Jumat, 30 Juli 2010

DAU dan Masa Depan Daerah


TAHUN 2008 barangkali akan menjadi ujian nyata bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi, khususnya bagi daerah-daerah kaya sumber daya alam yang terancam pengurangan – bahkan penghapusan – Dana Alokasi Umum (DAU). Pengurangan DAU sendiri sesungguhnya sudah menjadi hukum positif dan implikasi logis dari sistem desentralisasi yang ditempatkan dalam bingkai atau kerangka Negara Kesatuan. Artinya, desentralisasi jelas sekali sangat jauh dari semangat federalisme yang sedikit banyak memberi ruang bagi tumbuhnya egoisme kedaerahan.

Meskipun formula perhitungan DAU telah ada sejak implementasi UU No. 22 tahun 1999, namun sikap reaktif beberapa daerah (cq. Kaltim dan Riau) terhadap rencana pengurangan DAU baru muncul akhir tahun 2006 dan berlanjut tahun 2007. Kegelisahan daerah tentang rencana pemerintah pusat memuncak saat Presiden SBY membacakan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah di depan sidang paripurna DPD-RI, tanggal 23 Agustus 2007. Dalam kesempatan tersebut, Presiden memberi penekanan sebagai berikut:

Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2008 kebijakan pengalokasian DAU harus menerapkan formula murni. Implikasi dari kebijakan itu adalah, beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal jauh melampaui kebutuhan fiskalnya, akan memperoleh DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya, atau bahkan tidak memperoleh DAU sama sekali. Namun, mengingat DAU juga berfungsi sebagai ikatan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka Pemerintah untuk saat ini masih akan mengalokasikan dana penyesuaian DAU, agar daerah yang seharusnya tidak menerima DAU atau daerah yang mengalami penurunan DAU senilai 75 persen atau lebih,  akan memperoleh DAU sebesar 25 persen dari DAU tahun sebelumnya.

Dalam konteks Kalimantan Timur, karena daerah ini memiliki nilai celah fiskal negatif yang lebih besar dari alokasi dasar, maka seharusnya tidak menerima DAU. Namun dengan tujuan memupuk hubungan Pusat – Daerah, maka Kaltim masih akan diberikan alokasi sebesar 25 persen dari total DAU yang diterima pada tahun 2007. Hal ini nampaknya merupakan bentuk kompromi pemerintah pusat terhadap sikap penolakan dari berbagai komponen di daerah.

Sayangnya, sikap kompromistis Pusat kurang mendapat sambutan positif dari daerah. Berbagai komponen seolah menjadi semakin mengkristal dengan satu opsi: tolak rencana pengurangan DAU! Bahkan, sebagian kelompok masyarakat menyuarakan opsi yang lebih ekstrem seperti menolak membayar / menyerahkan pajak ke Pusat, menuntut penetapan otonomi khusus, sampai pilihan radikal memisahkan diri dari NKRI. Dalam kasus Kaltim, pada tanggal 28 Desember 2006 yang lalu telah ditandatangani kesepakatan tentang penolakan tersebut. Alasannya sangat logis memang, yaitu bahwa DAU merupakan pilar pembiayaan daerah yang sangat vital. Oleh karena itu, pengurangan apalagi penghapusannya diyakini akan menggangu kelancaran roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Meskipun demikian, harus disadari bahwa DAU bukanlah segala-galanya bagi daerah. Pesimisme bahwa pembangunan akan stagnan, kesejahteraan pegawai akan menurun, investasi merosot, masa depan daerah menjadi suram, dan bentuk-bentuk pesimisme yang lain, adalah hal yang berlebihan. Oleh karena itu, kegelisahan daerah (Kalimantan Timur) terhadap kebijakan pengurangan DAU seyogyanya tidak perlu disikapi lewat penolakan yang justru membutuhkan biaya dan energi sangat besar. Selain telah menjadi konsensus nasional, ada beberapa alasan kenapa hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Pertama, selama hampir 7 tahun pelaksanaan otonomi daerah sekarang ini, kemampuan anggaran dan kapasitas pembangunan daerah semakin membaik. Hal ini diperkuat oleh laporan World Bank berjudul Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities (2007). Laporan tersebut menyatakan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kapasitas fiskal sejak tahun 1973 ketika terjadi boom migas. Namun dewasa ini Indonesia tidak lagi tergantung pada migas, karena menerapkan kebijakan yang baik dan tepat (sound policy). Dampaknya, Indonesia mampu meningkatkan cadangan devisanya sebesar US$15 billion, yang diperoleh melalui pengurangan subsidi BBM, mengecilnya cicilan hutang, dan meningkatkan pendapatan Negara. Terkait dana perimbangan, laporan World Bank menyebutkan bahwa derajat desentralisasi semakin meningkat dan telah merubah struktur fiskal di Indonesia. Hal ini diindikasikan oleh terus meningkatnya transfer dana kepada daerah, yang mencapai US$25 billion pada tahun 2006, dan meningkat lagi menjadi US$28 billion pada tahun 2007. Ini berarti bahwa provinsi dan kabupaten/kota “menguasai” 40 % anggaran belanja di seluruh Indonesia. Inilah peluang dan tantangan terbesar pembangunan daerah di masa mendatang di era desentralisasi luas.

Kedua, sikap distrust masyarakat terhadap kinerja dan kejujuran aparat di daerah masing sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai komentar di media massa yang mengeluhkan rendahnya mutu pelayanan publik dan tingginya indikasi korupsi oleh pejabat di daerah. Pada saat yang sama, tingkat penyerapan APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota masih sangat rendah. Fakta-fakta tersebut membuat perjuangan mendapatkan dana yang lebih besar dari APBD melalui dana perimbangan, menjadi hal yang ironis. Singkatnya, pemerintah daerah diragukan mampu me-manaje dana yang besar demi kesejahteraan rakyat. “Jika kemampuan mengelola dana sangat rendah, lantas buat apa menuntut anggaran yang tinggi”, begitu kira-kira logika berpikir masyarakat awam. Untuk itu, daerah lebih baik berkonsentrasi untuk menjalankan program-program pembangunan yang sudah direncanakan, dari pada berjuang untuk merebut kembali sesuatu yang belum pasti.

Ketiga, momentum pengurangan DAU harus dijadikan pemicu, kesempatan dan tantangan untuk memperkuat kapasitas fiskal di daerah. Dengan kata lain, daerah perlu merumuskan sebuah rekayasa manajemen pembangunan berupa pengembangan alternatif kebijakan tentang penggalian sumber-sumber baru pendapatan daerah. Berbagai potensi sumber pendapatan perlu diintensifkan tanpa harus membebani sektor usaha dan para investor. Selain itu, keberadaan perusahaan milik daerah perlu digenjot lebih efektif dan efisien, sehingga bisa menjadi center of excellence dan center of revenue bagi kas daerah.

Terlepas dari berbagai upaya yang dapat dilakukan di daerah, polemik pengurangan DAU akan berimplikasi terhadap kebutuhan untuk merumuskan konsep perimbangan keuangan Pusat – Daerah yang lebih baik dan berkeadilan. Dalam hal ini, UU Pajak dan Retribusi Daerah layak untuk direvisi kembali dengan semangat untuk memperbesar kemandirian fiscal bagi daerah-daerah otonom. Political will pemerintah pusat untuk memberdayakan “anak-anaknya”, akan menjadi bukti bahwa rumor resentralisasi hanyalah isapan jempol belaka. Sementara itu bagi daerah yang terkena langsung imbas kebijakan pengurangan DAU, harus berbesar hati untuk menerima kenyataan tadi sebagai bentuk “ujian”, yang meskipun sulit dan pahit, namun akan berbuah manis bagi masa depan masyarakat dan daerah sendiri. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar: