Jumat, 02 Juli 2010

Permasalahan dan Kesiapan Pelaksanaan Otonomi Daerah Menuju Good Governance


Pengantar

Sebagaimana kita maklumi bersama, UU Nomor 5 tahun 1974 yang telah berlaku selama 25 tahun, akhirnya diganti dengan UU Nomor 22 tahun 1999 yang dianggap mengandung nilai-nilai ketatanegaraan yang jauh lebih demokratis dan egaliter. Lahirnya UU Pemerintahan Daerah yang baru ini sekaligus merupakan salah satu jawaban konkrit pemerintah atas tuntutan masyarakat terhadap reformasi dan desentralisasi pemerintahan.

Reformasi birokrasi publik sendiri harus diakui merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Sebab, sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan (termasuk Pemda) selama masa berlakunya UU Nomor 5/1974 ditandai oleh praktek-praktek yang menghambat terwujudnya good governance. Menurut Miftah Thoha (dalam Thoha dan Dharma, 1999: 55-68), beberapa praktek birokrasi publik yang menjadi kendala terwujudnya good governance adalah: 1) korupsi, 2) tindakan hukum yang kurang tegas, 3) penggunaan kekuasaan birokrasi yang sentralistis dan eksesif, serta 4) lemahnya kepemimpinan birokrasi pemerintah.

Kelemahan dalam praktek penyelenggaraan pembangunan diakui pula oleh Tjokroamidjojo (1988: 176-177) yang menyatakan bahwa peranan pemerintah sebagai agen perubahan (agent of change) masih menunjukkan orientasi top down dan sikap patronizing dalam kebijaksanaan maupun perencanaan pembangunan, sehingga untuk beberapa hal menimbulkan ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan.

Ketidakberdayaan Daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga publik yang wajib melayani dan meningkatkan kesejahteraan rakyat inilah agaknya yang menjadi salah satu alasan fundamental untuk merevisi UU Nomor 5 tahun 1974. Dengan demikian, “misi” yang diemban oleh UU Nomor 22 tahun 1999 ini sesungguhnya adalah merubah paradigma “ortodoks” yang telah sekian lama diterapkan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

Perubahan paradigma berpemerintahan itu sendiri adalah perubahan dari pola manajemen gotong royong menjadi renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari kolektivitas menjadi individualistis, dari otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari tertutup menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi debirokratis, dari “government” menjadi “governance”, serta dari “bad” menjadi “good governance” yang menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani atau civil society (Mustopadijaja, 1999: 1).


Filosofi dan Implikasi UU Nomor 22/1999

Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999, pada hakekatnya didorong oleh kekuatan filosofis untuk mempercepat perubahan paradigma dalam pola penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana telah dipaparkan diatas. Dalam hubungan ini, paradigma baru yang dikembangkan oleh UU No. 22/1999 ini adalah bertumpu pada nilai-nilai demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan, yaitu suatu pemerintahan daerah yang memiliki keleluasaan dan pengambilan keputusan yang terbaik dalam kewenangannya, untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikannya kepada masyarakat.

Sesuai dengan perubahan paradigma tersebut, harus diakui bahwa semangat dan isi UU Nomor 22/1999 merupakan UU Pemerintahan Daerah yang paling demokratis – jika tidak dikatakan liberal. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 7, 9 dan 11 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa kewenangan Daerah Kabupaten / Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan bidang lain yang diatur kemudian oleh Peraturan Pemerintah (PP Nomor 25/2000). Dengan ketentuan tersebut, maka struktur kewenangan pemerintahan menjadi berubah, yakni dari piramida terbalik menjadi piramida normal. Artinya, kewenangan daerah sangat luas sesuai dengan paradigma otonomi yang luas, bulat dan utuh; sementara kewenangan Pusat dan Propinsi sangat limitatif. Inilah sesungguhnya makna penerapan prinsip-prinsip demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan pemerataan dan keadilan daerah.

Adanya pergeseran nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru yang dianut UU Nomor 22/1999, bukan merupakan jaminan bahwa penyelenggaraan pemerintahan akan otomatis menjadi baik dan efektif. Dengan kata lain, lahirnya UU Nomor 22/1999 beserta peraturan perundangan organiknya tetap perlu dikaji untuk mengantisipasi berbagai permasalahan dan konsekuensi yang mungkin muncul. Beberapa kemungkinan masalah yang dapat muncul dari pemberlakuan UU Nomor 22/1999 ini adalah sebagai berikut:

1.         Timbulnya perbedaan persepsi antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kewenangan-kewenangan tertentu serta pengalokasian sumber-sumber daya untuk mengoperasionalisasikan kewenangan yang dimiliki (khususnya SDM dan keuangan / finansial, dan asset material).
2.         Timbulnya konflik kepentingan antar daerah otonom, khususnya antara daerah bertetangga yang memiliki potensi sumber daya alam tidak seimbang.
3.         Timbulnya disorientasi Daerah dalam menyikapi otonomi daerah, khususnya dalam konseptualisasi pembentukan kelembagaan sebagai wadah yang harus menjalankan kewenangan.

Meskipun disadari bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi dapat menimbulkan permasalahan yang tidak sederhana, namun tetap menjadi pilihan utama bagi suatu negara. Sebab, pemberian otonomi kepada daerah sangat identik dengan proses demokratisasi, sekaligus mampu memacu dan menjamin pembangunan daerah secara berkesinambungan. Hal inilah yang menjadi pemikiran Cheema dan Rondinelli (1983) atau Smith (1985) seperti dikutip Husaini (2000) bahwa:

“Desentralisasi merupakan prsayarat pembangunan dan komitmen para penyelenggara pembangunan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan melalui kebijakan penyerahan ataupun pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah Pusat kepada institusi pemerintah Daerah yang relatif dekat dan lebih mengerti aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan”.

Bahkan Husaini (2000) berani menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi dalam proses pembangunan yang dilaksanakan secara konsekuen, diyakini mampu memberikan manfaat yang positif untuk terciptanya tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah.

Wujud konkrit yang diharapkan dari kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab adalah terciptanya sosok pemerintahan daerah yang menerapkan prinsip-prinsip good governance. Dengan kata lain, terdapat hubungan sejajar atau korelasi positif antara pemberian otonomi dengan proses mewujudkan good governance. Hal ini diperkuat oleh pendapat Miftah Thoha (dalam Thoha dan Dharma, 1999: 68), yang menyatakan bahwa:

Jika otonomi daerah masih tidak menyeluruh, kontrol rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan masih belum efektif. Pemerintah daerah dan rakyat daerah belum memiliki tempat untuk berperan-serta. Hal ini berarti sulit bagi rakyat untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pemerintahan.

Dalam perspektif yang tidak jauh berbeda, Nisjar (1997: 122-123) menyatakan bahwa otonomi penyelenggaraan pemerintahan yang bercirikan good governance sesungguhnya memiliki satu muara, yakni bagaimana mewujudkan pemerintahan yang tidak hanya berwibawa namun juga bijaksana. Dua hal ini memiliki perbedaan yang cukup mendasar, dimana kewibawaan pemerintah seringkali didapat dari otoritas kekuasaan yang dipegangnya. Oleh karena itu, meskipun dapat membawa efektivitas dan efisiensi, namun kewibawaan tidak selalu dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi tumbuhnya keberdayaan masyarakat. Disamping itu, ketaatan masyarakat kepada pemerintah kadang kala disertai perasaan takut. Artinya, ketaatan terhadap suatu aturan atau hukum lahir bukan dari kesadaran bahwa suatu aturan atau hukum tadi memang harus ditaati, melainkan karena takut dari ancaman yang mungkin timbul dari tidak ditaatinya aturan atau hukum tersebut.

Sedangkan pemerintahan yang bijaksana memiliki arti yang lebih dalam, yakni tidak semata-mata mengandalkan kepada legalitas hukum untuk menjalankan administrasi publiknya, akan tetapi juga berusaha menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa ikut bertanggungjawab (sense of responsible) masyarakat terhadap proses administrasi publik dan hasil-hasil pembangunan yang dicapai.

Dengan kata lain, produk kebijakan publik yang dihasilkan selain dimaksudkan untuk mengatur, sekaligus juga berfungsi sebagai kerangka tumbuhnya inovasi, daya kreasi dan aspirasi masyarakat. Atau jika dibalik, upaya menumbuhkan keberdayaan masyarakat mengindikasikan bahwa pemerintah telah lebih bertindak secara bijaksana (wisdom), dan tidak sekedar melaksanakan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan otoritas atau wibawa. Untuk dapat menerapkan prinsip pemerintah yang berwibawa ini, maka salah satu syarat utama adalah kemampuan untuk selalu memahami dan menganstisipasi kondisi lingkungan masyarakat, baik eksternal maupun internalnya.

Satu hal yang perlu diingat disini adalah bahwa upaya pemberdayaan masyarakat harus diusahakan jangan terbatas pada mitos saja. Sebagaimana di tulis oleh Osborne dan Plastrik (1996), salah satu mitos dalam program reformasi sektor publik adalah mitos masyarakat (the people myth) yang berpandangan bahwa kinerja pemerintah dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar kepada masyarakat, atau menciptakan keberdayaan dan kualitas masyarakat yang lebih baik (hiring better people).


Kesiapan Kelembagaan, Keuangan dan SDM Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah


Diatas telah dikemukakan tentang masalah yang mungkin timbul dari pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999. Dari seluruh permasalahan yang mungkin ada tersebut, jika digeneralisasikan bersumber kepada satu fakta, yaitu bahwa pemberlakuan kebijakan otonomi daerah membutuhkan kesiapan yang matang dari para pelaku (actor) kebijakan otonomi, terutama yang menyangkut dimensi-dimensi: 1) kelembagaan; 2) keuangan; serta 3) sumber daya manusia. Tanpa mengurangi arti penting dimensi lainnya, ketiga dimensi itulah yang merupakan determinant factors bagi keberhasilan kebijakan otonomi daerah. Oleh karena itu, kesiapan daerah perlu dirancang dan diarahkan kepada pembenahan dan / atau penataan tiga dimensi tersebut.

Perlunya pembenahan dan / atau penataan dimensi kelembagaan, keuangan dan sumber daya manusia, tidak dapat dilepaskan dari implikasi-implikasi yuridis yang ditumbulkan oleh UU Nomor 22 tahun 1999. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah secara operasional paling tidak tercermin pada tiga dimensi tersebut, meskipun dalam UU Nomor 22 tahun 1999 sendiri tidak dinyatakan secara eksplisit. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dipaparkan sebagai berikut.

Diatas telah dijelaskan bahwa perubahan struktur kewenangan pemerintahan akan membawa pengaruh terhadap penataan kembali (restrukturisasi) kelembagaan. Dalam hubungan ini, restrukturisasi organisasi dimaksudkan sebagai segala upaya pemberdayaan organisasi sehingga diharapkan organisasi tadi menjadi lebih efektif, efisien, dan lebih produktif. Termasuk dalam pengertian restrukturisasi disini adalah upaya untuk membuat organisasi pemerintah menjadi lebih ramping. Akan tetapi perampingan disini bukan dalam arti sempit hanya sekedar menciutkan struktur dan fungsi serta mengurangi jumlah karyawan (PHK) melainkan lebih luas lagi yaitu segala upaya untuk lebih menyederhanakan cara kerja, prosedur kerja dan alat / bahan kerja, sehingga akan dapat dicapai tujuan yang lebih besar yakni untuk lebih memberdayakan organisasi pemerintah agar menjadi lebih produktif.

Sehubungan dengan hal tersebut, upaya meningkatkan kesiapan daerah melalui penataan kelembagaan perlu ditempuh dengan memperhatikan variabel-variabel yang mempengaruhi kelembagaan organisasi pemerintah. Dalam hal ini, untuk menentukan besaran atau ukuran organisasi dapat dipergunakan proksi atau pendekatan sebagai berikut (Fernanda dan Supriatna, 1999):

·         Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi.
·         Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan.
·         Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis sebuah organisasi.
·         Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat desentralisasinya.
·         Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya.
·         Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang diperlukan.
·         Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya.
·         Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya.
·         Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi.
·         Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja.
·         Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi.
·         Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi pengawasan / pembinaan.
·         Makin rendah tingkat stabilitas / keamanan, makin besar ukuran organisasi.
·         Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.

Dengan mengacu kepada kaidah-kaidah logika diatas, diharapkan dapat terwujud kelembagaan pemerintahan di daerah yang ramping (dalam arti tidak berorientasi penambahan struktur), efektif (dapat berfungsi optimal dalam melaksanakan kewenangan yang dimiliki), efisien (tidak membebani anggaran dan sumber daya lain secara berlebihan), serta rasional dan obyektif (sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan riil). Dan dengan prinsip-prinsip ramping, efektif, efisien, rasional dan obyektif ini, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah diyakini dapat berhasil secara signifikan.

Selanjutnya, implikasi finansial otonomi daerah dapat diamati dalam TAP MPR Nomor XV/MPR/998 yang mengamanatkan bahwa “Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab, di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah".

Amanat ini secara logis membutuhkan upaya peninjauan kembali terhadap sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Perlunya perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dengan Daerah ini adalah untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah agar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam rangka pelayanan masyarakat. Dengan perkataan lain, tujuan pengaturan sistem perimbangan keuangan pusat dan Daerah adalah menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, rasional, transparan, partisipatif, akuntabel dan pasti, dengan mengubah sistem pertanggungjawaban keuangan Daerah kepada pemerintah atasan menjadi kepada masyarakat. Dengan adanya perubahan sistem keuangan dan perimbangannya tadi, diharapkan dapat terjadi peningkatan kualitas terhadap tiga fungsi utama pemerintah dalam konteks pembiayaan pelayanan publik dan pembangunan, yakni fungsi alokasi (atas sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik), fungsi distributif (pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan), dan fungsi stabilitas (pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter). Atas dasar pemikiran diatas dapat kita tegaskan bahwa tuntutan terhadap perwujudan sistem perimbangan keuangan yang adil, sangat bersesuaian dengan semangat otonomi daerah itu sendiri.

Adapun implikasi kebijakan otonomi daerah terhadap aspek SDM dapat dicermati dari ketentuan dalam UU Nomor 22/1999 bahwa aparat instansi vertikal yang ada dewasa ini akan terintegrasi sebagai aparat daerah. Hal ini akan mengakibatkan penambahan jumlah pegawai yang sangat besar dan menjadi beban baru bagi Daerah yang bersangkutan. Beban yang harus ditanggung ini tidak saja menyangkut upaya pendistribusian maupun penempatan pada formasi yang tersedia, namun juga upaya pembiayaan dan pembinaan kepegawaian.

Yang perlu diperhatikan dalam penataan SDM di daerah adalah jangan sampai terjadi kecenderungan birokratisasi parkinsonian (Parkinson’s Law) maupun birokratisasi orwellian sebagaimana yang terjadi dalam tiga dasa warsa terakhir. Birokratisasi parkinsonian adalah proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali, dan terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Sedangkan birokratisasi orwellian adalah proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi (Darwin dalam Arfani, 1996: 217-218). Akibatnya, birokrasi Indonesia menjadi semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung inefektif dan inefisien.


Aspek Etika Birokrasi Publik


Sebagaimana diketahui, Birokrasi atau Administrasi Publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public policy).

Dalam prakteknya, selama kurun waktu sekitar 30 tahun, penyelenggara negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab pada Presiden / Mandataris MPR. Disamping itu, masyarakat belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang tumbuhnya KKN (Penjelasan Umum UU Nomor 28/1999).

Sementara dilihat dari dimensi administrasi publik, tumbuhnya “budaya” KKN pada masa silam dapat disimak dari proses perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) suatu kebijakan publik. Selama ini, pembentukan suatu aturan lebih banyak mengandung konsekuensi yuridis semata, sedangkan konsekuensi etis atau moral kurang diperhatikan.

Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan/atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai BENAR – SALAH, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai BAIK – BURUK. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi aparatur pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).


Daftar Pustaka

Darwin, Muhadjir, 1996, Pengembangan Aparatur Pemerintah Indonesia, dalam Riza Noor Arfani (ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: Rajawali.
Fernanda, Desi dan Ento Supriatna, Analisis Kewenangan Daerah Dan Pendekatan Kuantitatif Dalam Penataan Kelembagaan (Simulasi Bidang Kewenangan Pekerjaan Umum), dalam Jurnal Wacana Kinerja Nomor 8 tahun II, Bandung: LAN Perwakilan Jawa Barat.
Mustopadidjaja, 1999, Arah Kelembagaan Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota Sebagai Implikasi Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, makalah disampaikan pada lokakarya tentang “Kewenangan dan Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999”, tanggal 30 Juni – 1 Juli 1999 di Hotel Grand Aquilla Bandung.
Nisjar, Karhi, 1997, Beberapa Catatan Tentang Good Governance, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol 1 No. 2 Edisi Khusus.
Osborne, David, and Plastrik, Peter, 1996, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Thoha, Miftah dan Agus Dharma (ed.), 1999, Menyoal Birokrasi Publik, Jakrta: Balai Pustaka.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaja AR., 1988, Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan: Perkembangan Teori dan Penerapan, Jakarta: LP3ES.



Bandung, Juli 2000

Tidak ada komentar: