Senin, 11 Agustus 2014

Dari “Business as Usual” ke “Innovation as Usual”



Perilaku manusia itu mungkin adalah suatu misteri terbesar di jagad raya ini. Meskipun ilmu perilaku sudah teramat maju, dan meskipun sudah banyak diketahui strategi untuk mengubah perilaku seseorang, tetap saja mindset menjadi persoalan klasik yang dihadapi banyak organisasi atau sebuah bangsa. Coba perhatikan 2 (dua) situasi kontras berikut ini.

Disatu pihak, perilaku menyerupai batu karang yang begitu keras dan sulit sekali dibongkar. Faktor keyakinan, persepsi, atau kepentingan dan pengalaman tertentu dapat begitu kuat menancap di dalam hati seseorang sehingga faktor motivasi apapun tidak akan sanggup menggoyahkan keyakinan dan persepsi orang tersebut. Jika seseorang menganggap bahwa ketidakdisiplinan itu adalah baik atau merupakan hak pribadi yang tidak boleh diganggu gugat, maka meski dilakukan berbagai pendekatan dan bahkan ancaman, tetap saja orang tersebut tidak akan disiplin dalam segala hal. Ada kalanya pula, perilaku itu hangat-hangat tahi ayam. Dalam keadaan tertentu, seseorang bisa sangat baik, rajin, patuh, jujur, dan bermental positif, namun dengan tiba-tiba bisa berubah menjadi sebaliknya atau kembali ke sifat aslinya. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang mengikuti training motivasi atau pelatihan agama yang menghayati materi pelatihan hingga menangis, menjerit, bahkan meronta dan bergulingan karena menyesali hidupnya yang penuh dosa dan ketidakmanfaatan. Pada saat itu mereka berjanji akan menjadi pribadi yang berbeda dan memulai “hidup baru” sebagai manusia yang jauh lebih baik. Sayangnya, betapa banyak pula janji-janji seperti itu hanya berlangsung dalam hitungan jam atau hari, dan mereka kembali ke kebiasaan lama. Hal yang sama terjadi pula dalam sebuah team building bagi karyawan yang baru mendapatkan promosi dalam karirnya. Mereka bertekad bulat untuk menjadi role model dan menunjukkan komitmen total untuk organisasinya melalui penandatanganan pakta integritas, kontrak kinerja, dan sejenisnya. Namun, tidak jarang komitmen seperti itu hanya musiman dan temporer, dan dalam tempo singkat mereka kembali ke kepribadian aslinya. Kesimpulannya, kebiasaan lama yang telah menjadi business as usual itu memang enak dan mudah, sehingga dengan sadar atau dalam alam bawah sadar menjadi kecenderungan umum bagi banyak orang.

Di pihak lain, bisa kita amati bahwa perilaku itu seperti sangat mudah dibentuk. Lihat saja, masyarakat kita yang bepergian ke Singapura, tiba-tiba menjadi sanagt disiplin untuk mengantri, tidak berani membuang sampah, dan takut melanggar aturan. Sebaliknya, orang Singapura yang datang ke Indonesia, dengan merdekanya menyeberang jalan sembarangan, membuang sampah seenaknya, dan melakukan perbuatan sama yang dilakukan masyarakat disini. Padahal, tidak ada training motivasi atau ceramah agama yang mendahuluinya, tiba-tiba perilaku berubah begitu mudahnya.

Diantara kedua situasi diatas, ilustrasi pertama mungkin lebih mencerminkan realitas di berbagai tempat. Artinya, ilustrasi kedua itupun boleh jadi bukan sebuah kepribadian yang permanen, namun lebih dibentuk oleh sebuah paksaan dari luar dirinya yang memberikan rasa takut dan jera untuk melakukan perbuatan tertentu. Ketika faktor “paksaan” itu hilang, maka nampaklah perilaku yang sesungguhnya. Hanya karena kemampuan untuk menghadirkan “paksaan” dalam jangka waktu panjang dan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, maka yang terlihat adalah perilaku kolektif yang disiplin. Dengan demikian, kepribadian orang-orang di negara maju seperti Singapura-pun perlu terus diperkuat agar menjadi kepribadian yang unggul dimanapun berada, dan dalam sistem apapun yang berlaku, tanpa perlu merasa terintimidasi oleh aturan yang memberatkan sebagai warga negara. Dengan kepribadian yang unggul itulah, maka perilaku baik, rajin, patuh, jujur, dan bermental positif tadi akan menjadi perilaku yang asli (genuine) dan ajeg (persist) yang mampu bertahan dalam jangka waktu lama (long lasting).

Terkait dengan kedua ilustrasi diatas, Kurt Lewin telah menemukan formula perilaku sebagai fungsi perkalian antara kepribadian dengan lingkungan (behavior = personality x environment). Rumus ini mengajarkan bahwa perilaku merupakan hasil interaksi dari dua hal, yakni siapa diri kita, dan dimana kita berada. Sayangnya, banyak sekali organisasi atau manajer SDM yang lebih melihat perilaku itu hanya dari sisi kepribadian semata. Maka, dimunculkanlah banyak aktivitas pelatihan motivasi, outbond, ceramah agama, dan seterusnya, serta dihadirkan para trainers, ulama, dan motivator ulung, yang sayangnya tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Kalaupun ada peningkatan kompetensi atau kesalehan, hal itu hanya terjadi di level individu dan kurang menjelma menjadi kompetensi kolektif dan kesalehan sosial. Dalam hal ini, aspek “lingkungan” yang dikemukakan oleh Lewin nampaknya kurang tergarap dengan baik.

Atas dasar cara berpikir seperti itulah, Paddy Miller dan Thomas Wedell-Wedellsborg melalui karyanya berjudul “Innovation as Usual: How to Help Your People Bring Great Ideas to Life” dengan beraninya menyarankan agar forum-forum pengembangan diri yang bersifat off-site, atau yang mereka sebut sebagai brainstorm islands dibatalkan saja, dan beralih ke pendekatan yang lebih bersifat on-site, yakni dengan menciptakan pemimpin di seluruh level untuk menjadi arsitek inovasi (innovation architects). Tugas seorang pemimpin sebagai arsitek inovasi adalah membangun ekosistem dimana setiap pegawai dapat menunjukkan perilaku inovatif sebagai bagian dari tugas sehari-hari. Dalam bahasa aslinya disebutkan bahwa Innovation leadership is not about attaining new levels of personal brilliance. It is about turning your people into innovators. Tentu saja, seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan berinovasi, namun bukan itu norma utamanya. Singkatnya, Miller dan Wedellsborg mengajak setiap organisasi untuk menjadikan inovasi sebagai sebuah kebiasaan, atau innovation as usual. Tujuannya adalah agar inovasi dapat berlangsung secara sistematis dan berberlanjutan dalam organisasi tersebut.

Dengan tujuan diatas, maka tugas pemimpin bukan mengubah kepribadian pegawainya, namun mengubah lingkungan dimana mereka bekerja sehingga memudahkannya untuk menjadi lebih inovatif. Dalam fungsinya sebagai arsitek inovasi tadi, seorang pemimpin harus menyediakan jalan untuk para inovator (paving the way for innovators), memecut dan mendesain ruang-ruang kerja agar memunculkan calon inovator (tweaking and engineering the social and organizational space), serta membangun arsitektur inovasi harian (building daily architecture of innovation).

Adapun cara yang ditawarkan Miller dan Wedellsborg untuk mewujudkan pegawai yang mampu menghasilkan ide-ide besar adalah dengan konsep yang disebut the 5+1 keystone behavior of innovation. Kelima pola perilaku yang vital itu adalah: 1) fokus terhadap ide yang paling penting bagi organisasi (focus on ideas that matter to the business); 2) koneksi dengan dunia luar untuk memperoleh inspirasi yang lebih segar (connect to the outside to find original ideas); 3) menguji dan menantang ide-ide awal secara konsisten atau konstan (tweak and challenge their initial ideas); 4) memilih ide yang terbaik dan mengabaikan yang tidak penting (select the best ideas and discard the rest); serta 5) menciptakan lingkungan politik yang sehat dan mendukung inovasi (stealth-storm past the politics of innovation). Dari kelima pola perilaku tadi ditambah satu hal yakni persist in the pursuit of innovation as usual.

Tentu bukan hal yang mudah untuk menerapkan ke-5 pola perilaku diatas, namun dengan persistensi, konsistensi, kesungguhan, dan komitmen dari para pemimpin dengan segenap pegawainya, maka upaya menjadikan inovasi sebagai sebuah kebiasaan (innovation as usual) bukanlah hal yang terlalu sulit.

Jakarta, 12 Agustus 2014

Tidak ada komentar: