Keterpaksaan
itu ada kalanya banyak manfaatnya, seperti yang saya alami. Sepanjang umur,
tidak pernah saya ceramah di masjid dengan mengusung tema agama. Namun ketika
panitia ramadhan DKM Masjid Baitut Tarbiyah LAN meminta saya untuk memberikan
“tausiyah”, saya menerimanya meski dengan “terpaksa”. Karena saya merasa bukan
orang yang ahli agama, maka tema yang saya angkat adalah yang terkait dengan
tugas saya, yakni tentang inovasi. Terus terang, bicara inovasi sudah amat
terbiasa, namun inovasi dalam perspektif agama belum sekalipun saya lakukan.
Itulah sebabnya, kesempatan tadi saya ambil sebagai “pemaksaan” terhadap diri
saya pribadi untuk menggali issu dan kaidah inovasi menurut pandangan Islam.
Dan ternyata, ruang-ruang inovasi yang bisa dikembangkan sesuai syariat Islam
begitu luas, terlebih di tengah-tengah kehidupan sosial yang belum sepenuhnya
mendasarkan pada ajaran agama.
Saya memulai
“ceramah” saya dengan melempar statement bahwa
sesungguhnya Allah-lah dzat yang Maha Kreatif lagi Maha Inovatif. Dengan
mengutip Firman-Nya yang termaktub dalam surat Al-Hujurat: 13 yang diantaranya
berbunyi: “Allah menciptakan manusia
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa …”. Wujud penciptaaan Allah yang beragam
baik dari warna kulit, raut muka, postur tubuh, hingga munculnya bahasa dan
budaya yang beragam, telah menunjukkan betapa kreatifnya Sang Maha Pencipta.
Inipun belum termasuk bagaimana manusia tadi dilengkapi dengan sistem kerja
yang rumit dan teramat canggih, sehingga organ-organ tubuh bisa berfungsi
dengan maksimal. Bahkan ketika salah satu organ kurang berfungsi karena
penyakit tertentu, manusia tidak selamanya mengetahui bagaimana cara
mengobatinya karena ilmu Allah yang tiada batas sementara pengetahuan manusia
teramat sedikit. Lagi-lagi, hal itu membuktikan bahwa kreasi Allah begitu jauh
dari jangkauan akal manusia modern sekalipun. Belum lagi jika kita lihat
ciptaan Allah yang lain seperti trilyunan spesies makhluk hidup yang ada di
udara, darat, laut, maupun di dalam bumi, serta kehidupan diluar planet bumi,
lengkap dengan segala misterinya. Semuanya tadi adalah bukti nyata kreativitas
yang terhampar di alam semesta. Intinya, sifat Maha Kreatif Allah SWT pastilah
dimiliki juga oleh ciptaan-Nya meski dengan kadar yang auh berbeda, sebagaimana
manusia juga memiliki sifat penyayang, pemaaf, dan lain-lain sifat Allah.
Dalam
misteri penciptaan Ilahi itulah terkadung potensi triliunan inovasi bagi
manusia yang mau berpikir. Tidaklah mengherankan jika dalam Al-Qur’an banyak
sekali ayat yang berbunyi: “Apakah mereka tidak berakal?”, “Supaya kamu menjadi
berakal”, “Jika kamu berakal”, “Bagi kaum yang berakal”, “Apakah mereka tidak
berpikir?”, “Supaya kalian berpikir”, “Supaya mereka berpikir”, dan “Bagi kaum
yang berpikir”. Ayat-ayat seperti itu dalam penafsiran saya adalah ayat-ayat
yang memerintahkan manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Sebab, tidak ada
inovasi tanpa proses berpikir kreatif, dan kreativitas berpikir akan selalu
melahirkan inovasi-inovasi baru. Hanya karena keterbatasan kemampuan berpikir
manusialah yang membuat misteri alam semesta belum bisa disibak, atau masih
banyaknya penyakit yang belum ketemu obatnya, atau masih gagalnya manusia
berkunjung ke Mars, dan seterusnya. Namun saya yakin bahwa itu semua (menemukan
obat untuk penyakit langka, pergi ke planet lain, dan sebagainya) bukanlah
kemustahilan. Pada saatnya, Allah pasti akan menurunkan ilmunya seiring dengan
ikhtiar manusia yang makin meningkat untuk menyibak rahasia ilmu kehidupan.
Hal yang menyulitkan inovasi dalam Islam
menurut saya adalah kekhawatiran terjebak sebagai bid’ah atau melakukan sesuatu
yang tidak diajarkan. Bid’ah adalah sesuatu yang wajib dihindari, namun harus
dibedakan dengan inovasi. Logika dalam ilmu administrasi, inovasi itu bisa
terjebak dalam pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum adalah sesuatu yang wajib
dihindari, sedangkan inovasi justru harus dikembangkan. Larangan bid’ah sendiri
bisa disimak dari Hadits Rasulullah yang artinya: “Sesungguhnya sebenar-benar pembicaraan adalah Kitab Allah; sesungguhnya
petunjuk yang paling mulia adalah petunjuk Nabi Muhammad; seburuk-buruk perkara
adalah perkara-perkara baru yang dibuat (perkara agama yang tidak diajarkan).
Padahal setiap perkara baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah suatu kesesatan, dan setiap kesesatan
(tempatnya) di neraka” (HR Muslim, an
Nasai, Abu Daud, Abu Darami, Ibnu Majah & Imam Ahmad).
Hadits inilah
yang ditarsirkan secara tidak tepat seolah-olah Islam mengharamkan inovasi. Dalam
kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu prinsip dasar inovasi dalam Islam,
yakni bahwa dalam hal aqidah / ibadah,
tidak boleh melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan; sedangkan dalam hal mu’amalah (hubungan hukum antar manusia), boleh melakukan apa saja
kecuali yang dilarang. Nah, bid’ah ada
di wilayah ibadah, sementara inovasi adalah wilayah mu’amalah, sehingga
di lapangan ini terbuka ruang inovasi yang sangat luas.
Dalam bidang
ibadah, menambah / mengurang / mengubah tata cara, rukun, syarat ibadah adalah bid’ah, sehingga tidak boleh berinovasi sedikitpun dalam hal
seperti ini. Mungkin masih ada wilayah kebolehan (inovasi) dalam ibadah
misalnya kreasi atas atribut ibadah, seperti perangkat shalat (mukena, sajadah,
tasbih, dan lain-lain), namun tetap saja dengan prasyarat sepanjang tidak
melanggar syara’ atau hukum Islam seperti menutup aurat, pakaian ihram, dan
lain-lain. Sebaliknya, dalam wilayah mu’amalah inovasi dapat dimaknakan sebagai
aktualisasi ajaran agama dalam relasi sosial dan dalam karya cipta manusia
secara kreatif, mengandung kebaruan, dan membawa manfaat untuk umat.
Dengan makna inovasi seperti itu, maka
lahirnya bank syariah, pariwisata dan hotel syariah, pegadaian dan asuransi
syariah, atau ojek syariah, adalah contoh inovasi yang konkrit dan memenuhi
kriteria inovasi Islami sebagaimana disebut diatas. Mengapa demikian? Karena
dengan menerapkan prinsip syariah tadi, maka perbankan dapat terhindar dari
memakan riba, yang jelas-jelas dilarang oleh Al-Qur’an, salah satunya dalam
surat Ali Imran: 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keuntungan”.
Dengan prinsip syariah pula, hotel-hotel dan tempat wisata dapat mencegah
terjadinya perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah, misalnya yang diperingatkan
melalui surat Al-Israa’: 32, yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk”; atau dalam Hadist Nabi yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum (khamar), berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad). Bahkan ojeg yang memasang
penghalang antara pengendara dengan pemboncengnya memiliki tujuan mulia agar
tidak terjadi sentuhan diantara keduanya yang berlainan jenis. Sebab, Hadits
Nabi SAW menegaskan bahwa: “Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi
adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR
Ath-Thabrani).
Selain itu,
praktek inovasi berupa asuransi syariah dan pegadaian syariah juga memiliki
dasar agama yakni memenuhi perintah untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan
dan taqwa, bukan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al-Ma’idah:
2). Dengan demikian, jangan sampai mu’amalah antar umat menimbulkan keuntungan
bagi salah satu pihak namun menimbulkan kerugian di pihak lain. Prinsip win
win solution atau mutual benefit harus menjadi spirit dalam setiap relasi
sosial antar manusia.
Diluar
praktek inovasi yang sesuai ajaran agama diatas, tentu masih terbuka potensi
inovasi untuk dikembangkan lebih lanjut. Misalnya menciptakan bis khusus
wanita, dengan mengadopsi kereta khusus wanita yang sudah dilakukan oleh PT.
KAI. Inilah yang saya sebut sebagai sistem tranportasi berbasis syariah. Atau,
menciptakan hukum positif tentang pemilihan umum (kepala daerah, legislatif,
maupun presiden) yang melarang ghibah (membicarakan aib orang lain) ataupun menyebar
fitnah. Jika kita amati Pilpres yang baru saja selesai, betapa gunjingan,
hasutan, hingga fitnah menjadi menu sehari-hari para tim sukses kedua belah
pihak. Padahal, agama secara tegas melarang perbuatan tercela itu sebagaimana
tertulis dalam surat Al-Hujurat: 12, yang artinya: “Hai orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain, adakah diantara kamu yang suka memakan daging
bangkai saudaranya? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. Praktek
berpolitik yang sehat dengan bernafaskan nilai-nilai spiritual inilah yang saya
sebut sebagai sistem politik berbasis syariah.
Dalam bidang
kepegawaian-pun, peluang inovasi sesuai syariat Islam terbuka lebar. Salah
satunya adalah dengan mengakomodir hak-hak umat Islam untuk i’tikaf selama 10
hari terakhir bulan Ramadhan sebagai hak cuti, yang sederajat kedudukannya
dengan hak cuti lain seperti cuti melahirkan, cuti alasan penting, cuti rutin
tahunan, cuti besar, dan seterusnya. Argumennya adalah bahwa hukum positif
hanya akan valid jika sesuai dengan keyakinan (agama) seseorang. Maknanya, hak
(bahkan perintah) agama semestinya diakomodir menjadi regulasi negara.
Sebaliknya, jika ada hukum negara yang bertentangan dengan hukum agama, maka
hukum negara tersebut harus dianggap batal demi hukum. Sama kasusnya ketika
hukum pernikahan dalam Islam diakomodir kedalam UU Perkawinan, sehingga
perkawinan yang tidak sah menurut agama, sudah pasti juga tidak sah menurut
hukum negara. Untuk itu, hak ibadah (cq. i’tikaf) semestinya juga segera
disisipkan dalam skema regulasi bidang kepegawaian mendatang.
Kesimpulan
saya, sebagai agama rahmatan lil ‘alaliin,
Islam sangat sejalan dengan kebutuhan untuk berinovasi. Bahkan inovasi bisa
dimaknakan lebih luas sebagai jihad atau perubahan dan perpindahan dari malas
ke rajin, dari bodoh ke lebih pintar, dari cara kerja lamban menjadi lebih
cepat dan gesit, dari pelit menjadi lebih dermawan, dari lingkungan yang kotor
/ jorok menjadi lebih bersih dan higienis, dari pola hidup tidak baik menjadi
lebih baik, dari pemarah menjadi lebih sabar, dari banyak bicara menjadi banyak
bekerja, dan seterusnya. Intinya, segala sesuatu yang menjadikan hari ini lebih
baik dari kemaren, dan besok lebih baik dari hari ini, dapat dipastikan sebagai
sebuah inovasi yang dikehendaki oleh Islam. Wallahu’alam bissawab.
Jakarta, 4
Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar