Kamis, 29 Juli 2010

Ironi Otonomi Daerah


DALAM sebuah diskusi di kantor PKP2A III LAN, seorang pejabat teras Pemprov Kalimantan Timur sempat melontarkan gagasan sederhana namun mengandung sindiran yang sangat kuat. Menurutnya, di era otonomi luas seperti saat ini perlu dipikirkan adanya mekanisme dan alat ukur untuk menilai/mengevaluasi instansi Pusat oleh Daerah, agar terjadi hubungan Pusat dan Daerah yang lebih obyektif dan seimbang. Sebab, selama ini hanya Pusat yang seolah-olah ”berhak” menilai daerah dengan memberikan banyak sekali instrumen evaluasi, namun daerah sama sekali tidak memiliki hak yang sama untuk menilai Pusat.

Pernyataan yang menyiratkan adanya ”kegundahan” di kalangan birokrat daerah tadi dapat diinterpretasikan dalam beberapa kemungkinan. Pertama, ”ledakan besar” desentralisasi (big bang decentralization) telah melahirkan kecemasan munculnya egoisme kedaerahan yang kronis. Setelah puluhan tahun terkooptasi oleh kekuasaan yang sentralistis dan monopolis, Daerah nampaknya ingin menghilangkan segala sesuatu yang bernuansa ”Pusat” dengan cara menonjolkan berbagai atribut kedaerahan seperti putra daerah, retribusi daerah, atau bahkan otonomi daerah itu sendiri. Kecenderungan seperti inilah yang disebut Gerry Stoker (dalam Rethinking Local Democracy, 1996) sebagai perangkap kedaerahan (the trap of localism). Artinya, otonomi yang semestinya mampu membuka peluang bagi otoritas daerah untuk berpikir bebas dan kreatif secara global guna memajukan daerahnya, justru berdampak pada makin sempitnya pola pikir (mindset) para pelaku otonomi di daerah.

Fenomena kedua menunjukkan indikasi yang sebaliknya, dimana ”otonomi setengah hati” atau bahkan resentralisasi semakin menguat semenjak dilakukannya revisi terhadap UU Pemda tahun 1999. Hasrat berbagai Departemen dan LPND untuk menerbitkan beragam pedoman, juklak maupun instrumen evaluasi mengilustrasikan ketakutan mereka kehilangan ”hak kontrol” atas daerah. Uniknya, mereka membiarkan diri mereka immune, untouchable, atau tak tersentuh oleh kreasi dan aspirasi daerah. Dengan kata lain, Pusat masih memposisikan diri sebagai atasan, owner, dan/atau patron bagi daerah. Dua pola pengawasan terhadap Perda melalui mekanisme evaluasi dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemda 2004, semakin meneguhkan ”prasangka” tentang resentralisasi tersebut. Ini berarti pula bahwa praktek administrasi publik di Indonesia sesungguhnya masih lebih bercorak top-down, dan kurang memberi ruang bagi berkembangnya proses difusi inovasi yang berbasis locally bottom-up initiative serta self-help empowerment.

Kedua fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai ironi otonomi daerah, karena merupakan dampak yang sama sekali tidak diharapkan ketika kebijakan otonomi digulirkan pertama kali. Diluar keduanya, masih ada satu ironi desentralisasi lain yang sesungguhnya telah lama diprediksi di buku-buku text. Fenomena ini berkaitan dengan pergeseran peran dan posisi Provinsi yang semakin mengecil. Dalam hal ini, Schiavo-Campo dan Sundaram (dalam To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World, 2000) menjelaskan bahwa pada abad ke-19, Provinsi merupakan unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai unit intermediasi, Provinsi memiliki dua posisi monopoli, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat. Namun dengan adanya desentralisasi, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging effect), yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya Pusat langsung kepada Kabupaten/Kota. Pada saat yang sama, terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari Provinsi. Proses inilah yang menjadikan fungsi dan peran Provinsi menjadi tidak lagi signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004 hanya memberikan tiga tugas / wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah, yaitu koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah.

Ironisnya, layer atau jenjang struktur organisasi di tingkat Provinsi masih lebih panjang dan lebih besar dibanding layer di tingkat Pusat atau di Kabupaten/Kota. Di Provinsi terdiri dari lima layer, masing-masing adalah Sekda (Eselon I-b), Asisten (Eselon II-a), Kepala Biro (Eselon II-b), Kepala Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Di tingkat Pusat (Departemen) sendiri terdiri dari empat layer, masing-masing adalah Direktur Jenderal (Eselon I-a), Direktur (Eselon II-a), Kepala Bidang (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bidang (Eselon IV-a). Demikian pula di Kabupaten/Kota hanya terdiri dari empat layer, yakni Sekda (Eselon II-a), Asisten (Eselon II-b), Kepala Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Disini terlihat dengan jelas bahwa besaran kelembagaan Provinsi kurang akordion dengan beban tugas yang disandangnya. Dan mengingat esensi otonomi daerah berada pada Kabupaten/Kota, maka format kelembagaan Provinsi jelas membutuhkan penyesuaian ulang.

JIKA tidak dapat diatasi dengan baik, tiga ironi otonomi diatas dapat mengancam tiga kondisi ideal yaitu tumbuhnya demokrasi lokal yang sehat, meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, serta membaiknya mutu pelayanan umum. Untuk itu, paling tidak diperlukan dua langkah simultan sebagai prasyarat utama keberhasilan otonomi daerah. Pertama, adanya kebesaran hati dan kepercayaan (trust) Pusat terhadap Daerah. Pemerintah Pusat hendaknya tidak selalu mencari-cari celah untuk melakukan intervensi, karena konsekuensi logis otonomi adalah berkurangnya kadar interventionist state. Kedua, adanya kemauan Daerah untuk meningkatkan kapasitas SDM, kelembagaan dan finansialnya secara terus menerus. Sebab, konsekuensi logis otonomi yang lain adalah harus dilakukannya capacity building bagi seluruh sub-sistem pemerintahan daerah.

Manakala kedua hal tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka akan tercapai sinergi dan harmoni antara Pusat dan Daerah. Tidak akan ada lagi hasrat Pusat untuk mengkooptasi Daerah; tidak akan ada lagi sikap arogan Daerah terhadap Pusat; serta tidak akan ada lagi sengketa atau rebutan obyek kewenangan antara Pusat dan Daerah. Dan satu hal lagi: tidak akan ada lagi sindiran dan ungkapan bernada kegundahan sebagaimana tercermin pada paragrap awal tulisan ini. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar: