Perilaku manusia itu mungkin adalah
suatu misteri terbesar di jagad raya ini. Meskipun ilmu perilaku sudah teramat
maju, dan meskipun sudah banyak diketahui strategi untuk mengubah perilaku
seseorang, tetap saja mindset menjadi
persoalan klasik yang dihadapi banyak organisasi atau sebuah bangsa. Coba
perhatikan 2 (dua) situasi kontras berikut ini.
Disatu pihak, perilaku menyerupai
batu karang yang begitu keras dan sulit sekali dibongkar. Faktor keyakinan,
persepsi, atau kepentingan dan pengalaman tertentu dapat begitu kuat menancap
di dalam hati seseorang sehingga faktor motivasi apapun tidak akan sanggup
menggoyahkan keyakinan dan persepsi orang tersebut. Jika seseorang menganggap bahwa
ketidakdisiplinan itu adalah baik atau merupakan hak pribadi yang tidak boleh
diganggu gugat, maka meski dilakukan berbagai pendekatan dan bahkan ancaman,
tetap saja orang tersebut tidak akan disiplin dalam segala hal. Ada kalanya
pula, perilaku itu hangat-hangat tahi
ayam. Dalam keadaan tertentu, seseorang bisa sangat baik, rajin, patuh,
jujur, dan bermental positif, namun dengan tiba-tiba bisa berubah menjadi
sebaliknya atau kembali ke sifat aslinya. Sebagai contoh, berapa banyak orang
yang mengikuti training motivasi atau
pelatihan agama yang menghayati materi pelatihan hingga menangis, menjerit,
bahkan meronta dan bergulingan karena menyesali hidupnya yang penuh dosa dan
ketidakmanfaatan. Pada saat itu mereka berjanji akan menjadi pribadi yang
berbeda dan memulai “hidup baru” sebagai manusia yang jauh lebih baik.
Sayangnya, betapa banyak pula janji-janji seperti itu hanya berlangsung dalam
hitungan jam atau hari, dan mereka kembali ke kebiasaan lama. Hal yang sama
terjadi pula dalam sebuah team building bagi
karyawan yang baru mendapatkan promosi dalam karirnya. Mereka bertekad bulat
untuk menjadi role model dan
menunjukkan komitmen total untuk organisasinya melalui penandatanganan pakta
integritas, kontrak kinerja, dan sejenisnya. Namun, tidak jarang komitmen
seperti itu hanya musiman dan temporer, dan dalam tempo singkat mereka kembali
ke kepribadian aslinya. Kesimpulannya, kebiasaan lama yang telah menjadi business as usual itu memang enak dan
mudah, sehingga dengan sadar atau dalam alam bawah sadar menjadi kecenderungan
umum bagi banyak orang.
Di pihak lain, bisa kita amati
bahwa perilaku itu seperti sangat mudah dibentuk. Lihat saja, masyarakat kita
yang bepergian ke Singapura, tiba-tiba menjadi sanagt disiplin untuk mengantri,
tidak berani membuang sampah, dan takut melanggar aturan. Sebaliknya, orang
Singapura yang datang ke Indonesia, dengan merdekanya menyeberang jalan
sembarangan, membuang sampah seenaknya, dan melakukan perbuatan sama yang
dilakukan masyarakat disini. Padahal, tidak ada training motivasi atau ceramah agama yang mendahuluinya, tiba-tiba
perilaku berubah begitu mudahnya.
Diantara kedua situasi diatas,
ilustrasi pertama mungkin lebih mencerminkan realitas di berbagai tempat. Artinya,
ilustrasi kedua itupun boleh jadi bukan sebuah kepribadian yang permanen, namun
lebih dibentuk oleh sebuah paksaan dari luar dirinya yang memberikan rasa takut
dan jera untuk melakukan perbuatan tertentu. Ketika faktor “paksaan” itu
hilang, maka nampaklah perilaku yang sesungguhnya. Hanya karena kemampuan untuk
menghadirkan “paksaan” dalam jangka waktu panjang dan berlaku untuk semua orang
tanpa kecuali, maka yang terlihat adalah perilaku kolektif yang disiplin.
Dengan demikian, kepribadian orang-orang di negara maju seperti Singapura-pun
perlu terus diperkuat agar menjadi kepribadian yang unggul dimanapun berada,
dan dalam sistem apapun yang berlaku, tanpa perlu merasa terintimidasi oleh
aturan yang memberatkan sebagai warga negara. Dengan kepribadian yang unggul
itulah, maka perilaku baik, rajin, patuh, jujur, dan bermental positif tadi
akan menjadi perilaku yang asli (genuine)
dan ajeg (persist) yang mampu
bertahan dalam jangka waktu lama (long lasting).
Terkait dengan kedua ilustrasi
diatas, Kurt Lewin telah menemukan formula perilaku sebagai fungsi perkalian
antara kepribadian dengan lingkungan (behavior
= personality x environment). Rumus ini mengajarkan bahwa perilaku
merupakan hasil interaksi dari dua hal, yakni siapa diri kita, dan dimana kita
berada. Sayangnya, banyak sekali organisasi atau manajer SDM yang lebih melihat
perilaku itu hanya dari sisi kepribadian semata. Maka, dimunculkanlah banyak
aktivitas pelatihan motivasi, outbond,
ceramah agama, dan seterusnya, serta dihadirkan para trainers, ulama, dan motivator ulung, yang sayangnya tidak
memberikan hasil yang menggembirakan. Kalaupun ada peningkatan kompetensi atau
kesalehan, hal itu hanya terjadi di level individu dan kurang menjelma menjadi kompetensi
kolektif dan kesalehan sosial. Dalam hal ini, aspek “lingkungan” yang
dikemukakan oleh Lewin nampaknya kurang tergarap dengan baik.
Atas dasar cara berpikir seperti
itulah, Paddy Miller dan Thomas Wedell-Wedellsborg melalui karyanya berjudul “Innovation as Usual: How to Help Your People
Bring Great Ideas to Life” dengan beraninya menyarankan agar forum-forum
pengembangan diri yang bersifat off-site,
atau yang mereka sebut sebagai brainstorm
islands dibatalkan saja, dan beralih ke pendekatan yang lebih bersifat on-site, yakni dengan menciptakan
pemimpin di seluruh level untuk menjadi arsitek inovasi (innovation architects). Tugas seorang pemimpin sebagai arsitek
inovasi adalah membangun ekosistem dimana setiap pegawai dapat menunjukkan
perilaku inovatif sebagai bagian dari tugas sehari-hari. Dalam bahasa aslinya
disebutkan bahwa Innovation leadership is
not about attaining new levels of personal brilliance. It is about turning your
people into innovators. Tentu saja, seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan
berinovasi, namun bukan itu norma utamanya. Singkatnya, Miller dan Wedellsborg
mengajak setiap organisasi untuk menjadikan inovasi sebagai sebuah kebiasaan,
atau innovation as usual. Tujuannya
adalah agar inovasi dapat berlangsung secara sistematis dan berberlanjutan
dalam organisasi tersebut.
Dengan tujuan diatas, maka tugas
pemimpin bukan mengubah kepribadian pegawainya, namun mengubah lingkungan
dimana mereka bekerja sehingga memudahkannya untuk menjadi lebih inovatif. Dalam
fungsinya sebagai arsitek inovasi tadi, seorang pemimpin harus menyediakan
jalan untuk para inovator (paving the way
for innovators), memecut dan mendesain ruang-ruang kerja agar memunculkan
calon inovator (tweaking and engineering the
social and organizational space), serta membangun arsitektur inovasi harian
(building daily architecture of innovation).
Adapun cara yang ditawarkan Miller
dan Wedellsborg untuk mewujudkan pegawai yang mampu menghasilkan ide-ide besar
adalah dengan konsep yang disebut the 5+1
keystone behavior of innovation. Kelima pola perilaku yang vital itu
adalah: 1) fokus terhadap ide yang paling penting bagi organisasi (focus on ideas that matter to the business);
2) koneksi dengan dunia luar untuk memperoleh inspirasi yang lebih segar (connect to the outside to find original
ideas); 3) menguji dan menantang ide-ide awal secara konsisten atau konstan
(tweak and challenge their initial ideas);
4) memilih ide yang terbaik dan mengabaikan yang tidak penting (select the best ideas and discard the rest);
serta 5) menciptakan lingkungan politik yang sehat dan mendukung inovasi (stealth-storm past the politics of
innovation). Dari kelima pola perilaku tadi ditambah satu hal yakni persist in the pursuit of innovation as
usual.
Tentu bukan hal yang mudah untuk
menerapkan ke-5 pola perilaku diatas, namun dengan persistensi, konsistensi,
kesungguhan, dan komitmen dari para pemimpin dengan segenap pegawainya, maka
upaya menjadikan inovasi sebagai sebuah kebiasaan (innovation as usual) bukanlah hal yang terlalu sulit.
Jakarta, 12 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar