Minggu, 12 Mei 2013

5 Menit yang Menentukan Keberhasilan


Tulisan ini mungkin sedikit provokatif. Sebab, keberhasilan seseorang seringkali diraih dengan kerja keras selama puluhan tahun tanpa rehat. Bagaimana mungkin waktu yang hanya 5 menit memberi kontribusi signifikan bagi keberhasilan seseorang? Nah, disinilah menariknya menafsirkan makna “5 menit” ini. Bagi saya, 5 menit sesungguhnya identik dengan total waktu hidup seseorang. Bagaimana logikanya? Saya akan mencoba menguraikan dalam konteks kediklatan, karena inspirasi tulisan inipun saya peroleh selama mengikuti Diklatpim I. 
 
Harus diakui bahwa penugasan kepada peserta sudah sangat banyak dan memberatkan. Dalam satu kajian saja misalnya, kelompok harus melakukan dua kali diskusi untuk menghasilkan dua paparan. Kelompok yang sama juga harus membaca buku wajib, meringkasnya, kemudian mempresenatsikan. Tidak cukup sampai disini, peserta juga masih harus membuat analisis kasus – yang lagi-lagi – harus dipaparkan. Diakhir kajian, peserta masih harus melakukan aktivitas yang disebut pembulatan, yang tentu saja juga wajib disajikan di depan kelas. Ini belum termasuk tugas-tugas lain seperti membuat jurnal harian, visitasi, simulasi dan laporannya, bahkan juga menulis KKA dan KTP-2. 

Meskipun frekuensi, jumlah, dan beban dari tugas-tugas tersebut nampak sedikit tidak logis, tetap saja ada waktu-waktu yang saya lihat kurang produktif. Pada jam makan malam, misalnya, banyak peserta yang melanjutkan dengan ngobrol-ngobrol dan ber-karaoke. Ada juga yang memilih jalan-jalan ke luar kampus untuk mencari makan atau minum di tempat-tempat favorit mereka. Atau saat ada materi yang kosong karena pembicara berhalangan. Atau saat kami harus menunggu cukup lama di bandara menunggu pesawat yang delay yang akan mengantarkan kami ke lokasi Observasi Lapangan atau mengantar kami pulang kembali ke Jakarta. Bahkan, saya melihat banyak waktu-waktu emas yang dibiarkan oleh peserta sebagai waktu yang terbuang sia-sia atau mubadzir, yakni waktu menjelang subuh dimana kita sudah harus bangun namun kita malah menikmati kehangatan selimut. 

Katakanlah dalam satu hari kita ambil 5 menit dari waktu ngobrol kita, ditambah 5 menit dari waktu tidur kita, dan 5 menit dari ketidakjelasan agenda kita, maka dalam 1 hari kita memiliki 15 menit extra dari biasanya. Jika sebulan terdiri dari 30 hari, maka waktu ekstra yang kita miliki adalah 15 menit x 30 = 450 menit = 7,5 jam. Jika rata-rata menulis jurnal harian seperti ini adalah 1 jam, maka dalam satu bulan bisa dihasilkan 7 hingga 8 jurnal. Dalam satu tahun, maka kita dapat membuat 96 jurnal. Inilah perbedaan yang dibuat oleh waktu yang hanya “5 menit”. Bayangkan seandainya kita bisa invest lebih banyak waktu, berapa banyak karya-karya baru yang bisa kita buat dibanding jika kita hambur-hamburkan waktu tersebut. 

Disisi lain, jangan lihat “5 menit” sebagai akumulasi dari 300 detik. Lihatlah juga “nilai mutu” yang sering muncul dalam waktu yang sedemikian singkat itu. Ide-ide besar seringkali tidak muncul dari sebuah diskusi panjang dan analisis yang melelahkan, namun justru terlahir dari renungan sekejap mata atau exercise pikiran secara tidak disengaja. Inilah yang disebut ilham, yang bisa datang tanpa dicari dan susah ditemukan meski terus digali. Namun, probabilitas datangnya ilham jauh lebih besar pada kumparan otak yang terus berputar, dibanding otak yang diistirahatkan dalam tenang. Maka, siapkan otak kita untuk menerima ilham, wahyu, wangsit, pulung, atau inspirasi, dengan “mencuri-curi” 5 menit dari setiap aktivitas kita yang tidak produktif.

Tentu saja, jangan seluruh waktu ngobrol kita curi untuk berpikir, jangan pula kita curi seluruh waktu tidur kita untuk kontemplasi dan menuliskan hasil kontemplasi. Silakan anda akan ngobrol apapun bahkan omong-omong kosong, silakan pula anda hang-out untuk menikmati dunia luar sambil makan minum bersama teman, bahkan silakan anda untuk istirahat dan tidur senyenyak mungkin. Namun ketika berbagai aktivitas tadi sudah menghambat anda untuk menjadi lebih produktif, segeralah berhenti, dan curilah 5 menit diantaranya untuk berolah-pikir, berolah-rasa, dan berolah-karsa agar anda selalu membuat perbedaan dan kemajuan dalam hidup anda. 

Ingatlah bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki “mata uang” yang selalu dibelanjakan setiap harinya. Ada yang mendapatkan sesuatu yang bernilai tinggi melampaui nilai “mata uang” yang dimiliki, namun banyak diantara manusia yang justru hanya membuang-buang “mata uang”nya tanpa mendapatkan apapun yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. “Mata uang” itu adalah usia. Setiap hari kita membuang usia hanya untuk ngobrol, jalan-jalan, atau tidur dan tidak mendapat apapun. Bukankah lebih baik manakala usia kita sama-sama berkurang, namun kita dapat menghasilkan sesuatu yang mengandung nilai lebih tinggi baik secara agamis, ekonomis, akademis, maupun humanis?  

Inilah barangkali tafsir mbeling terhadap Surat Al-Ashr … Sungguh merugilah orang-orang yang membuang waktu dalam hidupnya secara sia-sia, yang bicara sia-sia, melakukan sesuatu yang sia-sia, dan akhirnya membuat hidup mereka sia-sia. Naudzubillahi min dzalik. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 14 Mei 2013

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhanallah luar biasa..... sepakat bahwa untuk menghasilkan karya, hasil olah cipta, olah rasa dan olah karsa, dibutuhkan kejelian, termasuk kejelian dalam hal memanfaatkan waktu... Saya banyak belajar dari Bapak (salam kenal_Tarman Budianto)

sopaikepaci mengatakan...

saya jadi inget buku nya Suwito, HS, sholat khusuk di tempat kerja, membahas esensi penting penggunaan waktu dalam hidup..

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

@Pak Tarman: terima kasih banyak atas apresiasinya pak, ini adalah proses pembelajaran diri saya pribadi.
@Pak @Spaikepaci: wah, saying saya malah belum punya buku beliau. Apa ya judulnya pak? Terima kasih atas kunjungan dan infonya ...