Senin, 04 Agustus 2014

Kisah Kota-Kota di Musim Lebaran



Cukup menarik mengamati geliat kota-kota di musim lebaran 2014 yang baru lewat. Sepanjang perjalanan Jakarta – Bandung – Cilacap PP minggu lalu, saya mencoba “sambil menyelam minum air”, dalam arti tidak sekedar mudik lebaran, namun juga mengobservasi hal-hal unik di kota-kota yang saya lalui atau singgahi. Namun harus saya akui bahwa apa yang ingin saya tulis kali ini hanyalah hasil pengamatan permukaan saja, yang sangat mungkin menjadi kurang valid karena tidak terdukung oleh data statistik yang akurat.

Kota pertama yang ingin saya analisis adalah Bandung. Saya menyimak bahwa karakter kota ini sudah sangat mirip Jakarta, dimana pada masa lebaran kota menjadi lengang di banding hari-hari sebelum dan sesudah lebaran. Meski tidak selengang Jakarta, namun saya cukup surprise dengan situasi dalam kota Bandung. Saya berpikir bahwa gejala ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Bandung adalah pendatang dari luar kota, dan sekaligus menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi di Bandung sudah jauh meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bandung bukan lagi daerah penyangga (hinterland) Ibukota Negara, namun menjadi daerah inti yang membutuhkan wilayah penyangga di sekitarnya.

Fenonena seperti ini paling tidak berimplikasi dua hal. Pertama, beban kota Jakarta akan semakin berat karena kapasitas menyangga (carrying capacity) Bandung semakin lemah, sehingga Jakarta harus menemukan wilayah penyangga baru, misalnya Cianjur, Subang, bahkan wilayah sekitar Cirebob, Kuningan dan Majalengka. Konsekuensinya, harus ada akses jalan tol langsung yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota satelit baru tersebut, sehingga transportasi orang dan barang bisa lebih lancar. Implikasi kedua, karena evolusi Bandung sangat serupa Jakarta, ada kemungkinan masalah-masalah sosial perkotaan yang saat ini terjadi di Jakarta juga akan terjadi di Bandung. Kemacetan yang teramat parah yang disikapi dengan rencana pembangunan MRT (mass rapid transportation), atau banjir yang semakin menggila yang direspon dengan wacana membangun deep tunnel, bukan tidak mungkin akan terulang di Bandung. Oleh karena itu, semestinya sejak sekarang Pemkot Bandung sudah harus mengambil langkah strategis untuk mengerem laju urbanisasi, sekaligus mempersiapkan infrastruktur transportasi massal dan sistem sanitasi perkotaan, termasuk peta infrastruktur bawah tanahnya. Tanpa ada persiapan seperti ini, “kegagalan” Jakarta sebagai sebuah kota modern akan terulang di Bandung yang hanya akan berkembang menjadi “kampung besar”.

Selanjutnya saya ingin “mengkritik” Cilacap, kota yang telah menjadi tempat tinggal keluarga kami sejak 34 tahun yang lalu. Pada tahun 1980 saat kami pindah dari Karanganyar, salah satu kabupaten kecil di Surakarta, kami telah menyebut Cilacap sebagai “kota besar”. Namun setelah 34 berlalu, kami malah menyebutnya sebagai “koota kecil”, yang mungkin sudah jauh tertinggal di banding Karanganyar. Memang nampak adanya peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan, serta terjadi kepadatan di pusat kota. Namun, itu hanya terjadi di sekitar Pasar Gede, Jalan A. Yani (bagian utara saja), dan alun-alun. Itu saja, sementara bagian kota yang lain tetap lengang seperti 34 tahun yang lalu. Bahkan stasiun kereta dan terminal bis tidak terlihat ada kemajuan yang signifikan seperti perluasan area, lonjakan armada atau frekuensi bongkar muat penumpang, dan sejenisnya. Tidak ada pusat perbelanjaan baru. Tidak ada pusat hiburan baru. Tidak ada pula taman-taman bermain baru. Apa yang saya lihat hari ini adalah juga apa yang sama temukan 34 tahun lalu, toko sepatu Italy, toko roti Gayawati, toserba Rita, toko kelomtong Mataram, dan para pemain lama lainnya.

Saya lantas berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan kebijakan di kota selatan Jawa ini. Paling tidak, Cilacap gagal menciptakan pusat keramaian, pusat perdagangan, atau pusat pertumbuhan baru. Dalam benak saya, mestinya bukan hal sulit bagi Pemda setempat untuk mengarahkan perkembangan kota kearah utara, yakni di Kecamatan Cilacap Tengah atau Cilacap Utara, bahkan lebih jauh ke arah Menganti juga bukan hal yang sulit. Yang dibutuhkan hanyalah perencanaan tata kota yang lebih baik dan berorientasi masa depan, dengan mempertimbangkan fungsi pemukiman, perdagangan, dan ruang terbuka hijau secara seimbang. Dengan kondisi seperti saat ini, nampak sekali bahwa Kota Cilacap identik dengan Jalan A. Yani, yang itu berarti tidak ada pemerataan pembangunan. Saat inipun, jalan ini sudah sangat crowded karena raturan orang (jika bukan ribuan) dari segala penjuru kabupaten hanya memiliki satu alternatif daerah tujuan, yakni Jalan A. Yani.

Saya juga melihat bahwa semangat wirausaha dari penduduk Cilacap sangat rendah. Entahlah berapa ratio pengusaha dibanding total jumlah penduduk Cilacap. Namun dengan melihat pemain-pemain bisnis lama yang bertahan turun temurun di sepanjang Jalan A. Yani itu, saya menduga bahwa penduduk Cilacap lebih dominan sebagai konsumen yang konsumtif dibanding para pelaku bisnis yang produktif. Dan nampaknya, pelaku bisnis dari luar daerah agak enggak membuka usaha dan investasi di Cilacap karena prospeknya yang kurang menarik. Dari yang saya amati, penambahan bisnis yang ada hanya terjadi pada skala kecil dan mikro seperti Alfamart, Indomaret, dan KFC, namun tidak ada dealer mobil baru, pabrik industri besar yang menyerap tenaga kerja besar, atau sejenisnya. Saya justru mendengar bahwa salah satu perusahaan iconic Cilacap yakni Pasir Besi sudah hengkang keluar kota, entah benar atau tidak.

Rendahnya jiwa kewirausahaan dari masyarakat inipun juga boleh dikatakan sebagai kegagalan kebijakan pemerintah setempat. Mungkin sudah ada upaya yang dilakukan, namun dari dampak yang belum terasa menunjukkan bahwa upaya tersebut sangatlah kurang memadai. Untuk itu, revitalisasi kebijakan untuk mendorong tumbuhnya gairah sektor riil dan pertumbuhan UMKM harus terus dikebut. Beberapa langkah promotif yang bisa disarankan misalnya peningkatan kredit usaha yang lebih besar, pemberian insentif fiskal atau non-fiskal bagi pengajuan ijin-ijin usaha baru, penyederhanaan birokrasi perijinan, penyediaan lahan untuk pengembangan kawasan khusus perdagangan, pelatihan wirausaha bagi penduduk lokal, penguatan kemitraan antara usaha besar dan kecil/menengah dalam bentuk “bapak asuh”, pengembangan jejaring dengan pasar global maupun domestik, dan sebagainya. Intinya, pemda setempat harus melakukan analisis tentang pilihan kebijakan terbaik untuk mendorong semakin bergairahnya iklim usaha di daerah.

Kota berikutnya yang ingin saya ceritakan disini adalah Banjar, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat. Saya sungguh terkejut ketika menyaksikan sebuah mobil yang dilengkapi dengan pengeras suara, berjalan perlahan sambil menyebarkan pamflet ke jalanan. Saat saya dengarkan, ternyata itu adalah iklan akan diadakan hiburan rakyat terkait perayaan lebaran. Saya langsung teringat di masa kecil saya, ada mobil bergambar poster film dan dengan suara lantang membuat pengumuman sepanjang jalan yang dilewati sembari menyebarkan pamflet. Datangnya mobil itu menjadi sesuatu yang ditunggu banyak anak-anak untuk berlomba meraih pamflet yang bertebaran di jalan. Kalaupun tidak bisa melihat bioskop, minimal sudah punya pamflet berisi gambar aktor atau artis yang bermain di film itu. Itu sudah merupakan kepuasan tersendiri.

Namun yang terjadi di Banjar, tidak ada satupun orang yang mengambil pamflet di jalan raya. Manalah mungkin orang akan mengambilnya dalam situasi lalu lintas yang cukup padat. Lagi pula, nampaknya sudah bukan masanya lagi orang-orang masih tertarik mengambil pamflet seperti itu. Yang terjadi justru berserakannya kertas-kertas di jalan yang membuat wajah kota Banjar menjadi semakin kotor. Saya tidak tahu apakah aktivitas menyebar pamflet itu mendapat ijin dari Pemda setempat. Menurut saya, hal itu harus dilarang karena hanya menimbulkan masalah dengan kerbersihan dan keindahan kota. Saya juga tidak habis pikir, mengapa di jaman teknologi informasi seperti saat ini, metode tradisional masih saja dipertahankan? Bukankah lebih efektif misalnya dengan membuat pengumuman lewat radio atau TV lokal, memasang informasi dalam website Pemda atau panitia, memasang baliho di pusat-pusat keramaian, atau mengoptimalkan sosial media seperti Facebook dan Twitter?

Selain ketiga toko diatas, saya juga ingin menyinggung kota-kota kecil yang saya lalui seperti Rancaekek dan Nagreg (Kabupaten Bandung), Limbangan dan Malangbong (Garut), Gentong dan Ciawi (Tasikmalaya), Majenang, Wanareja dan Karangpucung (Cilacap), atau Lumbir dan Wangon (Banyumas). Kota-kota itu menurut saya adalah wilayah yang sedikit banyak terkena eksternalitas atau dampak dari arus mudik dan arus balik. Dampak itu bisa bersifat positif seperti larisnya hotel dan restoran, naiknya pendapatan bagi masyarakat, atau maraknya ekonomi kreatif. Namun dampak tadi juga bisa bersifat negatif seperti menumpuknya sampah di titik-titik tertentu, kemungkinan rusaknya infrastruktur jalan akibat beban yang berlebih, atau meningkatnya polusi udara akibat emisi kendaraan. Untuk itu, mungkin sekali perlu dipikirkan hubungan solidaritas antara daerah terdampak (downstream areas) dengan daerah pengirim dampak (upstream areas) seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Tangerang, dan sekitarnya. Upstream-downstream solidarity itu misalnya bisa dalam bentuk cost sharing terhadap pemeliharaan fasilitas jalan, pembentukan komisi bersama untuk pengurangan emisi karbon, dan berbagai bentuk yang bisa dipikirkan dan disepakati bersama antar daerah.

Itulah beberapa catatan ringan yang saya hasilkan dari perjalanan mudik kemaren. Meski tidak terlalu akademis, semoga saja bisa menjadi bahan renungan bagi pihak-pihak terkait untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada daerahnya masing-masing.

Serpong, 5 Agustus 2014
*bersiap meluncur ke kantor*

Tidak ada komentar: