Cukup menarik mengamati geliat
kota-kota di musim lebaran 2014 yang baru lewat. Sepanjang perjalanan Jakarta –
Bandung – Cilacap PP minggu lalu, saya mencoba “sambil menyelam minum air”, dalam
arti tidak sekedar mudik lebaran, namun juga mengobservasi hal-hal unik di
kota-kota yang saya lalui atau singgahi. Namun harus saya akui bahwa apa yang ingin
saya tulis kali ini hanyalah hasil pengamatan permukaan saja, yang sangat
mungkin menjadi kurang valid karena tidak terdukung oleh data statistik yang
akurat.
Kota pertama yang ingin saya
analisis adalah Bandung. Saya menyimak bahwa karakter kota ini sudah sangat
mirip Jakarta, dimana pada masa lebaran kota menjadi lengang di banding
hari-hari sebelum dan sesudah lebaran. Meski tidak selengang Jakarta, namun
saya cukup surprise dengan situasi
dalam kota Bandung. Saya berpikir bahwa gejala ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar penduduk Bandung adalah pendatang dari luar kota, dan sekaligus
menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi di Bandung sudah jauh meningkat dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Bandung bukan lagi daerah penyangga (hinterland) Ibukota Negara, namun
menjadi daerah inti yang membutuhkan wilayah penyangga di sekitarnya.
Fenonena seperti ini paling tidak
berimplikasi dua hal. Pertama, beban
kota Jakarta akan semakin berat karena kapasitas menyangga (carrying capacity) Bandung semakin
lemah, sehingga Jakarta harus menemukan wilayah penyangga baru, misalnya
Cianjur, Subang, bahkan wilayah sekitar Cirebob, Kuningan dan Majalengka. Konsekuensinya,
harus ada akses jalan tol langsung yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota
satelit baru tersebut, sehingga transportasi orang dan barang bisa lebih
lancar. Implikasi kedua, karena
evolusi Bandung sangat serupa Jakarta, ada kemungkinan masalah-masalah sosial
perkotaan yang saat ini terjadi di Jakarta juga akan terjadi di Bandung. Kemacetan
yang teramat parah yang disikapi dengan rencana pembangunan MRT (mass rapid transportation), atau banjir
yang semakin menggila yang direspon dengan wacana membangun deep tunnel, bukan tidak mungkin akan
terulang di Bandung. Oleh karena itu, semestinya sejak sekarang Pemkot Bandung
sudah harus mengambil langkah strategis untuk mengerem laju urbanisasi,
sekaligus mempersiapkan infrastruktur transportasi massal dan sistem sanitasi
perkotaan, termasuk peta infrastruktur bawah tanahnya. Tanpa ada persiapan
seperti ini, “kegagalan” Jakarta sebagai sebuah kota modern akan terulang di Bandung
yang hanya akan berkembang menjadi “kampung besar”.
Selanjutnya saya ingin “mengkritik”
Cilacap, kota yang telah menjadi tempat tinggal keluarga kami sejak 34 tahun
yang lalu. Pada tahun 1980 saat kami pindah dari Karanganyar, salah satu
kabupaten kecil di Surakarta, kami telah menyebut Cilacap sebagai “kota besar”.
Namun setelah 34 berlalu, kami malah menyebutnya sebagai “koota kecil”, yang
mungkin sudah jauh tertinggal di banding Karanganyar. Memang nampak adanya
peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan, serta terjadi kepadatan di pusat
kota. Namun, itu hanya terjadi di sekitar Pasar Gede, Jalan A. Yani (bagian
utara saja), dan alun-alun. Itu saja, sementara bagian kota yang lain tetap
lengang seperti 34 tahun yang lalu. Bahkan stasiun kereta dan terminal bis
tidak terlihat ada kemajuan yang signifikan seperti perluasan area, lonjakan
armada atau frekuensi bongkar muat penumpang, dan sejenisnya. Tidak ada pusat
perbelanjaan baru. Tidak ada pusat hiburan baru. Tidak ada pula taman-taman
bermain baru. Apa yang saya lihat hari ini adalah juga apa yang sama temukan 34
tahun lalu, toko sepatu Italy, toko roti Gayawati, toserba Rita, toko kelomtong
Mataram, dan para pemain lama lainnya.
Saya lantas berpikir bahwa ada
sesuatu yang salah dengan kebijakan di kota selatan Jawa ini. Paling tidak,
Cilacap gagal menciptakan pusat keramaian, pusat perdagangan, atau pusat
pertumbuhan baru. Dalam benak saya, mestinya bukan hal sulit bagi Pemda
setempat untuk mengarahkan perkembangan kota kearah utara, yakni di Kecamatan
Cilacap Tengah atau Cilacap Utara, bahkan lebih jauh ke arah Menganti juga
bukan hal yang sulit. Yang dibutuhkan hanyalah perencanaan tata kota yang lebih
baik dan berorientasi masa depan, dengan mempertimbangkan fungsi pemukiman,
perdagangan, dan ruang terbuka hijau secara seimbang. Dengan kondisi seperti
saat ini, nampak sekali bahwa Kota Cilacap identik dengan Jalan A. Yani, yang
itu berarti tidak ada pemerataan pembangunan. Saat inipun, jalan ini sudah
sangat crowded karena raturan orang
(jika bukan ribuan) dari segala penjuru kabupaten hanya memiliki satu
alternatif daerah tujuan, yakni Jalan A. Yani.
Saya juga melihat bahwa semangat
wirausaha dari penduduk Cilacap sangat rendah. Entahlah berapa ratio pengusaha
dibanding total jumlah penduduk Cilacap. Namun dengan melihat pemain-pemain bisnis
lama yang bertahan turun temurun di sepanjang Jalan A. Yani itu, saya menduga
bahwa penduduk Cilacap lebih dominan sebagai konsumen yang konsumtif dibanding
para pelaku bisnis yang produktif. Dan nampaknya, pelaku bisnis dari luar
daerah agak enggak membuka usaha dan investasi di Cilacap karena prospeknya
yang kurang menarik. Dari yang saya amati, penambahan bisnis yang ada hanya terjadi
pada skala kecil dan mikro seperti Alfamart, Indomaret, dan KFC, namun tidak
ada dealer mobil baru, pabrik industri besar yang menyerap tenaga kerja besar,
atau sejenisnya. Saya justru mendengar bahwa salah satu perusahaan iconic Cilacap yakni Pasir Besi sudah
hengkang keluar kota, entah benar atau tidak.
Rendahnya jiwa kewirausahaan dari
masyarakat inipun juga boleh dikatakan sebagai kegagalan kebijakan pemerintah
setempat. Mungkin sudah ada upaya yang dilakukan, namun dari dampak yang belum
terasa menunjukkan bahwa upaya tersebut sangatlah kurang memadai. Untuk itu,
revitalisasi kebijakan untuk mendorong tumbuhnya gairah sektor riil dan
pertumbuhan UMKM harus terus dikebut. Beberapa langkah promotif yang bisa
disarankan misalnya peningkatan kredit usaha yang lebih besar, pemberian
insentif fiskal atau non-fiskal bagi pengajuan ijin-ijin usaha baru, penyederhanaan
birokrasi perijinan, penyediaan lahan untuk pengembangan kawasan khusus
perdagangan, pelatihan wirausaha bagi penduduk lokal, penguatan kemitraan
antara usaha besar dan kecil/menengah dalam bentuk “bapak asuh”, pengembangan
jejaring dengan pasar global maupun domestik, dan sebagainya. Intinya, pemda setempat
harus melakukan analisis tentang pilihan kebijakan terbaik untuk mendorong
semakin bergairahnya iklim usaha di daerah.
Kota berikutnya yang ingin saya
ceritakan disini adalah Banjar, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat.
Saya sungguh terkejut ketika menyaksikan sebuah mobil yang dilengkapi dengan
pengeras suara, berjalan perlahan sambil menyebarkan pamflet ke jalanan. Saat saya
dengarkan, ternyata itu adalah iklan akan diadakan hiburan rakyat terkait
perayaan lebaran. Saya langsung teringat di masa kecil saya, ada mobil
bergambar poster film dan dengan suara lantang membuat pengumuman sepanjang
jalan yang dilewati sembari menyebarkan pamflet. Datangnya mobil itu menjadi
sesuatu yang ditunggu banyak anak-anak untuk berlomba meraih pamflet yang bertebaran
di jalan. Kalaupun tidak bisa melihat bioskop, minimal sudah punya pamflet berisi
gambar aktor atau artis yang bermain di film itu. Itu sudah merupakan kepuasan
tersendiri.
Namun yang terjadi di Banjar,
tidak ada satupun orang yang mengambil pamflet di jalan raya. Manalah mungkin
orang akan mengambilnya dalam situasi lalu lintas yang cukup padat. Lagi pula,
nampaknya sudah bukan masanya lagi orang-orang masih tertarik mengambil pamflet
seperti itu. Yang terjadi justru berserakannya kertas-kertas di jalan yang
membuat wajah kota Banjar menjadi semakin kotor. Saya tidak tahu apakah
aktivitas menyebar pamflet itu mendapat ijin dari Pemda setempat. Menurut saya,
hal itu harus dilarang karena hanya menimbulkan masalah dengan kerbersihan dan
keindahan kota. Saya juga tidak habis pikir, mengapa di jaman teknologi
informasi seperti saat ini, metode tradisional masih saja dipertahankan?
Bukankah lebih efektif misalnya dengan membuat pengumuman lewat radio atau TV
lokal, memasang informasi dalam website Pemda atau panitia, memasang baliho di
pusat-pusat keramaian, atau mengoptimalkan sosial media seperti Facebook dan
Twitter?
Selain ketiga toko diatas, saya
juga ingin menyinggung kota-kota kecil yang saya lalui seperti Rancaekek dan
Nagreg (Kabupaten Bandung), Limbangan dan Malangbong (Garut), Gentong dan Ciawi
(Tasikmalaya), Majenang, Wanareja dan Karangpucung (Cilacap), atau Lumbir dan
Wangon (Banyumas). Kota-kota itu menurut saya adalah wilayah yang sedikit
banyak terkena eksternalitas atau dampak dari arus mudik dan arus balik. Dampak
itu bisa bersifat positif seperti larisnya hotel dan restoran, naiknya pendapatan
bagi masyarakat, atau maraknya ekonomi kreatif. Namun dampak tadi juga bisa
bersifat negatif seperti menumpuknya sampah di titik-titik tertentu,
kemungkinan rusaknya infrastruktur jalan akibat beban yang berlebih, atau
meningkatnya polusi udara akibat emisi kendaraan. Untuk itu, mungkin sekali
perlu dipikirkan hubungan solidaritas antara daerah terdampak (downstream areas) dengan daerah pengirim
dampak (upstream areas) seperti Jakarta,
Bandung, Bekasi, Tangerang, dan sekitarnya. Upstream-downstream
solidarity itu misalnya bisa dalam bentuk cost sharing terhadap pemeliharaan fasilitas jalan, pembentukan
komisi bersama untuk pengurangan emisi karbon, dan berbagai bentuk yang bisa
dipikirkan dan disepakati bersama antar daerah.
Itulah beberapa catatan ringan
yang saya hasilkan dari perjalanan mudik kemaren. Meski tidak terlalu akademis,
semoga saja bisa menjadi bahan renungan bagi pihak-pihak terkait untuk
merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada daerahnya masing-masing.
Serpong, 5 Agustus 2014
*bersiap meluncur ke kantor*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar