Selasa, 05 Agustus 2014

Berpikir Diluar Kotak atau Berpikir Dengan Kotak Lain?


Jika selama ini kita meyakini bahwa berpikir diluar kotak (thinking outside the box) adalah cara yang kreatif untuk menemukan ide-ide baru atau memecahkan masalah, maka Luc de Brabandere dan Alan Iny melalui bukunya berjudul “Thinking in New Boxes: Five Essential Steps to Spark the Next Big Idea” (2013, New York: Random House) justru mengkritiknya dan menawarkan cara lain yang lebih tepat yakni berpikir dengan kotak baru yang berbeda dari kotak sebelumnya (thinking in the new box).

Sebelum saya ulas lebih jauh, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “kotak” itu. Kotak adalah sebuah metafora yang merujuk pada konsep, pola, kategori, stereotip, penilaian, ide, paradigma, hipotesa, kerangka pikir, mental model, dan sejenisnya. Jadi, ketika seseorang melihat sebuah peristiwa kemudian langsung menarik opini atau menyimpulkan penyebab dari peristiwa tadi, maka itu adalah “kotak” orang tersebut. Atau, saat ada seorang wanita muda berjalan beriringan dengan pria setengah baya, kemudian kita mengatakan bahwa mereka adalah ayah dan anaknya, atau mungkin kita menduga bahwa itu adalah gambaran lelaki bandot yang sedang berkencan dengan wanita panggilan, itupun adalah “kotak” kita. Bahkan ketika ditanya berapa jumlah warna dalam pelangi, kemudian dijawab dengan 7, 10, atau tak terhingga, itu juga “kotak” berpikir kita.

Maka, “kotak” setiap orang pada dasarnya berbeda-beda, ada yang besar atau kecil, ada yang luas atau sempit, ada yang tertutup rapat atau transparan, dan seterusnya. Dengan “kotak” yang berbeda, maka wajar jika persepsi, interpretasi, atau konklusi yang terbangun akan sangat berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Ada kalanya persepsi, interpretasi, atau konklusi yang ditarik benar atau mendekati kebenaran, namun sering kali pula keliru karena “kotak”nya terlalu kecil, sempit dan buram/kabur. Dalam keadaan seperti inilah kemudian muncul rekomendasi untuk “keluar dari kotak” atau “berpikir diluar kotak”, karena kotak telah menutup atau memenjara pikiran seseorang dari berbagai kemungkinan yang ada.

Nah, dari sinilah Brabandere dan Iny memulai kritiknya. Menurut mereka, berpikir itu pastilah terjadi dalam sebuah “kotak”, sehingga jangan pernah mencoba berpikir tanpa “kotak” karena itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka, berpikir diluar kotak sangatlah tidak cukup, paling tidak karena tiga alasan, yaitu: 1) sangat sulit untuk keluar dari kotak; 2) sulit untuk menentukan kotak mana yang akan kita gunakan untuk berpikir diantara banyak kotak yang kita miliki; dan 3) tetap saja tidak cukup dan perlu kotak baru. Mereka juga mengatakan bahwa meskipun “berpikir diluar kotak” dapat membantu untuk menghindarkan dari solusi yang konvensional, namun ia tidak menawarkan petunjuk tentang kemana solusi terbaik dapat ditemukan. Menyarankan seseorang untuk meninggalkan cara berpikir konvensional sama logikanya dengan menyarankan untuk tidak mengendarai kendaraan di jalan raya namun tidak memberi informasi jalan mana yang bisa ditempuh. Selain itu, menganjurkan seseorang untuk berpikir outside the box seolah-olah seperti mengatakan bahwa mereka adalah tawanan dari kotak mereka sendiri, sehingga harus melarikan diri secepatnya dari kotak tersebut. Anjuran untuk melarikan diri itu tidak akan memberikan kebebasan. Kebebasan itu hanya dapat dicapai dengan cara merenungkan sifat dan struktur dari “kotak” kita, mempertanyakan mengapa ia ada di tempat pertama dalam pikiran kita, dan berjuang untuk memahami strategi dan kendala untuk mengendalikannya.

Atas dasar itulah, buku yang sangat inspiratif ini mengajukan 5 (lima) langkah untuk berpikir dengan kotak lain, yakni doubt everything (meragukan segala hal), probe the possible (menjajagi segala kemungkinan), diverge (memencarkan dalam berbagai bentuk yang berbeda), converge (mengumpulkan dan menyeleksi sesuai kebutuhan), dan reevaluate relentlessly (mengevaluasi ulang tanpa henti). Masing-masing tahap memiliki teknik yang akan mendekatkan kita untuk menemukan kebebasan dari keyakinan yang terlanjur tertanam, menemukan cara yang orisinal untuk melihat dunia, kemudian memodifikasi mental model dengan cara yang menarik.

Pada tahap awal, yakni meragukan segalanya, seorang filusuf Perancis abad pertengahan bernama Peter Abelard mengatakan bahwa “The beginning of wisdom is found in doubting; by doubting we are led to question, and by questioning we arrive at the truth”. Apapun yang kita miliki harus kita ragukan, baik keyakinan yang mendasar, persepsi terhadap realitas, asumsi terhadap masa depan, aturan yang berlaku, atau bahkan jalan hidup yang selama ini telah kita lewati. Cara ini akan memberi keberanian untuk mengadopsi mindset yang sama sekali baru. Bahkan Brabandere menyatakan bahwa kreativitas itu hanya mungkin terjadi ketika kita rendah hati dengan pendekatan yang selama ini kita gunakan untuk memikirkan berbagai hal (creativity is possible only when you are humble about your existing approaches to thinking about things). Cara ini juga akan mendorong kita mengaplikasikan teknik berpikir induktif dan berani mengambil resiko. Teknik berpikir induktif sendiri adalah mengobservasi sesuatu kemudian menggunakan informasi yang diperoleh dari proses observasi untuk menciptakan model berpikir baru atau memperbaharui model berpikir lama.

Selanjutnya pada tahap kedua (menjajagi segala kemungkinan), tugas kita adalah menggunakan kesadaran baru yang diperoleh dari tahap pertama untuk menguji dan menginvestigasi lingkungan yang ada di depan dan di sekitar kita. Kita dituntut mengidentifikasi perubahan esensial yang mampu mengubah organisasi dan seluruh lapangan kehidupan kita. Dari sini diharapkan akan dapat ditemukan issu-issu paling penting yang harus dituntaskan dan target atau harapan yang harus direalisasikan. Uniknya, kemampuan kita menganalisis dunia luar ini akan membuat kita mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan menentukan jawaban yang benar.

Tahap ketiga yakni divergence adalah tahapan dimana kita harus mengembangkan sebanyak mungkin alternatif ide, model, konsep, hipotesa dan cara berpikir. Hal-hal yang nampak bodoh sekalipun tidak boleh diabaikan. Sementara tahap keempat, yakni convergence, merupakan kebalikan dari tahap ketiga. Pada tahap ini, cara berpikir terbuka dan merdeka yang dipraktekkan pada tahap sebelumnya diganti dengan proses pengujian ide-ide secara analitik, untuk melihat mana diantara ide-ide tersebut yang dapat dipilih untuk dilanjutkan. Konvergensi ini adalah proses mentransformasi daftar panjang ide-ide menjadi kelompok kecil yang terseleksi, yang nantinya diseleksi kembali untuk menjadi lebih sedikit, bahkan jika perlu menjadi satu ide yang paling layak untuk dieksekusi. Adapun tahap terakhir berasumsi bahwa tidak ada ide yang selamanya paling baik. Maka, meski sudah terseleksi ide(-ide) terbaik, tetap dimungkinkan perlunya berganti ide atau berganti “kotak”. Yang dibutuhkan adalah kelincahan, keberanian mengambil resiko, dan kesiapan belajar dari kegagalan.

Pada buku ini, masing-masing tahap dijelaskan lebih rinci dengan games yang menarik dan contoh-contoh konkrit. Rasanya agak sulit bagi saya untuk mengelaborasi dalam artikel singkat ini. Untuk itu, semoga di kesempatan lain saya memiliki waktu luang untuk mendalami kelima tahap tersebut untuk saya bagikan hasilnya kepada pembaca semua. Mudah-mudahan ini tidak membuat pembaca kecewa, namun justru termotivasi untuk mempelajari secara langsung buku yang benar-benar istimewa ini.

Jakarta, 5 Agustus 2014

*terengah-engah ‘menaklukkan’ isi buku dahsyat ini*

Tidak ada komentar: