Jumat, 02 Juli 2010

Desentralisasi Kewenangan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Kajian Tentang Implementasi UU No. 22/1999 dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Struktur Pembiayaan Pemerintahan Daerah)


Abstract:
Secara normatif, pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun dalam prakteknya, asumsi tadi diragukan dapat berjalan sesuai harapan. Keraguan ini terutama disebabkan oleh disorientasi pemerintah Daerah dalam mengalokasikan anggaran. Desentralisasi fiskal yang tercermin pada UU Nomor 34 Tahun 2000, serta PP Nomor, 16, 104, 105, 106, dan 107 Tahun 2000, ternyata lebih diarahkan untuk membiayai kebutuhan rutin dari pada pembangunan. Implikasinya, kepentingan masyarakat menjadi “terabaikan”, dan ini berarti menyimpang dari filosofi dasarnya. Tulisan ini memberi gambaran tentang cita-cita yang ingin dicapai, instrumen yang disediakan untuk mencapai cita-cita (yaitu melalui desentralisasi fiskal), serta fakta empirik yang menghambat pencapaian cita-cita.


Pengantar


Implementasi UU Nomor 22 tahun 1999 secara umum disikapi oleh jajaran pemerintah Daerah dalam dua bentuk. Pertama, sikap optimis bahwa otonomi secara luas merupakan pilihan terbaik bagi daerah, dan dengan dibarengi oleh desentralisasi fiskal akan meningkatkan kemampuan Daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, sikap pesimis sekaligus keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dan manfaat kebijakan otonomi. Sikap ini didasarkan pada fakta bahwa otonomi luas membawa dampak terhadap peningkatan beban kerja pemerintahan di tingkat Kabupaten / Kota, sementara perimbangan sumber daya (3P) antara Pusat dan Daerah belum terumuskan secara konkrit. Akibatnya, kemampuan Daerah sangat tidak seimbang dengan beban desentralisasi kewenangan yang sangat besar, dan hal ini menjadikan kebijakan otonomi tidak dapat mencapai sasaran yang didambakan.

Hingga dua tahun berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999, fenomena empirik masih menunjukkan belum terdapat titik temu diantara kedua sikap yang kontradiktif tersebut. Dengan kata lain, sampai dengan detik ini belum ada jaminan bahwa Daerah akan mampu menyelenggarakan otonomi luas secara optimal, dan ini berarti pula tidak ada jaminan bahwa kebijakan desentralisasi akan membawa pengaruh terhadap pelayanan dan kesejahteraan yang lebih baik kepada masyarakat. Lebih parah lagi, keraguan terhadap kemampuan diri sendiri telah mendorong pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian besar penerimaannya untuk belanja rutin. Fakta ini semakin memperkuat pesimisme bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat di era otonomi dan reformasi.


Quo Vadis Otonomi Daerah ?


Meskipun keberadaan UU Nomor 22 tahun 1999 dewasa ini mulai menjadi bahan perdebatan sekitar perlu tidaknya direvisi, namun semangat dan nilai-nilai filosofis yang mendasari lahirnya peraturan pengganti UU Nomor 5 tahun 1974 ini layak untuk dipertahankan. Sebab, hakekat yang dikandung oleh UU Nomor 5 tahun 1974 sesungguhnya lebih didominasi oleh politik sentralisasi, yang secara eksplisit menandaskan bahwa “sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan dan untuk memudahkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah, maka UU ini mengusahakan sejauh mungkin adanya keseragaman dalam hal pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah”. Disamping itu, UU ini juga memandang otonomi lebih merupakan kewajiban dari pada hak Daerah.[1]

Indikasi lebih kuatnya nuansa sentralisasi dari pada desentralisasi pada masa lampau ini antara lain dapat diamati dari uraian Marco Kusumawijaya [2] yang menyebutkan bahwa: “Earlier, governments could design the hierarchy of cities, determining which would have harbors, airports and different classes of hospitals”.

Akibat sentralisasi kewenangan yang terlalu kuat ini, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah serta kemandirian masyarakat menjadi terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjokroamidjojo bahwa peranan pemerintah sebagai agen perubahan (agent of change) masih menunjukkan orientasi top down dan sikap patronizing dalam kebijaksanaan maupun perencanaan pembangunan, sehingga untuk beberapa hal menimbulkan ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan. [3]

Mengingat adanya kelemahan yang cukup mendasar itulah, lahirnya UU Nomor 22/1999 dapat dianggap sebagai angin surga bagi masyarakat maupun pemerintah Daerah. Dengan berbasis pada prinsip-prinsip atau paradigma demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, dan pelayanan umum, [4] UU ini diharapkan menjadi faktor input terpenting dari upaya serius pemerintah mewujudkan pelayanan prima dan kesejahteraan masyarakat.

Logikanya, paradigma tersebut akan mendorong fleksibilitas Pemda dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan. Dan oleh karena manajemen pemerintahan tadi lebih banyak dilakukan sendiri dari pada intervensi Pusat, responsibilitas Pemda menjadi lebih kuat, demikian pula akuntabilitasnya. Tentu saja, responsibilitas dan akuntabilitas yang tinggi tidak mungkin terjadi tanpa disertai upaya menumbuhkan inovasi, kreativitas dan etos atau budaya kerja di kalangan aparatur pemerintahan. Oleh karena itu, proses selanjutnya yang dibutuhkan adalah melakukan transformasi manajemen yang terdiri dari aspek-aspek SDM, sistem dan struktur kelembagaan, serta kultur birokrasi. Dengan proses inilah Pemda dapat membangun produktivitas atau kinerja secara optimal yang dapat terukur dari indikator kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam hubungan itu, Laode Ida [5] juga mengakui bahwa secara teoretis, otonomi daerah mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, konsep otonomi daerah pada dasarnya dalam rangka mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat / rakyat sebagai upaya memotong rantai birokrasi. Segala kebijakan dan implementasinya yang semula berada ditangan pemerintah Pusat, diambil alih oleh pemerintah Daerah sehingga keputusan dan atau tindakan dari pemerintah lokal bisa sesegera mungkin dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kedua, otonomi daerah sekaligus mewujudkan desentralisasi pengelolaan keuangan, sehingga pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat lokal.

Permasalahannya adalah, benarkah asumsi tadi ? Adakah kemauan baik (good will) dari jajaran pemerintah daerah untuk benar-benar mengabdikan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk kepentingan seluruh warganya ? Pertanyaan seperti ini sangat penting diajukan mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan pemerintah Daerah hanya membenahi aspek kepemerintahan saja. Hal ini dapat dilihat dari indikasi membengkaknya biaya rutin dalam APBD, sementara biaya pembangunan relatif kurang berkembang secara signifikan. Sebagai contoh, anggaran rutin dalam APBD DKI 2001 mencapai 67 %, sedangkan anggaran pembangunan hanya 33 %. [6] Demikian pula kasus di Propinsi Kalimantan Barat dengan anggaran rutin sebesar Rp 172.058.085.001 (63 %), berbanding anggaran pembangunan sebesar 102.479.286.141 (37 %).[7] Kondisi serupa secara umum berlangsung di sebagian besar Daerah Propinsi maupun Kabupaten / Kota.

Atas dasar argumentasi yang akan diutarakan pada bagian akhir tulisan ini, sebenarnya proporsi yang kurang sebanding antara anggaran rutin dan pembangunan tadi cukup rasional. Namun pokok persoalannya adalah untuk apa dan untuk siapa anggaran daerah tersebut ? Seperti kita ketahui, anggaran rutin biasanya diperuntukkan bagi belanja pegawai, belanja barang dan pemeliharaan barang, serta berbagai kegiatan rutin pemerintahan. Cakupan pembiayaan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan anggaran rutin akan kembali untuk kepentingan aparat pemerintah daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, penampilan anggaran negara / daerah lebih menggambarkan orientasi terhadap kesejahteraan aparat dari pada kesejahteraan masyarakat. 

Dalam konteks seperti inilah pertanyaan berikut menjadi sangat relevan: quo vadis otonomi daerah ?.


Potensi Sumber Penerimaan Daerah Berdasarkan Kebijakan Desentralisasi Fiskal


Seiring dengan meningkatnya kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah (khususnya Kabupaten / Kota) sebagai implikasi pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, kewenangan penggalian dan pengelolaan potensi sumber-sumber penghasilan (misalnya pajak dan retribusi) juga ikut meningkat pula. Dengan kata lain, desentralisasi kewenangan memiliki hubungan tegak lurus dengan desentralisasi fiskal sebagai prasyarat keberhasilan otonomi daerah.

Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, perlu dilakukan revisi terhadap peraturan tentang pajak dan retribusi daerah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 1997, dengan sasaran memberikan kewenangan pengaturan yang lebih luas kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak / retribusi, obyek dan subyek pajak / retribusi serta dasar pengenaannya. Perlunya perubahan kebijakan ini telah lama disadari oleh pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah, sehingga pada tanggal 20 Desember 2000 lahirlah UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997.

Disamping itu, desentralisasi fiskal juga tercermin dari lahirnya paket Peraturan Pemerintah Nomor 104 sampai 107 tahun 2000. Pertimbangan utama yang digunakan dalam menyusun kebijakan yang baru ini adalah bahwa pajak, retribusi, dana perimbangan dan pinjaman Daerah merupakan sumber pendapatan Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Meskipun kewenangan pengelolaan potensi sumber-sumber keuangan telah diberikan kepada Daerah, namun masih banyak pihak-pihak yang menyangsikan kemampuan keuangan Daerah dalam mendukung kebijakan otonomi. Hal ini sangatlah ironis. Sebab, dengan komposisi potensi sumber-sumber penerimaan yang dimiliki Daerah, sesungguhnya tidak perlu terjadi kekhawatiran bahwa suatu daerah akan kekurangan anggaran untuk membiayai aktivitas pemerintahan dan pembangunannya. Permasalahannya justru terletak pada bagaimana mengalokasikan berbagai sumber penerimaan tersebut kedalam sistem anggaran Daerah (APBD), sehingga alokasi dan distribusi anggaran tersebut benar-benar mampu mencerminkan semangat otonomi untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Inilah crucial point yang perlu dicermati secara kritis, sebab sebesar apapun penerimaan Daerah jika tidak dapat dibelanjakan secara tepat untuk kepentingan umum, justru akan menghambat implementasi otonomi daerah secara keseluruhan.

Adapun potensi sumber penerimaan daerah berdasarkan kebijakan desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

1.      Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu komponen dari pendapatan asli daerah (PAD) disamping hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah seperti hibah (pasal 79 UU Nomor 22 tahun 1999 jo. Pasal 3 dan 4 UU Nomor 25 tahun 1999).

Dalam UU Nomor 34 Tahun 2000, baik Propinsi maupun Kabupaten / Kota memiliki jenis pajak yang lebih bervariasi namun dengan tarif maksimal yang sama. Jenis pajak untuk Daerah Propinsi bertambah dari 3 menjadi 4, sedangkan untuk Kabupaten / Kota berkembang dari 6 menjadi 7 jenis pajak (selengkapnya lihat Tabel 1). Ketentuan baru ini mengandung makna bahwa UU Nomor 34 Tahun 2000 lebih menganut strategi ekstensifikasi / diversifikasi dari pada intensifikasi sumber. Dengan strategi ini diharapkan terjadi pemerataan terhadap obyek atau aktivitas ekonomi kemasyarakatan yang potensial dikenakan pajak, dan pada saat yang bersamaan tidak menjadikan beban masyarakat semakin berat.

Dikaitkan dengan upaya meningkatkan PAD sebagai sumber pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah, hal ini dapat ditempuh dengan menerapkan klausul pasal 2 ayat (4), yakni menetapkan jenis pajak lain selain 4 jenis (untuk Propinsi) atau 7 jenis (untuk Kabupaten / Kota) yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam UU. Manfaat yang dapat dicapai dari cara ini adalah menjamin terselenggaranya prinsip satu usaha satu pajak. Dengan kata lain, seorang warga negara dapat terhindar dari kewajiban membayar pajak lebih dari satu jenis, kecuali ia memang memiliki multi usaha yang kena pajak (misalnya memiliki usaha hotel, restoran, sekaligus tempat hiburan).

Diluar pajak, Propinsi dan Kabupaten / Kota masih memiliki sumber penerimaan yang sangat potensial yakni Retribusi Daerah, yang terbagi atas 3 (tiga) golongan yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Dengan Peraturan Daerah, pemerintah Propinsi dan Kabupaten / Kota juga dapat menetapkan jenis retribusi selain tiga gologan yang telah ditentukan secara eksplisit.

2.      Dana Perimbangan (Balance Funds)

Disamping potensi penerimaan yang berasal dari jenis-jenis pajak dan retribusi tersebut, Kabupaten / Kota masih memiliki sumber penerimaan lain yaitu Dana Perimbangan. [8] Menurut pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, Dana Perimbangan terdiri dari : bagian Daerah dari penerimaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), dan penerimaan dari sumber daya alam ; Dana Alokasi Umum (General Allocation Fund) ; serta Dana Alokasi Khusus (Special Discretionary Fund).

Disamping perimbangan keuangan Pusat – Daerah, UU Nomor 34 tahun 2000 secara implisit mengatur juga tentang perimbangan keuangan Propinsi – Kabupaten / Kota. Dalam hal ini, sebagian hasil pajak Propinsi harus diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah propinsi yang bersangkutan. Peruntukan sebagian pajak propinsi bagi Kabupaten / Kota ini menyangkut jenis dan besaran tarif sebagai berikut :

a.      Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Daerah Kabupaten / Kota paling sedikit 30 %.
b.      Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Kabupaten / Kota paling sedikit 70 %.
c.       Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten / Kota paling sedikit 70 %.

Peruntukan sebagian hasil pajak Propinsi kepada Kabupaten / Kota di wilayahnya tadi menunjukkan dijalankannya fungsi alokatif anggaran oleh Propinsi. Disisi lain, Propinsi / Gubernur juga harus menjalankan fungsi distributif dan fungsi stabilitas, yang dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan untuk merealokasikan hasil penerimaan pajaknya dalam hal hasil penerimaan pajak Kabupaten / Kota dalam suatu Propinsi terkonsentrasi pada sejumlah kecil Daerah Kabupaten / Kota,  atau dalam hal obyek pajak Kabupaten / Kota bersifat lintas Daerah Kabupaten / Kota. Inilah wujud konkrit dari hubungan pengelolaan atau peruntukan pajak antara Propinsi dan Kabupaten / Kota.

Disisi lain, terdapat pula hubungan atau perimbangan keuangan antara Kabupaten dengan Desa, dimana seluruh hasil penerimaan pajak Kabupaten harus diperuntukkan paling sedikit 10 % bagi Desa di wilayah Kabupaten yang bersangkutan. Sedangkan bagian Desa dari hasil penerimaan retribusi Kabupaten akan ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.

3.      Pinjaman

Dalam hal pendapatan Daerah yang berasal dari PAD maupun Dana Perimbangan tidak mencukupi, Daerah dimungkinkan mengadakan transaksi peminjaman uang / dana dari pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan Bank atau Bukan Bank, serta masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun demikian, untuk menjaga agar Daerah tidak terjebak kepada perangkap hutang (debt trap), perlu diatur secara hati-hati (prudent).

Dalam hubungan ini, PP Nomor 107 tahun 2000 memberi batasan bahwa jumlah kumulatif pokok pinjaman jangka panjang tidak melebihi 75 % dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya. Sementara jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 dari jumlah belanja APBD tahun sebelumnya. Disamping itu, pembatasan administratif yang diatur antara lain adalah bahwa pinjaman Daerah membutuhkan persetujuan DPRD, dan pinjaman luar negeri membutuhkan persetujuan pemerintah Pusat.

4.      Bagian hasil penerimaan Pajak Penghasilan

Menurut SK Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001, mulai tahun fiskal 2001, pemerintah Daerah memperoleh 20 % dari hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, yang terdiri atas PPh Orang Pribadi Dalam Negeri (pasal 25 dan 29) serta PPh Karyawan (pasal 21). Dari jumlah yang diperoleh, 40 % diberikan kepada Propinsi sedangkan 60 % diberikan kepada Kabupaten / Kota.


Analisis Perubahan Struktur Pembiayaan Pemerintahan Daerah

Dengan struktur pendapatan / penerimaan sebagaimana dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa potensi keuangan daerah sesungguhnya amatlah besar. Oleh karena itu, keinginan beberapa Daerah untuk terus menggali dan menggali penerimaan dengan cara membebani masyarakat, jelas merupakan strategi yang tidak akan populer di mata publik. Hal terpenting yang harus disikapi justru adalah upaya mengalokasikan potensi penerimaan tadi secara tepat. Dalam hal ini, pendapatan Daerah yang besar tersebut secara normatif semestinya diarahkan untuk membiayai pembangunan masyarakat lokal, baik materiil maupun spirituil. Sayangnya, hal itu tidak terwujud, malahan sebaliknya pembiayaan rutin menjadi membengkak. Hasilnya, struktur pembiayaan pemerintahan daerah menjadi tidak seimbang.

Kondisi ini tentu saja sangat merugikan semua pihak, khususnya masyarakat lokal. Namun nampaknya hal ini tidak dapat dihindarkan karena terdorong oleh interpretasi yang keliru dalam memahami UU Nomor 22 tahun 1999. Dalam praktek, otonomi lebih dipandang sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, bukan kepada masyarakat daerah. Dengan kata lain, otonomi daerah hanya dianggap sebagai mekanisme G to G (government to government) semata dari pada G to C (government to citizens / customers). Akibatnya, Pemda merasa memiliki otoritas yang sangat kuat untuk menentukan berbagai kebijakan yang diyakini untuk mendukung keberhasilan otonomi itu sendiri.

Pada saat yang bersamaan, otoritas yang sangat massive ini mengesankan bahwa Pemda dapat berbuat apapun (can do no wrong) tanpa harus memperhitungkan secara detail kepentingan umum. Lebih parah lagi, lembaga legislatif daerah yang seharusnya menjadi representasi rakyat tidak bisa diharapkan banyak. Justru sebaliknya, para anggota DPRD banyak mewarisi tradisi masa lalu yakni KKN, bahkan kasus-kasus di berbagai daerah menggambarkan bahwa mereka “lebih rakus” dibanding rezim sebelumnya. [9]

Seiring dengan kelirunya interpretasi diatas, Daerah lantas membangun kelembagaan yang cenderung “gemuk” serta menetapkan berbagai pungutan melalui Perda. Khususnya dalam hal pembentukan kelembagaan, banyak Dinas maupun Lembaga Teknis Daerah yang dibentuk tanpa memperhitungkan efektivitas ataupun cost and benefit-nya. Pertimbangan “kemanusiaan” nampaknya lebih disukai, dimana pembentukan formasi hanya sekedar untuk mewadahi pegawai daerah serta pegawai Pusat yang dialihkan. Banyaknya dan gemuknya susunan organisasi daerah ini pada akhirnya akan berimplikasi kepada perlunya pembiayaan rutin dalam jumlah yang besar pula.

Disisi lain, terdapat indikasi bahwa pemerintah Daerah menganggap paket UU dan PP tentang desentralisasi fiskal masih kurang memadai untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 tahun 1999. Memang kebijakan tersebut memberi kewenangan yang besar kepada Daerah untuk memungut beberapa jenis pajak potensial yang dimilikinya seperti pajak kendaraan di atas air untuk wilayah Kalimantan serta pajak sarang burung Walet untuk Jawa Tengah. Namun jenis-jenis pajak tersebut umumnya bukanlah pajak “kelas kakap” atau hanya berpotensi kecil. Dengan kata lain, revisi UU Nomor 18 tahun 1997 tidak akan mengubah banyak kemampuan fiskal daerah, sehingga daerah akan tetap bergantung kepada subsidi Pusat, khususnya dari DAU dan bagi hasil SDA. [10]

Mencermati beberapa hal diatas, terlihat adanya ambivalensi dalam implementasi kebijkan otonomi dan desentralisasi fiskal. Pertama, meskipun sumber penerimaan daerah jauh meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun pengalokasiannya belum mampu mendorong akselerasi kesejahteraan masyarakat. Kedua, meskipun persentase dana perimbangan menunjukkan bahwa bagian Daerah jauh lebih besar dibanding bagian Pusat, namun ketergantungan Daerah terhadap Pusat masih tetap tinggi. Hal ini membuktikan bahwa masih ada masalah atau sesuatu yang salah dalam sistem kebijakan pengelolaan keuangan dalam hubungannya dengan perimbangan antara Pusat dan Daerah. Dan hal tersebut semestinya menyadarkan Daerah bahwa otonomi daerah tidak identik dengan harta karun atau durian runtuh. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sekarang adalah mempersiapkan diri baik secara konseptual maupun legal formal.


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Juni 2001.



[1]     Lihat Penjelasan Umum UU Nomor 5 tahun 1974 Angka 4a butir 6, dan Penjelasan Umum huruf f.
[2]     Marco Kusumawijaya, Power of Capital in Decentralization, Jakarta Post, 27 Maret 2001, hal 4.
[3]     Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR., 1988, Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan : Perkembangan Teori dan Penerapan, Jakarta: LP3ES, hal. 176-177.
[4]     Perwakilan LAN Jawa Barat dan Biro Otonomi Daerah Propinsi Jawa Barat, 2000, Kewenangan Dan Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan UU Nomor 22 Dan UU Nomor 25 Tahun 1999, Bandung, hal. 6-8.
[5]     Laode Ida, Otonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Daerah, Suara Pembaruan, 12 Maret 2001, hal. 8.
[6]     Laode Ida, loc.cit.
[7]     Anggaran Rutin Lebih Besar, Suara Pembaruan, 30 Maret 2001, hal. 15.
[8]     Jumlah dana perimbangan yang akan ditransfer dari Pusat ke Daerah (Propinsi dan Kabupaten / Kota) sebesar Rp 81.676,3 miliar, atau 5,7 % dari PDB tahun 2001. Hampir seluruh dana perimbangan tersebut (99,2 %) bersifat umum atau block grant, sehingga kewenangan pemanfaatannya berada pada Daerah sepenuhnya. Lihat: Departemen Keuangan, Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2001, Jakarta, 2001.
[9]     Laode Ida, op.cit. hal. 9
[10]    Raksaka Mahi, Prospek Ekonomi Pasca Otonomi Daerah, Media Indonesia, 19 Desember 2000

Tidak ada komentar: