Jumat, 02 Juli 2010

Duri Tajam Ditengah Semerbak Bunga: Potret Birokrasi di Era Otonomi


Abstrak:
Semenjak bergulirnya kebijakan desentralisasi yang baru, sosok birokrasi menunjukkan dinamika yang cukup kontras. Disatu sisi terdapat kemajuan yang signifikan, namun disisi lain masih menyisakan persoalan yang dapat menghambat pencapaian kinerja secara optimal. Tulisan ini memfokuskan kepada dua ganjalan pokok yang menyangkut kebiasaan birokrasi untuk meniru segala sesuatu (budaya imitasi) dan kepribadian birokrat yang cenderung bingung dan frustrasi. Kedua hal ini memiliki kemiripan, dimana masalah pertama akan berdampak pada kegagalan implementasi otonomi, sedangkan masalah kedua mencerminkan kegagalan kebijakan yang lampau dan ketidakyakinan terhadap efektivitas kebijakan baru yang dirumuskan.


Pengantar


Kalau dicermati secara teliti, birokrasi Indonesia (khususnya di level daerah) pasca pemberlakuan UU 22 / 1999 dan seperangkat peraturan pelaksanaannya mengalami banyak perubahan, baik dalam artian positif maupun negatif. Keterlibatan publik dalam proses manajemen khususnya pengawasan, keterbukaan dalam informasi, dan semangat kompetisi untuk menduduki suatu jabatan atau untuk bersaing dengan daerah lain, dapat disebut sebagai beberapa hasil positif kebijakan otonomi luas.

Namun disisi lain, terdapat beberapa gejala negatif seperti konflik yang makin merebak antara legislatif – eksekutif, pusat – daerah, propinsi – kabupaten / kota, serta antara pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu (Utomo, 2002a). Ada pula beberapa daerah yang sibuk menggenjot PAD dengan menetapkan jenis-jenis retribusi baru yang terlalu membebani masyarakat, sehingga dibatalkan oleh Depdagri (Media Indonesia, 21/11/02). Kasus lainnya adalah pembentukan dinas dan perangkat daerah yang terlalu gemuk, hingga akhirnya akan dirampingkan kembali oleh Depdagri (PR, 14/11/02). Namun yang paling memprihatinkan adalah dugaan makin merajalelanya tindak korupsi di daerah (Utomo, 2002b). Diantara kasus-kasus besar tadi, dua hal “kecil” agak terlupakan yakni: 1) adanya kebiasaan untuk meniru (imitasi), dan 2) kecenderungan birokrasi yang kebingungan dan frustrasi dengan setumpuk tugas dan permasalahan yang dihadapi. Kedua hal ini memiliki kemiripan, dimana masalah pertama akan berdampak pada kegagalan implementasi otonomi, sedangkan masalah kedua mencerminkan kegagalan kebijakan yang lampau dan ketidakyakinan terhadap efektivitas kebijakan baru yang dirumuskan.

Tulisan ini akan memfokuskan pada dua fenomena terakhir bukan dengan maksud menonjolkan sisi negatif dari pada kinerja yang diraih, justru untuk menyadarkan bahwa dibalik euphoria otonomi dewasa ini, terdapat ganjalan kecil yang dapat mengganggu pelaksanaan desentralisasi secara optimal. Ibaratnya adalah ditengah semerbak bunga (kinerja) otonomi yang mewangi dan cukup menjanjikan, terdapat sebutir duri tajam (kendala) yang akan mengurangi makna dan nilai keberhasilan tersebut.


Birokrasi dan Budaya Imitasi


Disengaja atau tidak, praktek birokrasi di tingkat lokal (daerah) selama ini banyak diwarnai oleh imitasi atau tiruan terhadap sistem birokrasi di tingkat nasional. Program pembangunan daerah 5 tahunan yang tertuang dalam Repelitada (sekarang Propeda), secara redaksional merupakan “kutipan” dari Repelita (sekarang Propenas) dengan melakukan sedikit perubahan yang menyangkut nama daerah dan data-data teknis lainnya. Matsui Kazuhisa, pakar tentang Indonesia di Institute of Developing Economics, JETRO, dalam seminar di Universitas Nagoya bulan Maret 2002 lalu mengkritik kebiasaan ini sebagai wujud tidak kreatifnya birokrasi lokal dan kokohnya kekuatan birokrasi nasional atas unsur lokal.

Disisi lain, pembentukan dinas atau instansi teknis di daerah juga mengacu kepada format kelembagaan di level nasional. Oleh karena itu, jika terdapat departemen X di tingkat nasional, hampir bisa dipastikan ada dinas atau lembaga lain di daerah yang menangani urusan X. Singkatnya, sistem pemerintah daerah hanya merupakan replika atau miniatur dari sistem pemerintah pusat.

Uniknya, budaya imitasi ini berlaku tidak hanya dalam menduplikasi sistem pemerintahan di Pusat, tapi juga antar / sesama pemerintah daerah. Sebagai contoh, jika kita simak jenis-jenis pungutan / retribusi di berbagai daerah, akan kita sadari bahwa terdapat tingkat kemiripan yang sangat tinggi terhadap jenis-jenis retribusi, meskipun karakteristik dan komoditas unggulan antar daerah tersebut berbeda secara signifikan. Dan dibalik berbagai kemiripan tadi, dapatlah kita tafsirkan motivasi dari banyaknya program studi banding antar daerah.

Budaya imitasi yang menghasilkan berbagai kesamaan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah ini harus dibedakan dengan politik sentralisasi model Orde Baru. Pada masa lalu, aspek-aspek seperti kewenangan bidang pemerintahan, sistem perencanaan pembangunan, sampai dengan pakaian dinas untuk pegawai, diseragamkan melalui kebijakan yang sistematis dan terpusat. Itulah sebabnya, nuansa dekonsentrasi jauh lebih kuat dibanding desentralisasi. Sedang dalam kasus imitasi diatas, tidak ada intervensi kebijakan secara langsung oleh Pusat. Daerah justru diberi kelonggaran untuk mengatur suatu aspek secara berbeda jika memang diperlukan, namun ternyata tidak dilakukan.

Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi luas melalui penetapan UU 22/1999, campur tangan pemerintah pusat di daerah berkurang secara dramatis. Artinya, daerah memiliki kebebasan untuk mengatur dan mendesain sendiri kewenangan yang akan dijalankan, organisasi yang akan menjalankan kewenangan, kebutuhan sumber daya, serta perangkat ketatalaksanaan (metode, aturan, prosedur) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Sayangnya, ada gejala terjadinya kekagetan budaya. Pemda yang sebelumnya selalu tunduk kepada “petunjuk” pusat, secara tiba-tiba harus lepas dari induknya serta harus berjuang keras untuk menentukan nasib sendiri. Entah karena tidak biasa atau karena memang tidak bisa, hampir tidak ada daerah yang benar-benar kreatif, mempunyai terobosan penting, dan mampu menunjukkan kinerja tinggi. Sebaliknya, manajemen pemda dewasa ini banyak diwarnai oleh banyaknya protes masyarakat, konflik antar lembaga eksekutif dan legislatif, serta perseteruan partai politik dalam memperebutkan posisi kepala daerah.

Sebagai akibat dari kekagetan budaya tadi, maka tidaklah mengherankan jika praktik imitasi masih menjadi primadona. Sebagai contoh, belakangan ini banyak tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur secara langsung (Kompas, 18/8/02; KCM 25/3/02, 3/7/02; Republika, 3/9/02; PR, 15/8/02, 5/9/02). Tuntutan ini muncul seketika setelah adanya Tap MPR tentang pemilihan Presiden secara langsung. Tentu banyak argumen dibalik usulan ini. Misalnya, pemilihan langsung jauh lebih demokratis dan mendorong pendidikan politik bagi masyarakat. Pemilihan langsung juga dapat mengantisipasi praktik politk uang dan dagang sapi di lobi DPRD.

Tanpa bermaksud mengkritisi aspirasi tersebut, beberapa hal perlu dipikirkan sebelum metode pemilihan Gubernur secara langsung diterapkan. Pertama, adakah konsep “kedaulatan (rakyat) daerah”, dan jika ada, siapakah pemilik kedaulatan itu? Pada tataran nasional, kedaulatan adalah ditangan rakyat, sehingga pemilihan kepala negara (yang kebetulan juga kepala pemerintahan) dilakukan oleh rakyat. Sebagai sebuah negara kesatuan, adalah semestinya jika kedaulatan bersifat tunggal dan tidak terbagi-bagi dalam kedaulatan rakyat secara provinsial (misalnya kedaulatan rakyat Jakarta, Aceh, Papua, dsb). Dengan kata lain, pemerintahan provinsi adalah bagian dari negara kesatuan, dan bukan negara bagian yang dimiliki oleh rakyat di provinsi yang bersangkutan saja. Dalam konsep negara kesatuan, rakyat tidaklah terkotak-kotak berdasarkan batas-batas teritorial, sehingga rakyat Papua memiliki hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan sebaliknya.

Kedua, jika Gubernur dipilih langsung, kepada siapakah dan bagaimanakah mekanisme pertanggungjawabannya? Kedudukan Gubernur adalah sebagai Kepala Daerah (otonom) sekaligus sebagai Wakil Pemerintah, sehingga ia bertanggungjawab kepada DPRD dan juga kepada Presiden (pasal 31). Artinya, ia memiliki “dua kaki” dan “dua tuan”. Jika ia juga harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat, maka akan terjadi triplikasi pertanggungjawaban yang aneh secara administratif dan sulit secara politis.

Ketiga, adakah jaminan bahwa Gubernur hasil pemilihan langsung akan dapat menjalankan amanat rakyat secara maksimal dan bekerjasama dengan DPRD secara baik? Dewasa ini terdapat kesan adanya arogansi dan superordinasi legislatif terhadap eksekutif daerah. Jika pemilihan langsung diterapkan, kondisi ini akan terbalik dimana Gubernur mungkin saja merasa superior atas DPRD. Hasilnya, hubungan Gubernur – DPRD bisa retak yang mengakibatkan terganggunya stabilitas pembangunan daerah.

Ide dalam tulisan ini tidak berpretensi bahwa budaya imitasi adalah jelek. Justru imitasi yang telah dimodifikasi semestinya menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari pada produk aslinya. Namun perlu disadari bahwa karakteristik, kebutuhan dan kemampuan suatu daerah berbeda dengan kondisi Pusat dan kondisi daerah lain. Semangat otonomi adalah kemandirian dan pemberdayaan, disamping demokratisasi dan perbaikan mutu pelayanan. Oleh karenanya, inilah saat yang tepat bagi birokrasi lokal untuk keluar dari bayangan dominasi birokrasi pusat dengan cara membatasi, jika tidak meninggalkan, budaya imitasi.

Jika dikaji lebih dalam, kebiasaan meniru ini dapat dihilangkan dengan menumbuhkan kepercayaan diri atas dasar kewenangan yang telah didevolusikan dengan didukung oleh sumber daya yang dimiliki. Dengan kata lain, kewenangan otonomi semestinya mampu memacu kreativitas untuk menciptakan kelembagaan dan sistem / mekanisme berpemerintahan yang khas dan sesuai kebutuhan / tuntutan masing-masing daerah. Bukan sebaliknya, kewenangan ini digunakan untuk secara bebas mengadopsi sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan yang telah dipraktekkan didaerah lain. Dan untuk dapat menumbuhkan kepercayaan diri ini, maka program pengembangan SDM bagi aparat memegang peran yang sangat penting. Namun jika kebiasaan ini berlanjut terus yang dibarengi dengan kemandegan dalam inovasi, dapat dikatakan bahwa kebijakan otonomi mengalami kegagalan.


Gejala Frustrasi di Kalangan Birokrat


Birokrasi di Indonesia kembali membuat kejutan. Kali ini, Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang membuat “gebrakan” dengan melakukan tindakan represif berupa pencopotan pelat nomor kendaraan pribadi pelanggar parkir. Bahkan, Dishub juga merencanakan akan mengunci atau menggembok roda mobil para pelanggar lalu lintas secara paksa (Kompas, 2/10/02). Beberapa waktu sebelumnya, Pemda DKI juga telah membangun pagar pembatas di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman yang dilengkapi dengan kawat berduri yang diolesi oli bekas, dengan maksud untuk mencegah orang menyeberang jalan.

Belakangan ini memang banyak sekali tindakan birokrasi (baik dalam pengertian pejabat maupun lembaganya) yang menggelikan. Ketika dituntut memberikan penjelasan tentang kasus pengungsi di Nunukan, Presiden malah menuduh pers terlalu membesarkan permasalahan dan menganggap bahwa urusan ketenagakerjaan adalah tanggungjawab Daerah. Demikian pula pada saat menyaksikan kinerja BKKBN yang rendah, seketika Wakil Presiden menganjurkan agar organisasi ini dibubarkan. Disisi lain, Akbar Tanjung selalu mengatakan “Ah, sudahlah …” setiap kali diminta komentar tentang vonis penjara yang diterimanya serta tuntutan non aktif sebagai Ketua DPR. Dan yang paling mengenaskan adalah kasus Menteri Agama dengan situs Batutulisnya.

Beberapa kasus diatas hanyalah sedikit contoh dari cerminan birokrasi kita yang mulai kebingungan dengan permasalahan yang dihadapi. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh ternyata tidak menghasilkan dampak yang diharapkan. Sebaliknya, permasalahan sosial, ekonomi dan politik nampaknya makin bertambah banyak dan kompleks. Akibatnya, terjadilah kecenderungan birokrasi mencari pembenar atas tindakan yang sedang atau akan dilakukan, mencari kambing hitam atas kesalahan atau tanggung jawab yang ingin dihindari, serta mencari jalan termudah, tercepat dan termurah untuk meraih tujuan organisasi. Dengan kata lain, birokrasi kita dewasa ini menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang cukup parah, yang diindikasikan oleh sikap pragmatisme yang berlebihan, tidak ramah dan cenderung arogan, tidak mampu menghasilkan terobosan kebijakan yang brilian, serta berpotensi menyimpang dari norma kepatutan, jika tidak dikatakan sebagai pelanggaran hukum.

Sebagai contoh, aksi pencopotan pelat nomor dalam kasus diatas tanpa seijin pemiliknya jelas-jelas merupakan perbuatan “mengambil hak milik orang lain secara melawan hukum”, dan oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Demikian halnya pada kasus penggembokan mobil yang mengakibatkan pemiliknya tidak dapat memanfaatkan haknya secara sah, maka aksi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana sabotase, atau minimal perbuatan yang tidak menyenangkan. Disamping itu, dilihat dari dimensi kepatutan, apa yang dilakukan Dishub DKI dan juga Presiden dalam kasus Nunukan Wapres dalam kasus BKKBN, serta Menag dalam kasus Batutulis, sangatlah tidak pantas dilakukan seorang birokrat negara.

Ironisnya, mereka tidak merasa bahwa perbuatan tersebut menyimpang dari kaidah normatif yang ada. Kahumas Dishub DKI misalnya, ia menyatakan bahwa pencopotan pelat nomor dan penggembokan roda mobil tersebut sebagai keharusan, bukan sesuatu yang melanggar aturan karena dilindungi oleh instruksi Gubernur (Kompas, 2/10/02). Ia juga menambahkan bahwa tindakan ini merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi para pelanggar lalu lintas. Ini berarti bahwa jika upaya ini tetap tidak berhasil menertibkan lalu lintas Jakarta, maka tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa diterapkan. Sekali lagi, hal ini memperkuat dugaan bahwa birokrasi kita sedang terjebak dalam sindrom frustrasi yang sangat dalam.

Dengan kondisi birokrasi yang demikian, dapatkah kita sekarang mengatakan bahwa bangsa kita tengah mengalami hal yang sama, yakni frustrasi? Pertanyaan ini menjadi relevan, sebab masyarakatpun sesungguhnya pernah dan masih menunjukkan gejala frustrasi pula. Sebagai contoh, saking lelahnya menanti penegakan hukum yang benar-benar adil dan transparan yang tidak penah kunjung tiba, akhirnya aksi main hukum sendiri menjadi pilihan terakhir. Dalam hubungan ini, kasus-kasus membakar hidup-hidup pencuri yang tertangkap tangan, mengarak telanjang pelaku perzinahan, dan sebagainya harus ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional yang berlaku, dan bukan wujud masyarakat yang barbar dan biadab.

Demikian pula, manakala masyarakat telah bosan dengan praktek politik yang tidak pernah berpihak pada rakyat jelata serta penuh dengan berbagai trik dan intrik, kolusi dan korupsi, dagang sapi dan persekongkolan jahat lainnya, maka demonstrasi yang brutal atau bahkan anarki yang keji menjadi pilihan terakhir yang terbaik. Inipun harus ditafsirkan sebagai kegagalan sistem politik dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang damai, tertib, sejahtera, serta memiliki hubungan yang harmonis dengan birokrasinya.

Dari kedua contoh terakhir ini dapatlah disimpulkan bahwa eskalasi rasa frustrasi akan makin membesar dan tidak terkendali jika terjadi kegagalan sistem hukum dan politik. Hal ini dapat dijadikan analogi bahwa terjadinya birokrasi yang frustrasi adalah akibat langsung dari kegagalan sistem administrasi publik atau sistem birokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan mencari kambing hitam sungguh berlebihan dan sangat tidak bijaksana. Yang harus dilakukan justru adalah pembenahan internal dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Dalam konteks mencapai efektivitas kebijakan publik yang tinggi sekaligus mencegah terjadinya kegagalan birokrasi ini, gagasan privatisasi atau outsourcing perlu diaktualisasikan kembali.

Privatisasi sendiri adalah gagasan tentang perlunya pemangkasan peran dan struktur birokrasi. Secara teoretis, birokrasi dapat dianalogikan dengan air. Ketika suhu air meningkat, air tersebut menjadi semakin panas. Seperti halnya birokrasi, semakin besar perannya dalam pembangunan dan semakin panjang rentang kendali yang dimiliki, maka makin rumitlah prosedur pelayanan. Oleh sebab itu, peran birokrasi harus dikurangi hingga titik tertentu, namun tidak menghilangkan sama sekali. Sebab, ketiadaan birokrasi juga dapat mengakibatkan situasi yang runyam. Sebagaimana air, hingga 40C air akan semakin dingin dan membeku. Namun begitu suhu diturunkan kembali, maka air tadi justru akan mencair. Dengan kata lain, baik air maupun birokrasi mengenal hukum anomali.

Kembali ke kasus Dishub DKI, urusan parkir dan pengaturan lalu lintas sudah saatnya diserahkan kepada sektor privat / swasta. Puluhan tahun urusan ini dipegang oleh birokrasi, terbukti hanya menghamburkan anggaran tanpa pernah menghasilkan model berlalu lintas yang nyaman dan pengaturan parkir yang profesional. Lebih memprihatinkan lagi, birokrasi menjadi frustrasi terhadap hasil kerjanya sendiri. Dengan privatisasi, paling tidak dapat diraih tiga keuntungan: 1) birokrasi tidak perlu terjun langsung ke urusan teknis sehingga lebih hemat dan terhindar dari perbuatan melanggar hukum, 2) peran swasta sebagai salah satu komponen civil society lebih terberdayakan, dan 3) ketertiban berlalu lintas dan urusan parkir lebih dapat diharapkan.

Satu hal yang perlu ditekankan juga adalah bahwa dalam masa transisi menuju demokrasi dewasa ini, birokrasi dituntut memiliki kesungguhan, optimisme dan perencanaan pembangunan yang matang. Tanpa modal ini, bukan tidak mungkin birokrasi kita dimasa mendatang akan semakin frustrasi.


Penutup

Dari kedua kasus diatas, kegagalan birokrasi dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan beberapa dimensinya seperti waktu, sumber pengenalan, kausalitas, dan sifat solusinya. Golongan pertama adalah kegagalan yang dilihat dari waktu kejadiannya masih bersifat potensi, atau baru menunjukkan sebuah gejala. Dengan demikian, pola kausalitasnya bersifat kedepan (forward), yakni dapat menghasilkan dampak ikutan di masa depan. Oleh karena itu, sifat solusi terhadap pola kegagalan pertama ini adalah dengan strategi pencegahan (preventive strategy). Sedangkan golongan kedua adalah kegagalanm yang telah nyata terjadi yang dibuktikan dengan bukti-bukti awal yang konkrit, atau tidak bersifat gejala. Dilihat dari pola kausalitasnya, pola ini merupakan pencerminan dari kondisi yang ada sebelumnya, atau bersifat fakta di belakang (backward). Oleh karena itu, sifat solusi yang tepat adalah pola kuratif (penanganan atau penyelesaian kasus).

Cerita kegagalan birokrasi dan / atau kebijakan desentralisasi adalah cerita yang umum terjadi. Dalam kasus yang diulas diatas, kegagalan dapat merupakan dampak dari kondisi yang ada (dalam hal ini kebiasaan meniru yang tidak inovatif) atau pencerminan dari gejala yang ada (dalam hal ini sikap frustrasi). Yang terpenting adalah, pada saat disadari adanya peluang dan / atau bukti awal terjadinya kegagalan, harus segera dilakukan pembenahan. Tentu banyak sekali strategi yang dapat ditempuh untuk mencegah dan / atau mengatasi, namun beberapa saran yang dikemukakan dalam tulisan ini kiranya dapat menjadi awal diskusi untuk merumuskan kebijakan yang lebih valid dan manjur.


Referensi

Utomo, Tri Widodo Wahyu, 2002a, “Konflik Antar Pemerintahan Dan Prospek Penerapan Lembaga Arbitrasi Di Sektor Publik”, Jurnal Wacana Kinerja No. 3, September.
____________, 2002b, “Mencermati Gejala Demokrasi Korupsi”, Kompas, 10 September.

Media Cetak / Elektronik:
·           Kompas edisi 18 Agustus 2002; 2 Oktober 2002. Lihat juga Kompas Cyber Media edisi 25 Maret 2002; 3 Juli 2002.
·           Media Indonesia edisi 21 September 2002.
·           Pikiran Rakyat edisi 15 Agustus 2002; 5 dan 14 September 2002.
·           Republika edisi 3 September 2002.


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Desember 2002.

Tidak ada komentar: