu rekomendasi KIN
(Komite Inovasi Nasional) untuk percepatan pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi
adalah intensifikasi program-program inkubasi bisnis, serta pendirian
taman-taman iptek. Melalui kegiatan inkubasi bisnis, wirausaha-wirausaha baru
di bidang teknologi dicetak dari taman iptek. Ini merupakan sarana alih
teknologi dan proses komersialisasi hasil-hasil penelitian para akademisi: dari
sekadar laporan penelitian atau prototipe produk, bergeser menjadi start-up company, hingga menjadi
perusahaan mapan penghasil produk komersial (KIN, Prospek Inovasi Indonesia, 2012). Selain itu, dalam perspektif
kedepan akan dibangun dan ditingkatkan jumlah pusat inkubasi dan inovasi
sebagai upaya penciptaan kemampuan berinovasi dari seluruh pelaku usaha maupun
lembaga-lembaga publik secara umum.
Sayangnya, visi dan program yang
sudah sangat bagus tadi belum terasa gaungnya. Inkubasi inovasi masih belum banyak
dilakukan dan lebih banyak mengisi ruang-ruang kuliah di perguruan tinggi
maupun forum-forum seminar. Untuk itu, sudah saatnya kita semua membumikan
program inkubasi. Jika perlu, inisiasi pertama yang diolah dalam pusat inkubasi
adalah program inkubasi itu sendiri.
Jakarta, 14 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar