Dalam
banyak hal, Indonesia sesungguhnya tidak banyak tertinggal dari Thailand. Apa
yang terjadi di Thailand pada saat bersamaan sudah dilakukan secara efektif di
Indonesia. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Pattaya memiliki layanan Call Center
1337 yang memberi informasi 24 jam tentang apapun yang ada dan terjadi di kota
pantai di timur Thailand itu. Masyarakat juga bisa menyampaikan saran, kritik,
atau keluhan melalui jalur bebas pulsa tersebut. Selain mendekatkan birokrasi
kepada masyarakat dan menciptakan pelayanan secara non-stop, model layanan
seperti ini juga memperkuat akuntabilitas aparat dimata publiknya. Tapi jangan
berdecak kagum dulu, karena layanan seeprti ini juga sudah banyak diterapkan di
Indonesia, misalnya PT. KAI yang memiliki Call Center 121, atau UPIK
(Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan) Kota Yogyakarta yang memiliki SMS Center
08122780001. Apapun yang membuat anda jengkel saat berada di Yogya, kirimkan
saja keluhan anda melalui nomor tersebut, dan anda akan segera mendapatkan
respon dari pihak berwenang setempat (baca artikel sebelumnya berjudul “Berenang di Kolam Inovasi”).
Selain
Call Center, Kota Pattaya juga memiliki layanan CCR (Command and Control Room), sebuah ruang yang terhubung dengan CCTV
yang dipasang di berbagai sudut kota, sehingga kondisi kota dapat diketahui
secara real time, dan jika ada
masalah dapat segera diambil langkah-langkah untuk menanganinya. Jika
dibandingkan dengan perangkat yang sama yang dimiliki TMC Polda Metro atau NTMC
Polri, fasilitas Kota Pattaya jauh sekali tertinggal baik dalam hal jumlah
layak monitor, jangkauan wilayah, dan sistem pelaporannya kepada masyarakat.
Bedanya, kewenangan monitoring lalu lintas di Indonesia dipegang oleh
kepolisian, sedangkan di Pattaya merupakan urusan pemerintah daerah, sama
seperti Dewan Bandaraya Kuala Lumpur.
Sedikit
perbandingan diatas mengilustrasikan bahwa kita tidak kalah dibanding negeri
tetangga tersebut. Bahkan dalam berbagai hal kita lebih unggul. Tengok saja,
layanan wi-fi yang di Indonesia bisa
diperoleh secara gratis hingga di taman-taman kota, hotel melati, atau café
kecil, ternyata di Bangkok masih merupakan barang mewah. Buktinya, di Hotel
Asia, hotel bintang empat yang kami huni, hanya untuk tersambung internet
selama 20 menit saja kami harus membayar sebesar 200 Baht. Sungguh tidak sesuai
dengan tagline mereka yang berbunyi The most comfortable hotel in Thailand dan
Start your experience … journey with us.
Di bidang lain seperti pertanian, keanekaragaman hasil pertanian Indonesia
tidak pernah bisa disamai oleh Thailand. Begitu pula kekayaan perikanan laut
Indonesia yang begitu melimpah hingga menjadi sasaran pencurian oleh para
nelayan Thailand. Singkatnya, keunggulan berbanding (comparative advantage) komoditas Indonesia masih jauh lebih hebat
dibanding negeri gajah putih.
Persoalannya,
mengapa Thailand justru mampu membangun keunggulan bersaing (competitive advantage) yang jauh lebih
kuat dibanding Indonesia? Mengapa dengan sumber daya yang lebih sedikit namun
mereka memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi, infrastruktur yang
lebih lengkap dan modern, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang
lebih kecil, juga peringkat yang lebih baik dalam berbagai indikator makro (ease of doing business, innovation index,
government effectiveness, dll) dibanding Indonesia? Bagi saya jawabannya
hanya satu, yaitu bahwa Thailand mampu melakukan inovasi dengan progresif,
teramat jauh dibanding apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia.
Inisiatif
inovasi di Pattaya yang sempat saya catat antara lain adalah adanya kebijakan
pemda setempat yang mewajibkan rakyatnya untuk mampu membaca dan menulis
minimal dalam dua bahasa negara ASEAN. Dengan kemampuan berkomunikasi ini,
jelas sekali bahwa orang Thailand akan jauh lebih siap untuk berkompetisi
dibanding penduduk negara ASEAN lainnya. Hal ini kami buktikan sendiri, dimana di
setiap restaurant dan tempat belanja yang kami kunjungi, disana banyak sekali
anak-anak muda Thailand yang mahir berbahasa Indonesia. Bahkan mereka juga
menyiapkan para pelayan yang menguasai bahasa-bahasa lain di dunia.
Di
kota yang masuk dalam wilayah Provinsi Chanburi ini juga ada inovasi berupa
pengembangan wilayah khusus pariwisata yang terintegrasi dengan pemukiman
warga. Dalam bayangan saya, obyek wisata itu bukan hanya tempat-tempat
bersejarah atau pemandangan indah semata, namun juga pemukiman warga yang
ditata secara khas dengan mengedepankan identitas etnik. Saya jadi teringat
ketika pemukiman di sepanjang Sungai Code di Yogyakarta pernah menjadi international best practice dan mendapatkan
penghargaan Agha Khan Award. Saya juga teringat bahwa pemukiman kumuh di
Jakarta dengan jalan yang sempit-sempit, justru menjadi potensi wisata yang
menarik bagi turis asing. Atau, rumah-rumah terapung di Balikpapan, Samarinda, Bontang,
atau Banjarmasin, adalah potensi wisata yang sangat menjanjikan jika dikelola
dengan baik dan didukung oleh promosi yang memadai.
Disamping
kedua hal tersebut, masih banyak gagasan dan praktek inovasi dalam manajemen
pemerintahan di Pattaya, misalnya pelayanan kesehatan yang berstandar swasta
namun dengan tariff pemerintah. Inilah yang oleh Peter F. Drucker disebut
sebagai situasi The Incongruities, yakni sebuah situasi dimana ada dua
nilai yang berbeda namun harus dapat dipenuhi kedua-duanya dengan sama baik.
Teknologi flash-disk atau hard-disk adalah juga contoh the incongruities, dimana tuntutan
masyarakat adalah memiliki alat penyimpan data yang semakin kecil ukurannya
namun semakin besar kapasitasnya. Masih ada lagi inovasi di Pattaya yakni kebijakan
publik yang membuka ruang partisipasi seluas mungkin bagi para sukarelawan,
misalnya sebagai penjaga pantai. Sebagaimana halnya di pantai Kuta Bali,
pemuda-pemuda lokal rata-rata memiliki keterampilan berenang dan berselancar
yang sangat baik. Sayang sekali jika keberadaan mereka hanya sekedar melayani
turis asing secara pribadi namun tidak dimanfaatkan untuk membantu pemerintah
menjaga keselamatan pengunjung pantai. Dengan pola kemitraan ini, maka
pemerintah tidak perlu repot-repot merekrut tenaga SAR, sementara masyarakatpun
merasa diberdayakan oleh pemerintah. Dengan model itu pula, maka terjadilah
hubungan mutual co-existence antara
pemerintah dengan warganya.
Adapun
inovasi terakhir yang saya catat adalah kegiatan pengelolaan sampah di sekolah.
Disamping menanamkan kesadaran perlunya menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkungan di kalangan pelajar sejak dini, praktek ini juga mengurangi beban
pemerintah, dalam arti tidak seluruh sampah harus dikelola sendiri oleh
pemerintah. Syaratnya, pemerintah harus menyediakan sarana yang lengkap dan
pendidikan kepada kelompok masyarakat, sehingga mereka mampu mengelola sendiri
sampah yang dihasilkan. Terkait dengan inovasi di bidang lingkungan hidup
diatas, pemerintah Pattaya juga memproduksi biodiesel yang diambil dari sisa
minyak rumah tangga (minyak jelantah). Dengan demikian, minyak jelantah tadi
tidak dibuang dan mencemari lingkungan, sebaliknya diolah menjadi energi baru
dan terbarukan sebagai alternatif energi fosil.
Sementara
di tingkat nasional, inovasi besar yang dilakukan adalah membangun konektivitas
antar negara untuk menjamin arus barang dan jasa bisa mengalir keluar masuk
Thailand secara lancar. Demi terwujudnya konektivitas yang optimal, maka
seluruh provinsi di Thailand telah terhubung dengan jalan raya dengan kualitas
seperti jalan tol di Indonesia. Jaringan jalan raya dari China ke Thailand juga
sudah terbangun sehingga tidak perlu lagi ada pengiriman barang antar kedua
negara yang dilakukan melalui kapal laut; dan ini mampu mempercepat waktu
tempuh hanya menjadi 24 jam.
Thailand
dengan sangat optimis dan percaya diri telah mendeklarasikan diri sebagai logistic hub antara ASEAN dengan China
dan India, hub untuk produk-produk
halal, serta hub untuk pelayanan
kesehatan. Sebagai logistic hub, peta
arus barang ekspor impor Thailand kedepan tidak lagi melewati Singapura,
melainkan langsung dari Thailand ke China, India, atau ke Timur Tengah melalui
Andaman. Sebagai hub produk halal,
Thailand masuk lima besar negara pengekspor produk halal. Hal ini antara lain
didukung oleh adanya Halal Science Center
yang berkedudukan di Chulalongkorn University. Uniknya, jumlah penduduk muslim
di Thailand tidak lebih dari 5 persen dari total populasi, namun mereka mampu
melihat dan memanfaatkan keberadaan umat muslim diluar Thailand sebagai peluang
untuk mengdongkrak ekonominya. Artinya, Thailand benar-benar memiliki kapasitas
untuk berpikir yang tidak dipikirkan negara lain (think the unthinkable) dan melihat peluang yang tidak dilihat
negara lain (see the unseen), dan itu
adalah kapasitas inovasi yang luar biasa. Adapun sebagai health center hub, Thailand menawarkan paket wisata dan layanan
kesehatan secara terpadu. Di RS Bumungrat, misalnya, perawat mahir berbahasa Inggris
dan Arab untuk melayani turis yang berobat ke RS tersebut. Selain itu, di
bandara Suwarnabhumi terdapat counter kesehatan
yang bisa langsung menangani pasien yang turun dari pesawat.
Terkait
dengan sektor pertanian, meskipun Thailand lemah dalam hal diversifikasi
produk, namun menang telak dalam hal differensiasi produk. Sebagai contoh,
durian tidak hanya dijual sebagai durian segar, namun juga diolah menjadi kue
semprong dan wafer rasa durian, serta kue kering durian yang rasanya tidak
berkurang sedikitpun dibanding durian segar. Kemampuan melakukan differensiasi
ini masih ditopang pula dengan pengemasan (packaging)
yang menarik. Semuanya ini menjadikan produk makanan ringan ini mampu menembus
pasar dunia. Hebatnya lagi, produk-produk seperti ini dihasilkan oleh pengusaha
UKM di desa-desa, atau yang disebut Tambol. Setiap Tambol memiliki paling
sedikit satu produk unggulan, yang sering dikenal dengan istilah OTOP (one Tambol one product).
Tidak
seperti di Indonesia dimana gagasan OVOP (one
village one product) atau Saka Sakti (satu
kabupaten satu kompetensi inti) gagal direalisasikan. Di Thailand OTOP
berkembang pesat dan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional
selain dari sektor pariwisata. Kuncinya, ada kerjasama dan keterpaduan antara
pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, serta kalangan penguasa atau
industri. Dengan kata lain, mekanisme triple
helix dalam pengembangan UKM berjalan dengan sangat baik, dimana pemerintah
melakukan pembinaan dan menyediakan dana, sementara lembaga pendidikan dan
penelitian melakukan pengkajian terhadap desain kemasan, sedangkan pengusaha
besar (misalnya mall, gallery, hotel)
menampung hasil OTOP sebagai komoditi yang dijual di tempat mereka. Disini
nampak sekali adanya sinergisitas antar berbagai aktor, sehingga tidak
mengherankan jika industri kecil dan menengah tumbuh menjadi primadona dalam
perekonomian Thailand.
Belajar
dari inovasi dan kisah sukses Thailand diatas, ada baiknya Indonesia segera
merapatkan barisan, memperkuat koordinasi dan silaturahmi antar aktor,
menyamakan visi dan persepsi, serta menyatukan tekad dan langkah konkrit
membangun perekonomian nasional. Kebiasaan terlalu banyak berwacana sudah
selayaknya dilupakan, dan beranjak kepada aktualisasi gagasan OVOP/ Saka Sakti,
triple helix, dan sebagainya. Tidak
ada kata terlambat untuk memulai sebuah inovasi dan kebaikan. Potensi sudah
terhampar luas, kemampuan SDM sudah cukup mendukung, tinggal eksekusi manis
yang masih dinantikan oleh seperempat milyar penduduk negeri ini. Momentum
suksesi kepemimpinan nasional mudah-mudahan dapat dijadikan tonggak kebangkitan
menjadikan kembali Indonesia sebagai keajaiban ekonomi Asia.
Pada
hari berikutnya dalam rangka program benchmarking
Diklatpim II Angkatan XL Kelas B, kami mengunjungi dua instansi yakni National Institute of Development
Administration (NIDA) dan Ministry of
Commerce (Moc), dua institusi yang memiliki tugas, karakter, dan segmen
pelanggan yang sangat berbeda. NIDA adalah lembaga pendidikan yang fokus untuk
mencetak kader professional melalui pendidikan formal jenjang Master dan
Doktor, sementara MoC adalah kementerian yang bertugas menjamin agar ekonomi
Thailand berkembang secara aman, adil, berkelanjutan, dan tahan terhadap segala
bentuk ketidakpastian demi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Meskipun
keduanya sangat berbeda, namun saya menangkap ada kesamaaan dalam hal spirit
untuk menempatkan masyarakat yang dilayani dengan sepenuh hati. Untuk kasus
NIDA, tidak dipungkiri bahwa lembaga ini memiliki motif ekonomi sebagai revenue center. Besaran SPP atau tuition fee untuk program internasional Ph.D in Business Administration sebesar
1,1 juta Baht (USD 36,667), atau program MBA
sebesar 500.000 Baht (USD 16,667), menggambarkan betapa mahalnya biaya
pendidikan di NIDA. Namun disisi lain, NIDA juga memiliki tanggungjawab sosial
untuk menciptakan lingkungan sekitar kampus yang lebih baik maupun memberikan
program pelatihan secara gratis untuk siapapun yang berminat atau membutuhkan.
Hal ini sesuai dengan shared values mereka
yakni “Wisdom for Change”, dimana
kata WISDOM merupakan akronim dari World-class,
Innovation, Social Responsibility, Discipline, Open-mindedness, dan Morality.
Nah,
sebagai wujud dari nilai social
responsibility itulah, NIDA secara aktif turut menjaga kebersihan sungai
yang terletak di belakang kampus, mengembangkan konsep green society, serta
memberikan layanan pelatihan secara gratis. Beberapa pelatihan gratis yang
telah dilaksanakan diantaranya adalah: 1) Program
for Young Leaders;
2) Academic discussion in the topic of
Investment Direction of Thailand in 2012 Following the Flood Crisis; 3) Training course of Self-Development Strategy
for Enhancing Competency in Performance; dan 4) Training of Reinforced Innovation for coping with ASEAN Economic
Community. Selain itu, mereka juga mempromosikan upaya pelestarian seni
budaya, misalnya dengan mengadakan seminar bagi warga muslim setelah hari raya
lebaran (Idul Fitri).
Sementara
untuk kasus MoC, mereka juga memberikan pelatihan secara gratis kepada para
pelaku usaha, khususnya kelompok kecil dan mikro, kemudian memberikan
fasilitasi berupa lokasi untuk promosi. Pada saat kami memasuki areal
kementerian ini, terlihat deretan stand/kios menyerupai pameran yang sebagian
besar menjajakan aneka makanan dan kerajinan. Ternyata, mereka adalah para
pedagang kecil yang telah diberikan bekal keterampilan untuk meningkatkan
usaha, sejak proses produksi hingga pengemasannya. Dan situasi seperti pameran
ini berlangsung terus sepanjang tahun dengan pelaku dan jenis usaha yang
berganti-ganti. Tidak heran jika usaha mikro, kecil dan menengah di Thailand
berkembang pesat karena memang didukung oleh komitmen penuh dari pemerintah.
Dari
perspektif inovasi, saya memandang bahwa apa yang dilakukan oleh MoC ini adalah
wujud dari praktek inkubasi inovasi. Sebab, dengan diberikannya pelatihan serta
kesempatan untuk promosi secara gratis, para pelaku usaha tadi akan dapat
merasakan perbedaan sebelum dan sesudah diberikannya program inkubasi tadi,
baik dalam hal proses produksi, kualitas produk, daya tarik kemasan, teknik
melayani pelanggan, dan sebagainya. Pada saat mereka dilepas untuk kembali ke
tempat asal masing-masing, diharapkan mereka telah memiliki kesiapan yang jauh
lebih baik untuk menjalankan bisnisnya secara penuh. Mungkin saja para pejabat
MoC sendiri tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan salah satu tahapan
penting dalam manajemen inovasi, yakni inkubasi. Namun bagi saya, perlakuan
mereka terhadap para pelaku usaha kecil tadi telah berkontribusi terhadap
maraknya inovasi di sektor ekonomi kerakyatan.
Pengalaman
kedua instansi diatas memberi lesson learned
bagi saya bahwa setiap instansi pemerintah harus memiliki program social responsibility atau philanthropy untuk kemajuan masyarakat
secara luas. Sayangnya, dewasa ini ada indikasi bahwa instansi pemerintah lebih
asyik dengan dirinya sendiri, dimana proporsi anggaran yang dimiliki lebih
banyak dinikmati oleh pegawainya dibanding alokasi untuk rakyat banyak.
Pemerintah yang sejatinya memang harus memiliki jiwa sosial, menjadi semakin
berjarak dengan konstituennya, karena program-program yang dijalankan sering
tidak berhubungan langsung atau memiliki dampak langsung bagi publik.
Akibatnya, kemanfaatan instansi pemerintah bagi masyarakat sangat sulit untuk
diukur dengan pasti. Pemerintah sering meng-klaim bahwa mereka telah berhasil
menaikkan tingkat pendapatan masyarakat atau menurunkan angka kemiskinan,
padahal boleh jadi naiknya pendapatan dan turunnya kemiskinan itu karena
masyarakat yang bekerja lebih keras, atau karena naiknya permintaan barang
konsumsi dari negeri tetangga, atau karena jumlah kunjungan wisatawan asing
yang berlipat, atau sebab lain yang bukan karena intervensi langsung dari
pemerintah.
Atas
dasar itulah, saya memandang tetap ada baiknya setiap instansi pemerintah
menciptakan program yang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat tertentu,
secara gratis. LAN misalnya, selain menyelenggarakan program rutin yang
terstruktur seperti kajian kebijakan atau diklat aparatur, ada baiknya membuat
pelatihan aplikatif bagi mahasiswa, wiraswasta, kaum pengangguran, atau
siapapun yang selama ini tidak masuk dalam stakeholder
LAN. Pelatihan metode penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, dasar-dasar
organisasi dan manajemen, dan sejenisnya bagi mahasiswa, atau pelatihan
kewirausahaan bagi wiraswasta atau pengangguran, adalah wujud nyata dari social responsibility LAN. Demikian
pula, seluruh instansi di tingkat pusat dan daerah, seyogyanya mendefinisikan social responsibility yang dapat
diberikan oleh instansinya masing-masing. Dengan demikian, bukan hanya kinerja
instansi pemerintah yang akan meningkat, namun secara lebih luas juga akan
membawa dampak positif yang sistemik bagi kemajuan bangsa dan negara.
Bangkok,
30 Agustus 2014
*catatan
hasil benchmarking peserta diklatpim
2 angkatan 40 kelas b*