Ada persepsi umum bahwa menghasilkan dan
menjalankan inovasi adalah sebuah proses yang sulit. Kesulitan itu terkait
dengan kendala atau hambatan dalam berinovasi. Dalam hal ini, Jamil Khatib
dalam slide presentasinya berjudul Capacity
Building: Barriers to Knowledge Adoption (2013) menyebutkan adanya empat
kendala inovasi yakni: do not know, cannot do, not willing, dan not allowed. Sementara itu, Geoff Mulgan dan David Albury (Innovation in the Public Sector, London:
2003) mengemukakan adanya delapan penghambat untuk tumbuhnya inovasi sebagai
berikut:
1. Reluctance to close down failing program
or organization. Maknanya, sebuah program atau bahkan
unit organisasi yang sudah jelas menunjukkan kegagalan akan lebih baik ditutup
dan diganti dengan program atau unit baru yang lebih menjanjikan. Kegagalan
memang hal yang lumrah dalam berinovasi, namun keengganan menghentikan
kegagalan sama artinya dengan menutup peluang meraih perubahan yang lebih baik.
Di sektor privat, menutup usaha usaha yang gagal atau menghentikan proyek yang
merugi sudah cukup lumrah, namun pada sektor publik cenderung lebih sulit untuk
melakukan hal tersebut, meski bukan hal yang mustahil.
2. Over-reliance on high performers as
source of innovation. Selama ini, ada kecenderungan bahwa
perubahan atau inovasi hanya mungkin terjadi jika ada figur yang kuat dan
memiliki konsistensi tinggi. Begitu figur tadi hilang, maka hilang pulalah
segala inisiatif pembaharuan. Itulah sebabnya, ide-ide inovatif harus dapat
diinstitusionalisasikan sehingga tidak tergantung pada ketokohan seseorang dan
dapat dijamin keberlanjutannya.
3. Technologies available but constraining
cultural or organizational arrangement. Seringkali
inovasi gagal bukan karena tidak adanya dukungan teknologi, namun lebih karena
tradisi atau kebijakan organisasi yang tidak pro-inovasi. Persepsi bahwa
perbedaan gagasan adalah bentuk ketidaktaatan pada pimpinan, misalnya, adalah
contoh dari problema kultural yang sering ditemui dalam sebuah organisasi.
Demikian pula, tiadanya sistem insentif bagi seorang pembaharu, atau kewajiban
untuk mendapatkan persetujuan untuk sebuah inisiatif inovasi, adalah contoh
dari kebijakan yang tidak berpihak dan tidak ramah pada inovasi.
4. No rewards or incentives to innovate or
adopt innovations. Penghargaan dalam rangka menumbuhkan
motivasi pegawai untuk memberi yang terbaik bagi institusinya adalah sebuah
kewajaran belaka. Maka, inovasi dan apresiasi sesungguhnya merupakan dua sisi
yang tidak dapat dipisahkan. Kemampuan berinovasi tidak dapat dianggap sebagai
sebuah hal yang biasa-biasa saja atau kinerja normal, namun harus dipandang
sebagai sesuatu yang istimewa sehingga layak diberikan penghargaan.
5. Poor skills in active risk or change
management. Bagaimanapun, aspek keterampilan memegang perang penting
untuk keberhasilan inovasi. Sebesar apapun motivasi pegawai dan lingkungan yang
kondusif namun tidak ditunjang oleh keterampilan yang memadai, maka tetap saja
inovasi akan berhenti sebagai wacana.
6. Short-term budget and planning horizons.
Dukungan anggaran adalah sebuah keniscayaan untuk berinovasi. Pengalaman banyak
negara maju yang menganggarkan dana penelitian dan inovasi hingga 3% dan GDP
telah memberi bukti bahwa kemajuan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi
adalah hasil dari investasi jangka panjang. Untuk itu, pengembangan inovasi
baik dalam sakala organisasional maupun nasional haruslah direncanakan dengan
baik bukan hanya dalam perspektif tahunan, namun juga perspektif jangka
menengah dan panjang.
7. Delivery pressures and administrative
burdens.
Di negara-negara eks-kolonial, aspek administratif sering menjadi kendala dalam
pengelolaan urusan tertentu termasuk inovasi. Relasi antara negara dengan
masyarakat atau antara pimpinan dengan pegawainya sering didasarkan pada basis
ketidakpercayaan (distrust).
Akibatnya, untuk sebuah urusan kecil saja (misalnya pelayanan perijinan) harus
menyertakan persyaratan yang banyak, prosedur yang panjang, dan melibatkan
aktor yang berlapis. Hal seperti ini menimbulkan tekanan bagi siapa saja yang
berkepetingan dan menghilangkan hasrat untuk berinovasi.
8. Culture of risk aversion.
Ketidakberanian menanggung dampak dari sebuah pilihan adalah kendala psikologis
sekaligus kultural untuk sebuah kemajuan. Resiko dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari bahkan dijauhi, bukan sesuatu yang justru memberi tantangan
baru yang lebih berenergi sehingga harus dihadapi.
Dari berbagai kendala baik yang dikemukakan
oleh Khatib maupun Mulgan dan Albury diatas secara sederhana dapat ditemukan
adanya 3 (tiga) variabel atau faktor kunci untuk kesuksesan inovasi, yaitu
motivasi, keterampilan dan pengetahuan, serta lingkungan yang kondusif. Ketiga
hal ini harus dilakukan secara simultan sebagai sebuah strategi menumbuhkan
inovasi dalam sebuah organisasi.
Mengenai aspek motivasi, peluang datangnya
inovasi lebih dekat dengan pribadi-pribadi yang menyenangi tantangan dan
perubahan, sekaligus menghindari zona nyaman yang melenakan. Adanya motivasi
untuk berani menanggung resiko kegagalan atau resiko apapun dari inovasi yang
digagas, akan sangat menentukan kelancaran dalam menjalankan inovasi. Mental not willing harus diubah menjadi willing to change, willing to innovate. Dalam
hal ini, cara yang dapat ditempuh untuk membangun motivasi berinovasi antara
lain dengan memberikan keteladanan (role
model), membangkitkan inspirasi melalui pengenalan terhadap kasus-kasus
inovasi yang telah membawa manfaat luar biasa, terus menjalin komunikasi secara
intensif, serta pemberian insentif dalam bentuk apapun, misalnya pemberian
beasiswa untuk tugas belajar ke luar negeri, penunjukan selaku koordinator tim
untuk menemukan inovasi tertentu, dan sebagainya.
Selanjutnya,
inovasi yang berhasil juga menghendaki adanya sistem pengembangan kapasitas
inovasi. Program inkubasi adalah salah satunya, disamping pelatihan-pelatihan
dan pembimbingan untuk replikasi inovasi. Pemberian konsultasi dari pimpinan
kepada pegawai yang memiliki gagasan inovasi, pengembangan jejaring inovasi
agar dapat dilakukan pertukaran pengalaman antar pelaku inovasi, atau
pertukaran ahli (expertise exchange),
atau upgrading aplikasi teknologi,
adalah opsi-opsi kebijakan yang dapat dipilih untuk meningkatkan keterampilan
dan kemampuan berinovasi.
Adapun dari
faktor lingkungan (enabling environment),
inovasi dapat dikembangkan melalui upaya terstruktur seperti penyediaan
anggaran secara berkesinambungan, merevisi kebijakan yang menghambat lahirnya
inisiatif inovasi, pemberlakuan sistem insentif bagi pegawai/unit yang dapat
melakukan inovasi, menyediakan program-program training inovasi, menyiapkan SDM
yang lebih tangguh, dan seterusnya. Dalam konteks ini, peran pemerintahlah yang
lebih dituntut untuk merumuskan kebijakan yang kondusif dan pro-inovasi, tanpa
menutup kemungkinan bagi lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan inovasi itu
sendiri.
Sebagai penutup
saya ingin sedikit membandingkan sektor pemerintahan dengan sektor bisnis.
Inovasi selama ini lebih berkembang di sektor swasta karena mereka mampu keluar
dari berbagai jebakan yang menghambat inovasi. Private sector sudah berani mengatakan “Innovate or Die”, sedangkan sektor publik masih menempatkan inovasi
di area yang sifatnya opsional, pilihan, atau fakultatif. Lembaga-lembaga
publik tidak pernah merasa akan mati walaupun tidak memiliki inovasi sekecil
apapun. Nah, mental block seperti
inilah yang harus dikikis dan diruntuhkan. Tanpa inovasi mungkin memang
instansi pemerintah tidak akan bmati atau dibubarkan, namun pasti akan
kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, mulai
detik ini pula harus ditanamkan dalam-dalam bahwa “tanpa inovasi, institusi
publik menjadi tidak berarti”. Artinya, inovasi adalah harga mati, bukan hanya
bagi kalangan swasta, namun juga untuk lembaga pemerintah pusat maupun daerah.
Jakarta, 17
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar