Jika selama
ini kita meyakini bahwa berpikir diluar kotak (thinking outside the box) adalah cara yang kreatif untuk menemukan
ide-ide baru atau memecahkan masalah, maka Luc de Brabandere dan Alan Iny
melalui bukunya berjudul “Thinking in New
Boxes: Five Essential Steps to Spark the Next Big Idea” (2013, New York:
Random House) justru mengkritiknya dan menawarkan cara lain yang lebih tepat
yakni berpikir dengan kotak baru yang berbeda dari kotak sebelumnya (thinking in the new box).
Sebelum saya
ulas lebih jauh, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan “kotak” itu. Kotak adalah sebuah metafora yang merujuk pada konsep,
pola, kategori, stereotip, penilaian, ide, paradigma, hipotesa, kerangka pikir,
mental model, dan sejenisnya. Jadi, ketika seseorang melihat sebuah peristiwa
kemudian langsung menarik opini atau menyimpulkan penyebab dari peristiwa tadi,
maka itu adalah “kotak” orang tersebut. Atau, saat ada seorang wanita muda
berjalan beriringan dengan pria setengah baya, kemudian kita mengatakan bahwa
mereka adalah ayah dan anaknya, atau mungkin kita menduga bahwa itu adalah
gambaran lelaki bandot yang sedang berkencan dengan wanita panggilan, itupun
adalah “kotak” kita. Bahkan ketika ditanya berapa jumlah warna dalam pelangi,
kemudian dijawab dengan 7, 10, atau tak terhingga, itu juga “kotak” berpikir
kita.
Maka, “kotak”
setiap orang pada dasarnya berbeda-beda, ada yang besar atau kecil, ada yang
luas atau sempit, ada yang tertutup rapat atau transparan, dan seterusnya.
Dengan “kotak” yang berbeda, maka wajar jika persepsi, interpretasi, atau
konklusi yang terbangun akan sangat berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
Ada kalanya persepsi, interpretasi, atau konklusi yang ditarik benar atau
mendekati kebenaran, namun sering kali pula keliru karena “kotak”nya terlalu
kecil, sempit dan buram/kabur. Dalam keadaan seperti inilah kemudian muncul
rekomendasi untuk “keluar dari kotak” atau “berpikir diluar kotak”, karena kotak
telah menutup atau memenjara pikiran seseorang dari berbagai kemungkinan yang
ada.
Nah, dari
sinilah Brabandere dan Iny memulai kritiknya. Menurut mereka, berpikir itu
pastilah terjadi dalam sebuah “kotak”, sehingga jangan pernah mencoba berpikir
tanpa “kotak” karena itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka, berpikir
diluar kotak sangatlah tidak cukup, paling tidak karena tiga alasan, yaitu: 1)
sangat sulit untuk keluar dari kotak; 2) sulit untuk menentukan kotak mana yang
akan kita gunakan untuk berpikir diantara banyak kotak yang kita miliki; dan 3)
tetap saja tidak cukup dan perlu kotak baru. Mereka juga mengatakan bahwa
meskipun “berpikir diluar kotak” dapat membantu untuk menghindarkan dari solusi
yang konvensional, namun ia tidak menawarkan petunjuk tentang kemana solusi
terbaik dapat ditemukan. Menyarankan seseorang untuk meninggalkan cara berpikir
konvensional sama logikanya dengan menyarankan untuk tidak mengendarai
kendaraan di jalan raya namun tidak memberi informasi jalan mana yang bisa ditempuh.
Selain itu, menganjurkan seseorang untuk berpikir outside the box seolah-olah seperti mengatakan bahwa mereka adalah
tawanan dari kotak mereka sendiri, sehingga harus melarikan diri secepatnya dari
kotak tersebut. Anjuran untuk melarikan diri itu tidak akan memberikan
kebebasan. Kebebasan itu hanya dapat dicapai dengan cara merenungkan sifat dan
struktur dari “kotak” kita, mempertanyakan mengapa ia ada di tempat pertama
dalam pikiran kita, dan berjuang untuk memahami strategi dan kendala untuk mengendalikannya.
Atas dasar
itulah, buku yang sangat inspiratif ini mengajukan 5 (lima) langkah untuk
berpikir dengan kotak lain, yakni doubt
everything (meragukan segala hal), probe
the possible (menjajagi segala kemungkinan), diverge (memencarkan dalam berbagai bentuk yang berbeda), converge (mengumpulkan dan menyeleksi
sesuai kebutuhan), dan reevaluate
relentlessly (mengevaluasi ulang tanpa henti). Masing-masing tahap memiliki
teknik yang akan mendekatkan kita untuk menemukan kebebasan dari keyakinan yang
terlanjur tertanam, menemukan cara yang orisinal untuk melihat dunia, kemudian
memodifikasi mental model dengan cara yang menarik.
Pada tahap
awal, yakni meragukan segalanya, seorang filusuf Perancis abad pertengahan
bernama Peter Abelard mengatakan bahwa “The
beginning of wisdom is found in doubting; by doubting we are led to question,
and by questioning we arrive at the truth”. Apapun yang kita miliki harus
kita ragukan, baik keyakinan yang mendasar, persepsi terhadap realitas, asumsi
terhadap masa depan, aturan yang berlaku, atau bahkan jalan hidup yang selama
ini telah kita lewati. Cara ini akan memberi keberanian untuk mengadopsi mindset yang sama sekali baru. Bahkan
Brabandere menyatakan bahwa kreativitas itu hanya mungkin terjadi ketika kita
rendah hati dengan pendekatan yang selama ini kita gunakan untuk memikirkan
berbagai hal (creativity is possible only
when you are humble about your existing approaches to thinking about things).
Cara ini juga akan mendorong kita mengaplikasikan teknik berpikir induktif dan
berani mengambil resiko. Teknik berpikir induktif sendiri adalah mengobservasi
sesuatu kemudian menggunakan informasi yang diperoleh dari proses observasi
untuk menciptakan model berpikir baru atau memperbaharui model berpikir lama.
Selanjutnya
pada tahap kedua (menjajagi segala kemungkinan), tugas kita adalah menggunakan
kesadaran baru yang diperoleh dari tahap pertama untuk menguji dan
menginvestigasi lingkungan yang ada di depan dan di sekitar kita. Kita dituntut
mengidentifikasi perubahan esensial yang mampu mengubah organisasi dan seluruh
lapangan kehidupan kita. Dari sini diharapkan akan dapat ditemukan issu-issu
paling penting yang harus dituntaskan dan target atau harapan yang harus
direalisasikan. Uniknya, kemampuan kita menganalisis dunia luar ini akan
membuat kita mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan menentukan jawaban yang
benar.
Tahap ketiga yakni
divergence adalah tahapan dimana kita
harus mengembangkan sebanyak mungkin alternatif ide, model, konsep, hipotesa
dan cara berpikir. Hal-hal yang nampak bodoh sekalipun tidak boleh diabaikan. Sementara
tahap keempat, yakni convergence,
merupakan kebalikan dari tahap ketiga. Pada tahap ini, cara berpikir terbuka
dan merdeka yang dipraktekkan pada tahap sebelumnya diganti dengan proses
pengujian ide-ide secara analitik, untuk melihat mana diantara ide-ide tersebut
yang dapat dipilih untuk dilanjutkan. Konvergensi ini adalah proses
mentransformasi daftar panjang ide-ide menjadi kelompok kecil yang terseleksi,
yang nantinya diseleksi kembali untuk menjadi lebih sedikit, bahkan jika perlu
menjadi satu ide yang paling layak untuk dieksekusi. Adapun tahap terakhir
berasumsi bahwa tidak ada ide yang selamanya paling baik. Maka, meski sudah
terseleksi ide(-ide) terbaik, tetap dimungkinkan perlunya berganti ide atau
berganti “kotak”. Yang dibutuhkan adalah kelincahan, keberanian mengambil
resiko, dan kesiapan belajar dari kegagalan.
Pada buku ini,
masing-masing tahap dijelaskan lebih rinci dengan games yang menarik dan contoh-contoh konkrit. Rasanya agak sulit
bagi saya untuk mengelaborasi dalam artikel singkat ini. Untuk itu, semoga di
kesempatan lain saya memiliki waktu luang untuk mendalami kelima tahap tersebut
untuk saya bagikan hasilnya kepada pembaca semua. Mudah-mudahan ini tidak
membuat pembaca kecewa, namun justru termotivasi untuk mempelajari secara
langsung buku yang benar-benar istimewa ini.
Jakarta, 5
Agustus 2014
*terengah-engah
‘menaklukkan’ isi buku dahsyat ini*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar