E.F. Schumacher mengungkapkan
sebuah semboyan yang sangat terkenal, yakni small
is beautiful atau kecil itu cantik. Semboyan itu tertulis dalam bukungan
berjudul “Small is Beautiful: Economics
as if people Mattered” (HarperPerennial, 1989). Jika diaplikasikan dalam
realita kehidupan saat ini, ungkapan tadi nampak sekali kebenarannya. Misalnya
saja, kecenderungan semakin mengecilnya ukuran laptop atau handphone,
namun dengan kemampuan yang lebih besar. Karena alasan keterbatasan lahan,
rumah-rumah di perkotaan juga didesain minimalis, dan ini menjadi bisnis yang
sangat menggiurkan di dunia properti. Bahkan gadis-gadis yang berbadan
langsing, kecil, dan imut-imut juga
banyak mendapat penggemar di kalangan remaja pria.
Dalam konteks inovasi, saya
merasa ungkapan Schumacher itu sangat cocok. Artinya, inovasi itu tidak perlu
besar-besar, kolosal, canggih, makro, atau muluk-muluk. Inovasi cukup
kecil-kecil, inkremental, sederhana, atau mikro, namun nyata dan dapat
dijalankan. Inovasi yang dapat diaplikasikan meskipun kecil, akan jauh lebih
baik dibanding inovasi besar yang belum tentu dapat diterapkan sepenuhnya. Sesuatu
yang kecil namun dapat dijalankan secara konsisten disertai perbaikan
berkelanjutan, suatu ketika juga akan membawa manfaat besar yang tidak terduga.
Ketika berinteraksi dengan
peserta Diklat Kepemimpinan di beberapa daerah, saya menangkap kesan banyaknya
keraguan diantara mereka apakah gagasan yang mereka pikirkan adalah sebuah
inovasi. Mereka seperti malu jika inisiatifnya dinilai tidak layak, terlalu
sederhana, tidak konseptual, mencari yang gampang, atau malahan disebut bukan
inovasi. namun dalam pandangan saya, justru yang mereka konsultasikan ke saya
adalah sebuah ide kreatif yang unik, sehingga sayapun berani mengatakannya
sebagai inovasi yang sangat bagus.
Contoh pertama saya ambil dari
wilayah DIY. Di sebuah RS milik pemerintah daerah, sang direktur memiliki ide
memasang gambar-gambar pemandangan di ruang perawatan. Pemandangan yang
disajikan sendiri bukan sebuah lukisan abstrak, melainkan keindahan alam yang
digali dari potensi daerah itu sendiri. Dengan demikian, ada fungsi promotif
untuk memperkenalkan obyek-obeyk wisata kepada pasien. Dari survey yang
dilakukan, ternyata gambar-gambar tersebut menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
maupun keluarga yang menunggu, sehingga mengurangi rasa jenuh dan stress. Tentu
ini akan menjadi modal yang berharga untuk proses penyembuhan bagi pasien. Saya
kemudian merespon, mengapa gambar-gambar itu hanya dipasang di ruang perawatan,
dan tidak dipasang di ruang tunggu, ruang operasi, atau bahkan di tempat
parkir? Jika alasannya tidak ada anggaran, justru itu menjadi pemicu untuk
berinovasi. Mestinya, pihak RS ini bisa berkomunikasi dan meyakinkan Dinas
Pariwisata setempat untuk menyediakan poster-poster untuk ditempel di RS. Dari
pihak RS, ada beberapa manfaat yakni tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
pengadaan lukisan atau foto-foto, meningkatkan kenyamanan pasien, mengubah
tampilan RS yang hanya dipenuhi dengan poster-poster terkait penyakit dan obat
menjadi “wajah baru” yang lebih indah, serta turut mempromosikan potensi wisata
daerah. Sementara bagi Dinas Pariwisata, beberapa manfaat yang dapat diperoleh
diantaranya adalah adanya agen-agen yang berfungsi sebagai duta wisata, promosi
yang terus-menerus tanpa harus menyelenggarakan event khusus promosi wisata, sekaligus
menghemat biaya promosi juga. “Perkawinan” kepentingan antara RS dengan Dinas
Pariwisata inilah yang saya maksudkan sebagai sebuah hal kecil yang inovatif.
Hal “kecil” yang lain yang indah
jika dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan pekarangan di sekitar tempat
tinggal kita. Selama ini kita saksikan begitu banyak lahan kosong yang sia-sia
dan dibiarkan tidak produktif. Dahulu semasa jaman Presiden Soeharto, ada
program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), dimana ibu-ibu di tingkat desa
atau kelurahan bahkan hingga RT/RW, dibina untuk melakukan kegiatan-kegiatan
soail, diantaranya mengembangkan tanaman obat. Konsep “apotek hidup” dan
“warung hidup” sudah begitu lama tenggelam dibalik bermunculannya apotek-apotek
dan warung-warung baru serta lunturnya kesadaran warga untuk mandiri dalam
memproduksi tanaman obat maupun tanaman untuk konsumsi sehari-hari. Itulah
sebabnya, jika ada instansi yang bisa melakukan relearn dengan membangkitkan kembali kesadaran warga untuk
memanfaatkan sejengkal tanah untuk lebih produktif, itupun adalah sebuah
inovasi “kecil” yang besar manfaatnya. Memberikan nilai tambah baru dari
sesuatu yang kurang bernilai, adalah sebuah inovasi yang sangat penting.
Kasus menarik lainnya bisa kita
simak di berbagai daerah, biasanya diluar Jawa, dimana pelayanan kependudukan
(KTP, Akta Lahir, dan lain-lain) terkendala oleh kondisi geografis yang jauh
dan sulit. Padahal, secara formal ditegaskan bahwa setiap warga negara harus
memiliki KTP dan Akta Lahir. Keterlambatan untuk memperpanjang KTP dan tidak
memiliki Akta Lahir, bahkan diancam dengan denda dan hukuman penjara. Namun
faktor geografis tadi menjadikan pelayanan kependudukan menjadi tidak optimal.
Untuk itu, gagasan untuk melakukan pelayanan “jemput bola”, misalnya dengan
mengirimkan staf dari dinas terkait ke desa-desa terpencil secara reguler (misalnya
sebulan sekali) adalah sebuah inovasi yang mampu menerobos hambatan yang ada.
Dengan sistem seperti ini, warga tidak perlu jauh-jauh datang hanya untuk
menyerahkan berkas, melengkap berkas jika kurang, atau mengambil hasil. Staf
dari dinas-lah yang akan mengambil berkas, menyetorkan hasilnya jika sudah
selesai, sekaligus memberikan penjelasan atau sosialisasi terkait pelayanan
yang diberikan. Artinya, ini adalah sebuah terobosan yang akan menghasilkan
efisiensi pelayanan sekaligus mendekatkan aparat pada rakyat yang harus
dilayaninya, dan ini jelas sebuah inovasi yang mudah namun menawarkan
keunggulan yang cukup banyak dan mampu menyelesaikan masalah secara konkrit.
Ada lagi contoh unik tentang
meningkatnya gangguan keamanan di sebuah kampung/desa karena ketiadaan sistem
pengamanan swakelola oleh warga. “Siskamling” yang dulu begitu ampuh untuk
menangkal tindak kriminalitas, sekarang sudah digantikan oleh Satpam atau
tenaga outsourcing. Keamanan menjadi public goods yang mulai
dikomersialisasikan dan diukur nilainya berdasarkan gaji yang diberikan kepada
petugas kemanan tersebut. Petugas keamanan yang merasa digaji kecil pun tidak
memiliki sense of security dan sense of belongingness terhadap keamanan
lingkungan. Akibatnya, kasus pencurian masih saja terjadi. Nah, dengan
menghidupkan kembali siskamling “pola baru”, kasus kriminalitas bisa ditangkal
dengan baik. “Pola baru” dalam siskamling ini misalnya ditempuh dengan memasang
CCTV di beberapa titik yang disepakati oleh warga berdasarkan hasil musyawarah.
Tentu, perangkat CCTV tersebut adalah hasil patungan atau iuran warga. Dengan adanya
perangkat teknologi pengintai ini, bukan berarti kegiatan keliling kampung atau
komplek perumahan ditiadakan, tetapi bisa mengurangi intensitas begadang,
karena jadual ronda dapat digilir berdasarkan sesi/termin/shift yang juga
disepakati bersama. Paling tidak, beberapa tugas sudah dapat diambil alih oleh CCTV
sehingga meringankan bebas petugas.
Inovasi sederhana yang lain dapat
dilakukan misalnya di lembaga pendidikan. Untuk menyampaikan pengumuman, secara
tradisional dilakukan dengan memasang di dinding-dinding yang telah tersedia. Padahal,
tidak setiap hari mahasiswa datang, sehingga ada kemungkinan mereka tidak
memperoleh informasi. Untuk itu, pengumuman-pun bisa dibuat secara elektronik,
misalnya dengan membuat SMS-group
atau sistem hotline. Dengan begitu, penyampaian
informasi bisa langsung diterima pada detik pengirimannya (real time). Selain menghemat biaya dan waktu, pola seperti ini akan
meniadakan alasan bagi seorang mahasiswa untuk mengatakan bahwa mereka tidak
tahu ada informasi penting.
Optimalisasi ruangan dengan
memberi fungsi-fungsi baru, bisa juga dikatakan sebagai sebuah inovasi. Sebagai
contoh, sebuah musholla yang biasanya hanya sebagai tempat sholat, namun
kemudian diberdayakan juga untuk diskusi kelompok, bedah buku, atau bahkan
untuk keperluan training. Tentu saja, hal itu dilakukan diluar waktu-waktu
sholat. Atau, ruang tunggu tamu yang dilengkapi dengan fasilitas wi-fi, poster-poster edukatif dan informatif,
layanan minum secara swalayan, serta layanan pengantaran oleh petugas yang secara
khusus diberi tanggungjawab untuk itu, adalah juga hal “sepele” namun
menimbulkan kesan berbeda.
Masih banyak lagi contoh-contoh
inovasi kecil namun penuh arti. Hanya butuh kreativitas dalam berpikir untuk mendobrak
rutinitas, membongkar kebiasaan lama, dan beralih kepada sesuatu yang lebih
unik dan menarik. Berani berbeda, tidak takut ditertawakan orang, bersedia
untuk terus mencoba, dan siap menanggalkan habit
yang telah mengakar, adalah kata kunci untuk bisa menemukan kebaruan dalam
hidup sehari-hari maupun menjalani aktivitas dalam organisasi.
Jakarta, 21 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar