Sudah
lama saya tidak masuk Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta, karena selama ini
biasa bepergian dengan Garuda melalui Terminal 2F. Kali ini, dalam perjalanan
ke Pangkal Pinang, pihak Badan Diklat Provinsi Bangka Belitung yang mengundang
saya ternyata menyediakan tiket Lion Air. Tadinya saya berpikir, tidak jauh perbedaan
pesawat Lion Air dibanding Garuda, sehingga sayapun berasumsi bahwa Terminal 1B
tidak bakal jauh berbeda dengan Terminal 2F. Namun yang saya saksikan sungguh
membuat sedih dan trenyuh, bagaimana mungkin negeri yang begini kaya raya, yang
sudah 69 tahun merdeka, yang APBN-nya sudah menembus Rp 2.000 trilyun di tahun
2015, yang diramalkan banyak konsultan asing sebagai negeri dengan kekuatan
ekonomi terbesar ke-7 pada tahun 2030, namun bandara terbesar yang menjadi
kebanggaan nasional ini begitu kumuh, kotor, jorok, berantakan, semerawut, dan
kacau balau?
Kesan pertama memang sudah tidak
menyenangkan ketika di luar pintu gerbang keberangkatan, penumpang sudah begitu
berdesakan dengan gayanya masing-masing: merokok sembarangan, membuang sisa
makan dan minum sembarangan, dan cenderung saling serobot di pintu masuk dan di
pemeriksaan X-ray. Namun begitu masuk ruang tunggu (tepatnya B3), situasinya
semakin tambah buruk. Manusia duduk-duduk di lantai dan sebagian tidur dengan
gaya bebas mereka, asap rokok begitu tebal, punting rokok dan aneka sampah
menjadi penghias lingkungan yang nampaknya tidak dirawat lagi. Saya langsung
terbayang jembayang penyeberangan di Terminal Kampung Rambutan, rasanay tidak
ada bedanya dengan Bandara Soekarno Hatta.
Mengapa bandaraku jadi begini? Kemana
otoritas Angkasa Pura II selaku pengelola bandara? Kemana juga Kementerian
Perhubungan? Apakah karena sudah menjadi domein
Angkasa Pura, lantas mereka bisa cuci tangan, minum susu, dan tidur nyenyak?
Pada saat bersamaan, bagaimana mungkin Lion Air selaku pengguna gedung dan
seluruh fasilitasnya nampak asyik-asyik saja dengan pemandangan yang membuat
ingin muntah itu? Mengapa rakyat Indonesia masih saja berperilaku barbar dengan
berlaku seenaknya dan menunjukkan cara hidup primitifnya? Tidak sadarkah mereka
bahwa perilaku jorok itu adalah cerminan budaya bangsa? Tegakah kita terus
dikatakan sebagai bangsa kuli dan jongos? Bagaimana mungkin bandara ini akan
berhasil melakukan transformasi dengan proyek raksasanya berupa Grand Design
Soekarno-Hatta 2014? Terlalu banyak pertanyaan tak terjawab atas tidak
rasionalnya kondisi bandara tercinta ini.
Pelayanan publik yang baik
sedikitpun tidak nampak di bandara ini. Lebih-lebih, kotak pengaduan satupun
tidak tersedia, sementara pejabat tinggi AP II nampaknya duduk manis di
belakang mejanya masing-masing dan tidak mengetahui masalah besar di depan
matanya. Saya membayangkan, jika saya ketemu mereka dan menanyakan mengapa hal
ini bisa terjadi, jawaban mereka pastilah sarana atau fasilitas yang tidak
memadai, petugas kebersihan yang kurang, atau dana yang tidak mendukung. Alasan
klasik seperti itulah yang selama ini membuat tidak ada inovasi di berbagai
organisasi dan perusahaan yang meyakini bahwa kinerja organisasi itu hanya
tergantung dari dukungan dana, jumlah karyawan, dan fasilitas yang lengkap. Jika
semua sudah tersedia lengkap, untuk apa lagi ada jajaran direksi? Bukankah
mereka diangkat justru untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang ada? Mengapa
yang terjadi justru gejala prokrastinasi atau membiarkan masalah berlalu sampai
selesai dengan sendirinya? Tidakkah mereka membaca berita koran tentang seorang
Ignatius Jonan yang sampai tertidur di kursi kelas ekonomi karena turun
langsung untuk mengetahui kinerja anak buahnya?
Sah-sah saja Lion Air meng-klaim
sebagai low cost carrier dengan semboyannya
yang berbunyi now every people can fly.
Namun, apakah maskapai berbiaya rendah harus bermarkas di tempat kumuh? Standar
penerbangan itu bagi saya tidak cukup hanya soal sistem keamanan pesawat dan keselamatan penerbangan, melainkan juga
seluruh rangkaian pelayanan semenjak pemesanan tiket hingga pelayanan bagasi
saat kedatangan. Saya merasakan adanya degradasi pelayanan yang membuat
penumpang di Terminal 1 menjadi penumpang kelas kambing, jauh dibanding mereka yang
menggunakan jasa Terminal 2. Wajarlah jika banyak orang yang menghindar untuk naik
Lion Air, mungkin bukan karena maskapainya, tetapi pelayanan terminalnya yang
jauh dibawah kelayakan. Kalau tidak ingat bahwa keberangkatan saya ke Pangkal
Pinang ini adalah dalam rangka memenuhi undangan pemerintah daerah setempat, ingin
rasanya saya membatalkannya.
Entahlah dari mana harus memulai
pembenahan Terminal 1 dan siapa yang harus mengawalinya. Minimal, lewat tulisan
saya yang penuh kritik ini semoga dapat menjadi perangsang semua pihak untuk
secara serius mereformasi pelayanan bandara dan mengkampanyekan gaya hidup yang
lebih santun, tertib, dan modern bagi para penumpang. Semoga, suatu ketika
nanti, ungkapan prihatin “bandaraku, kok
jadi begini?, akan berupa menjadi ekspresi kekaguman “wow, bandaraku bukan yang dulu lagi”.
Jakarta, 25 Agustus 2014
*di terminal 1b bandara soeta, sudah
cari tempat duduk, sekali duduk pantas kepanasan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar