Wikipedia
menerjemahkan trade off sebagai a situation that involves losing one quality
or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. Intinya,
kita tidak mungkin memperoleh segala yang kita inginkan dengan kadar kualitas
dan kuantitas yang sama. Kita harus memutuskan mana diantara berbagai kondisi
atau pilihan yang ada, yang memberikan manfaat terbaik untuk diri kita.
Pemikiran seperti inilah yang barangkali menjadi dasar munculnya ungkapan
“hidup adalah pilihan”. Keterbatasan tenaga, waktu, dan kemampuan kita, menjadi
alasan mengapa kita tidak mungkin meraih segala mimpi, ambisi, dan visi kita.
Orang Sunda ulah ngarawu ku siku,
yang makna harfiahnya adalah jangan mengambil segala sesuatu dengan siku karena
akan berceceran diantara kedua tangan kita. Lebih baik mengambil dengan tangan
kita, meski dapatnya sedikit namun tidak akan jatuh atau hilang.
Dalam
dunia diklat, trade off ini juga sering
muncul dengan tiba-tiba, terutama ketika ada situasi tidak terduga atau pada
situasi beban tugas yang memuncak (overload).
Seperti yang saya alami, pada awal penyelenggaraan saya sangat optimis untuk
menyelesaikan tugas diatas target yang ditetapkan penyelenggara. Jika produk
pembelajaran individual yang resmi hanya KTP-2, saya sudah merancang sebuah
buku hasil kompilasi jurnal harian. Jika jurnal cukup ditulis tangan sepanjang
setengah halaman, saya selalu menulis minimal 1,5 halaman ketik rapat (1 spasi).
Jika KTP-2 cukup ditulis dengan standar minimal, saya mencanangkan dalam hati
agar KTP-2 saya tidak sekedar mencerminkan sebuah laporan, namun harus menjadi
karya tulis ilmiah yang berbobot dan berstandar jurnal terakreditasi, meski
tetap memperhatikan kaidah penulisan dari penyelenggara. Meski waktu yang
tersedia kadang tidak seimbang dengan beban yang ada, namun saya telah berniat
untuk memanfaatkan weekend sebagai
waktu tambahan dalam menyelesaikan berbagai tugas.
Namun,
idealisme itu lama kelamaan agak tergerus. Apalagi ketika tiga anak saya sakit,
maka Jum’at malam hingga Minggu malam sepenuhnya saya abdikan untuk menemani
dan melayani keluarga. Resikonya, saya tidak memiliki waktu tambahan untuk
penyelesaian target, yang akhirnya mempengaruhi kinerja saya. Dalam situasi
seperti inilah, saya harus memilih, dan saya harus rela membayar pilihan saya
dengan menurunkan kualitas dan kuantitas dari satu atau lebih produk
pembelajaran saya.
Situasi
trade off juga saya alami antara
KTP-2 dan jurnal. Hingga minggu ketujuh saat ini, terus terang saya belum
menyelesaikan penulisan KTP-2. Namun jika saya mencurahkan energi untuk menulis
KTP-2, saya agak menyayangkan jika saya kehilangan kesempatan menulis jurnal,
yang sejujurnya bagi saya jauh lebih prestisius dibanding KTP-2. Situasi yang
sama juga “menjebak” saya ketika saya selalu dijadikan sekretaris kelompok dan
diberi tugas membuat paparan kelompok dan mencatatan hasil diskusi. Artinya,
begitu diskusi kelompok selesai, faktanya saya masih harus membuat slide
powerpoint untuk kelompok. Terlebih lagi, saya juga koordinator seksi akademik
kelas, sehingga produk-produk kelas juga harus saya tangani, seperti merancang framework KKA agar menjadi panduan ketiga kelompok, membuat laporan simulasi,
mengumpulkan bahan-bahan belajar untuk didistribusikan kepada seluruh peserta, dan
seterusnya. Tugas selaku seksi akademik dan tiga kali selaku sekretaris pada
tiga kelompok yang berbeda mau tidak mau menyita waktu saya paling banyak.
Dalam
situasi lain, saya sering sekali berkeinginan untuk menjalani hidup secara
seimbang, misalnya dengan olahraga pagi secara teratur. Saya sering iri melihat
teman-teman melakukan jalan pagi atau senam sambil bersenda-gurau. Namun bagi
saya, dibanding target akademik, olahraga tidak masuk dalam prioritas saya. Ini
sama artinya bahwa tidak turut olahraga adalah trade off atau “harga” yang harus saya bayar untuk bisa menghasilkan
karya akademik. Jika “hidup yang seimbang” kita jadikan sebagai prioritas utama,
maka sebaiknya kita bisa membatasi diri dari tumpukan tugas yang menumpuk.
Nah,
dalam konteks kediklatan, ada baiknya penyelenggara memiliki instrumen pengukuran
dan pemantauan beban kerja masing-masing peserta. Hasil pengukuran dan
pemantauan beban kerja ini selanjutnya akan menjadi dasar untuk melakukan treatment kepada peserta, apakah perlu
diberi penugasan tambahan bagi yang beban kerjanya rendah, atau sebaliknya akan
diberi dispensasi tertentu dalam hal memiliki beban kerja diatas rata-rata. Dari
beban kerja ini pula perlu dipikirkan cara meredistribusi beban kerja agar
kinerja kolektif (kelompok atau kelas) menjadi lebih menonjol dibanding kinerja
individual peserta.
Terlepas
dari situasi trade off yang saya
ungkapkan diatas, saya mencoba tetap positive
feeling bahwa saya masih bisa menyelesaikan seluruh target idealisme saya. Dasar
keyakinan saya adalah bahwa manusia dianugerahi oleh YMK sebuah potensi istimewa
untuk bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin, untuk memikirkan hal-hal yang
mustahil dan tidak terpikirkan (think the
unthinkable). Jumlah jam dalah sehari tidak pernah melampauai 24 jam, namun
hasil kerja manusia selalu bisa ditingkatkan. Maknanya, saya harus lebih
meningkatkan kualitas kerja, kualitas diri, dan kualitas cara/metode dalam
bekerja. Dengan demikian, saya berharap dapat sebesar mungkin menekan
kemungkinan terjadinya trade off
diatas, meski tidak dapat dihindari sama sekali.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 29 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar