Terhitung
sejak tahun 2013, LAN memberlakukan kebijakan baru tentang Diklat Kepemimpinan
(Diklatpim) di seluruh tingkatan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Diklatpim Pola Baru. Saya tidak akan bercerita tentang latar belakang lahirnya
kebijakan ini, atau desain program dan kurikulum diklat secara detil. Melalui
tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan pemahaman-pemahaman baru yang saya
temukan seiring berjalannya kebijakan tersebut, dan seiring pula dengan
pendalaman saya terhadap konsep-konsep tentang inovasi sektor publik.
Jika hingga
sampai saat ini saya mengambil kesimpulan bahwa Diklatpim Pola Baru adalah
sebuah inovasi besar dalam sektor pemerintahan di Indonesia, khususnya terkait
manajemen SDM aparaturnya, itu bukan karena saya adalah pegawai LAN semata. Jika
saya menyimpulkan bahwa ada keterkaitan sangat kuat antara Diklatpim Pola Baru
dengan inovasi sektor publik, bukan semata-mata karena ada agenda inovasi dalam
struktur kurikulum Diklatpim tersebut. Kesimpulan seperti ini justru saya
peroleh dalam perjalanan intelektual wajib saya selaku Deputi Inovasi untuk
terus-menerus menggali pengetahuan tentang inovasi administrasi negara. Dalam perjalanan
itulah saya kemudian menemukan banyaknya keterkaitan antara ide dasar
pembaharuan Diklatpim dengan referensi teoretik maupun fenomena global.
Keterkaitan teoretik yang paling
menonjol yang saya temukan adalah antara prinsip belajar berdasarkan pengalaman
(experiential learning) dalam Diklatpim
dengan konsep collective genius yang
diperkenalkan oleh Linda A. Hill, Greg Brandeau, Emily Truelove, dan Kent Lineback dalam buku mereka berjudul “Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation”.
Sebagaimana disosialisasikan berulang kali bahwa salah satu prinsip dalam Diklatpim
Pola Baru adalah mendorong berjalannya pembelajaran berbasis pengalaman antar
peserta, bukan bersumber semata-mata dari nara sumber atau Widyaiswara.
Asumsinya, setiap peserta telah memiliki pengalaman yang cukup banyak di
bidangnya masing-masing, yang jika saling dikomunikasikan dengan peserta lain
akan menjadi sumber belajar yang sangat bagus karena sudah teruji dalam realita
dan di dukung dengan bukti-bukti (evidence)
yang relatif terukur. Hal ini sangat berbeda dibanding paradigma diklat klasikal
yang memandang peserta sebagai seseorang yang harus mengosongkan pikirannya
untuk diisi dengan berbagai pengetahuan baru.
Dengan modal pengalaman tadi, bisa
dibayangkan bahwa sebuah kelas diklat yang diisi oleh sekitar 30 orang adalah
sebuah kelas yang sudah penuh dengan beragam pengalaman, bahkan sejak pertemuan
pada hari pertama. Tidaklah berlebihan jika interaksi antar 30 orang yang sudah
memiliki basis pengalaman tadi akan menghasilkan kecerdasan kolektif yang
hebat. Artinya, diklat bukanlah sebuah ajang yang hanya didesain untuk
pengembangan kapasitas individu per individu, namun juga membangun sebuah
kapasitas kolektif antar peserta yang berasal dari instansi, jabatan, daerah,
dan disiplin yang berbeda-beda. Demikian pula, ketika setiap peserta diwajibkan
merencanakan dan melaksanakan sebuah inisiatif perubahan, apabila setiap
peserta belajar dari peserta lain bagaimana mengelola dan memimpin sebuah
perubahan, maka pada hakekatnya setiap peserta akan memiliki kemampuan
menjalankan 30 perubahan. Disinilah nampak adanya proses pembelajaran timbal
balik yang menghasilkan efek terbangunnya collective
genius tadi. Ini jelas sebuah perbedaan besar yang dibawa oleh konsep
Diklatpim Pola Baru.
Selanjutnya, tugas peserta diklat yang
sudah dinyatakan kompeten sebagai pemimpin perubahan, adalah membangun collective genius di lingkungan
kerjanya. Tidak seperti program diklat terdahulu dimana peserta dianggap
menyelesaikan tugasnya seiring dengan penutupan program diklat. Dalam sistem
diklat yang baru, seorang alumni diklat masih terus dituntut untuk mampu
menghasilkan inovasi-inovasi dan perubahan baru yang berkelanjutan. Sebagaimana
dikatakan pula oleh Linda A. Hill dkk, bahwa tugas seorang
pemimpin adalah create organizations
willing to innovate dan create organizations
able to innovate. Hanya pemimpin yang inovatif yang mampu membangun tim
inovatif dalam sebuah organisasi. Bahkan dalam buku tersebut ditegaskan bahwa inovasi
itu adalah sebuah olahraga kelompok (team
sport). Pendekatan formal dan otoritatif jelas tidak mampu menghasilkan
kecerdasan kolektif. Itulah sebabnya, penulis buku ini menyatakan bahwa “Conventional leadership won't get you to
innovation”.
Lagi-lagi, Diklatpim Pola Baru sejalan
dengan semangat itu, dengan memperkenalkan konsep adaptive leadership. Seorang pemimpin yang adaptif, tidak hanya
mengandalkan diri pada otoritas formal yang melekat pada jabatannya. Ia harus
lebih mampu membangun “otoritas” informal dengan mengasah kompetensi
komunikasi, persuasi, dan kolaborasi dengan seluruh stakeholder yang terkait dengan tugasnya. Hal ini menjadi sangat
penting karena kreativitas dan inovasi akan tumbuh lebih subur dalam lingkungan
kerja yang tidak formalistik dan birokratik. Pemimpin adaptif tidak
mengandalkan pada instruksi pada bawahan, namun lebih pada upaya memberi
apresiasi dan motivasi kepada stafnya, untuk bersama-sama mencapai tujuan
organisasi. Seorang pemimpin adaptif tidak memandang jabatan sebagai privilege yang dinikmati sendiri, namun
memberikan delegasi kepada orang yang tepat (delegation of power) sembari memberdayakan kapasitas mereka (empowering people). Dengan kata lain, adaptive leaders adalah juga mereka yang
terus berusaha membangun kapasitas kepemimpinan di berbagai jenjang dan lini (shared leadership).
Selain keterkaitan secara substantif
konseptual, Diklatpim Pola Baru juga memiliki keterkaitan dengan fenomena
global, yang saya maksudkan dalam konteks kemampuan negara-negara di dunia untk
melakukan inovasi. Sebagaimana tercermin dalam Global Innovation Index 2014, Indonesia menempati urutan ke-87 dari
132 negara yang disurvei dengan skor sebesar 31,81. Jika dibandingkan dengan
GII 2013, Indonesia mengalami penurunan karena pada tahun lalu menempati urutan
ke-85 dengan skor 31,95. Penurunan indeks inovasi ini mungkin disebabkan oleh proses
inovasi yang sangat lambat di Indonesia, atau proses inovasi yang jauh lebih
cepat di berbagai negara lain. Namun apapun faktor penyebabnya, data tersebut
mengindikasikan lambatnya atau adanya pelambatan dalam inovasi sektor publik di
Indonesia. Dan gagasan Diklatpim Pola Baru untuk menghasilkan sebanyak mungkin
pemimpin transformasi adalah wujud dari kesungguhan untuk mendorong akselerasi
inovasi secara serentak dari seluruh penjuru tanah air. Dengan kata lain,
urgensi untuk menghasilkan pemimpin yang inovatif semakin tinggi dengan adanya
fakta GII tersebut. Tidaklah mungkin hanya mengharapkan para pelaku bisnis atau
kalangan industri untuk melakukan inovasi, sementara para pejabat pemerintah di
pusat dan daerah tidak memiliki spirit inovasi. Keberadaan para pemimpin negri
yang mampu mendongkrak inovasi justru semakin dibutuhkan dalam situasi seperti
saat ini, dan hal itu sudah dimulai dengan melakukan reformasi sistem diklat
aparatur.
Dari uraian diatas dapat ditarik satu
simpulan bahwa Diklatpim Pola Baru adalah sebuah leverage strategis untuk mempercepat inovasi di sektor publik, dan
pada saat bersamaan Diklatpim Pola Baru adalah juga sebuah inovasi di sektor
publik di Indonesia yang harus terus diinovasi agar fungsinya sebagai
pengungkit inovasi tidak terperangkap dalam rutinitas penyelenggaraan diklat.
Tanpa inovasi yang terus-menerus, maka Diklatpim Pola Baru sangat boleh jadi
tidak akan berumur panjang dan akan kembali menjadi business as usual yang hanya dikejar untuk memenuhi syarat jabatan
belaka.
Jakarta, 4 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar