Abstract:
Walaupun pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999 telah berjalan efektif lebih dari satu tahun, namun tujuan fundamental yang diinginkan – yakni kemandirian daerah dan peningkatan pelayanan masyarakat – belum terlihat jelas. Justru pemerintah daerah lebih disibukkan oleh urusan-urusan kedalam (internal affairs), misalnya pembentukan SOTK yang baru. Meskipun strategi ini diyakini selaras dengan semangat desentralisasi, namun masih diragukan efektivitasnya untuk membangun kemampuan Pemda dalam menjalankan fungsi-fungsi atau kewenangan otonom yang sangat besar. Oleh karena ketidakmampuan Pemda merupakan kegagalan kebijakan desentralisasi, maka program capacity building merupakan strategi yang tidak dapat ditunda lagi oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia .
Pengantar
Salah satu hasil reformasi politik di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1997 adalah implementasi UU Nomor 22/1999, yang secara radikal telah merubah peraturan perundangan sebelumnya yakni UU Nomor 5/1974. Menurut UU tentang Pemerintahan Daerah ini, kewenangan pemerintah Daerah meningkat secara dramatis, sementara kewenangan pemerintah Pusat berkurang secara signifikan. Dibandingkan dengan UU sebelumnya, UU Nomor 22 tahun 1999 memberi kekuasaan yang lebih luas dan kebebasan yang lebih besar kepada pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangga, termasuk formulasi kelembagaan, alokasi sumber daya manusia, serta penggalian potensi pembiayaan di daerahnya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa desentralisasi di Indonesia identik dengan proses demokratisasi antar dan / atau dalam struktur pemerintahan daerah. Secara hipotesis, baik desentralisasi maupun demokratisasi bertujuan untuk mempercepat peningkatan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Sayangnya, tidak ada garansi dan tidak satu lembaga publikpun yang berani memberi jaminan, bahwa kehidupan masyarakat akan secara serta merta meningkat setelah pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Sebab, pencapaian tujuan desentralisasi akan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan pemerintah Daerah untuk merealisasikan dan mengintepretasikan kebijakan nasional kedalam kebijakan dan kondisi lokal. Dalam hal ini, hal yang harus dilakukan oleh perangkat Daerah adalah melakukan penyesuaian kebijakan (policy adjustment) dalam semua aspek yang diperlukan. Pada umumnya, sebagian besar pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) di Indonesia telah menyelesaikan penyesuaian kelembagaan (institutional adjustment) dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang SOTK. Landasan yuridis yang digunakan dalam rangka penataan kelembagaan ini adalah PP No. 84 tahun 2000. Atas dasar PP 84 dan Perda SOTK, struktur organisasi pemerintahan Daerah dapat dikatakan berubah secara esensial.
Meskipun demikian, pokok permasalahannya tidak terletak pada telah dilakukannya penyesuaian kelembagaan, namun fungsi dari lembaga yang baru dibentuk tersebut. Dalam 2 tahun terakhir setelah lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999, terdapat beberapa indikasi bahwa pemerintah Daerah kurang mampu menunjukkan performa terbaik dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka. Hal ini akan mengakibatkan kegagalan dalam mewujudkan tujuan atau misi dan visi organisasi. Dengan kata lain, terdapat tendensi bahwa institusi di daerah pasca 1999 kurang memiliki kapasitas atau kemampuan yang memadai. Oleh karena itu, bicara tentang fungsi dan tujuan organisasi publik, berarti membicarakan tentang kapasitas dan pengembangan kapasitas organisasi publik itu sendiri.
Mengingat bahwa pengembangan kapasitas memainkan peran penting dalam menunjang performa organisasi sekaligus mendorong keberhasilan kebijakan desentralisasi, maka pengkajian tentang bagaimana dan sejauh mana pemerintah Kabupaten / Kota telah melaksanakan langkah-langkah peningkatan kapasitas sangat diperlukan. Organisasi pemerintah yang kompeten, kompetitif dan profesional pada gilirannya akan mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Bayangan Kegagalan Otonomi Daerah
Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia – dan juga di negara-negara lain di dunia – pada hakekatnya bukanlah merupakan suatu tujuan dari praktek penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi hanya sebuah cara atau alat untuk menciptakan suatu proses interaksi antar anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah, serta antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dan oleh karena desentralisasi hanya menjadi alat dari serangkaian strategi untuk mencapai tujuan, maka dibutuhkan adanya kebijakan serta upaya-upaya konkrit yang dapat menjamin efektivitas alat tersebut. Sebab, desentralisasi an sich mengandung potensi yang sangat besar untuk gagal. Dengan kata lain, desentralisasi hanya akan mampu menyentuh dimensi idealis semata namun tidak pernah membumi sebagai suatu realitas.
Dalam hal ini, Hirotsune[1] secara sangat tajam mengingatkan tentang kemungkinan gagalnya implementasi otonomi luas, khususnya di Indonesia . Sebagai contoh, salah satu paradigma pokok yang terkandung dalam UU No. 22/1999 adalah mempromosikan proses demokratisasi di tingkal lokal. Jika demokrasi diartikan sebagai government of the people, by the people, for the people (Abraham Lincoln), maka pelaku utama dari sebuah pemerintahan mestinya adalah rakyat. Namun, pemerintah tidak pernah dikelola oleh rakyat, melainkan oleh parpol. Kenyataannya, rakyat seperti penonton sepakbola, dan pemain politik yang sebenarnya adalah anggota kesebelasan yang turun ke lapangan. Lebih parah lagi, harapan akan berkembangnya fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif juga terancam mandeg akibat dominasi parpol dalam “menentukan” jabatan-jabatan politis tertentu.
Disamping itu, UU No 22/1999 juga menonjolkan paradigma tentang pelayanan. Secara teoretis, hal ini akan menjadikan pemerintah daerah lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat di wilayahnya serta isu-isu lokal lainnya. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika politisi tingkat daerah lebih demokratis ketimbang politisi nasional. Ironisnya, politisi lokal kebanyakan lebih bersikap tradisional, otoriter, dan didominasi oleh kelas elit daerah yang berwawasan sempit, serta kurang terbiasa dengan proses demokratisasi dan keterbukaan informasi dibanding politisi nasional. Dengan mengamati fenomena-fenomena tersebut diatas, Hirotsune[2] menyatakan bahwa dalam hal infrastruktur administrasi belum siap atau disiapkan, maka implementasi desentralisasi secara besar-besaran akan memunculkan beberapa masalah, yaitu:
· Kesenjangan yang semakin lebar antar pemda yang kaya dan yang miskin.
· Berkurangnya tingkat pelayanan pemerintah di sebagian besar pemda karena adanya kesulitan anggaran atau kapasitas yang rendah.
· Meningkatnya jumlah “kerajaan lokal” dan sulitnya diciptakan sistem check and balance.
· Antagonisme antar kelompok-kelompok etnis.
Sejalan dengan pemikiran Hirotsune, Prud’homme[3] juga mengemukakan adanya tiga bahaya desentralisasi yaitu bahwa: 1) desentralisasi dapat memperbesar kesenjangan; 2) desentralisasi dapat mengancam stabilitas; dan 3) desentralisasi dapat mengurangi efisiensi. Dalam konteks Indonesia , bayangan kegagalan otonomi daerah dapat diamati dari berkembangnya gejala tarik menarik kepentingan dalam menentukan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, disintegrasi nasional berupa tuntutan merdeka dari beberapa propinsi seperti Aceh, Papua, Riau, dan sebagainya. Disamping itu, adanya kecenderungan superioritas Kabupaten / Kota terhadap Propinsi atau inferioritas Propinsi terhadap Kabupaten / Kota [4] juga memperkuat indikasi kegagalan tersebut.
Kesadaran terhadap besarnya ancaman kegagalan dari politik desentralisasi di suatu negara, akan mengantarkan kita kepada pemikiran tentang perlunya langkah strategis sebagai bagian integral dari implementasi desentralisasi itu sendiri, yaitu pengembangan kapasitas (capacity building). Merujuk kepada pendapat Hirotsune[5], pembangunan kapasitas merupakan tahap selanjutnya yang harus dipertimbangkan setelah menerapkan desentralisasi.
Dalam kerangka pikir seperti ini, pembangunan kapasitas merupakan prasyarat yang akan memperkuat infrastruktur administrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan daerah yang produktif. Infrastruktur administrasi yang kuat dan produktif sangat penting karena hal ini merupakan perwujudan good governance. Pada gilirannya, good governance diharapkan dapat memacu peningkatan kualitas pelayanan masyarakat. Dengan demikian, program pengembangan kapasitas pemerintah (daerah) tidak hanya berfungsi untuk memperkuat pelaksanaan program otonomi, tetapi juga untuk memperbaiki kinerja pelayanan secara menyeluruh.
Pengertian dan Tolok Ukur Pengembangan Kapasitas
Menurut GTZ[6], pengembangan kemampuan (capacity building) tidak didefinisikan berdasarkan instrumen yang digunakan melainkan tujuan untuk meningkatkan kemampuan individu dan institusi secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini berarti bahwa dalam pandangan GTZ, instrumen, alat ataupun metode bukan merupakan faktor kunci dalam pengembangan kapasitas. Namun yang terpenting adalah proses untuk membangun kualitas pribadi dan kelompok dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut memiliki kemampuan untuk menghasilkan kinerja terbaik melalui perumusan kebijakan (dan pemecahan masalah) yang tepat. Beberapa definisi lain tentang capacity building dibawah ini memiliki pengertian yang sangat mirip dengan yang dikemukakan oleh GTZ
· In general terms, capacity building is a process or activity that improves the ability of a person or entity to carry out stated objectives. In practice, however, capacity building is often equated with strengthening the organizations and the people that enable services to be delivered effectively and continuously through the execution of different functions.[7]
· Capacity development is the process by which individuals, groups, organizations, institutions and societies increase their abilities to: 1) perform core functions, solve problems, define and achieve objectives; and 2) understand and deal with their development needs in a broad context and in a sustainable manner.[8]
· Capacity building refers to investment in people, institutions, and practices that will, together, enable countries in the region to achieve their development objectives.[9]
Keseluruhan definisi diatas, pada dasarnya mengandung kesamaan dalam tiga aspek sebagai berikut:
· Bahwa pengembangan kapasitas merupakan suatu proses.
· Bahwa proses tersebut harus dilaksanakan pada tiga level/tingkatan, yaitu individu, kelompok dan institusi/organisasi.
· Bahwa proses tersebut dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan organisasi melalui pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang bersangkutan.
Sebagai suatu proses, Acosta[10] menyarankan bahwa pengembangan kapasitas pemerintah daerah perlu diarahkan kepada empat komponen yaitu:
· Administrative system improvement. Proses ini akan menghasilkan struktur organisasi yang lebih fleksibel dan responsif, sumber daya yang lebih terdesentralisasi, serta prosedur yang lebih efisien.
· Developing staff competencies. Hal ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan baik teknis maupun manajerial.
· More effective goal-setting. Ini penting untuk menciptakan budaya organisasi guna memfasilitasi hubungan antar sector, kepemimpinan politik serta birokrasi local dalam pencapaian tujuan.
· Internalizing public accountability, mutlak diperlukan untuk mendorong pelayanan umum yang commited, competent, responsive, dan responsible.
Sementara itu mengenai tingkatan dalam pengembangan kapasitas, dalam makalah ini hanya difokuskan kepada tingkatan pertama (individu) dan ketiga (organisasi). Tingkatan kedua tidak ditekankan dengan alasan bahwa jika individu-individu dalam suatu organisasi memiliki kemampuan tinggi, maka secara logis akan membentuk kemampuan kelompok yang tinggi pula. Selanjutnya, kemampuan institusional yang optimal secara langsung maupun tidak langsung pasti dikontribusikan dari kinerja kelompok yang optimal pula. Oleh karena itu, dengan hanya menonjolkan pembahasan pada low level (individu) dan top level (organisasi) saja, diharapkan secara implisit dapat mengcover atau memberikan gambaran tentang kondisi pada middle level, yaitu kapasitas kelompok.
Adapun untuk mengukur tingkatan kompetensi atau kapasitas individu, disini digunakan konsep dari Gross[11], yang menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan adalah sebagai berikut:
· Knowledge yang meliputi: general knowledge, technical knowledge, jobs and organisation, administrative concept and methods, dan self-knowledge.
· Ability yang meliputi: management, decision making, comunication, planing, actuating / organizing, evaluating / controling, working with others, handling conflicts, intuitive thought, comunication, dan learning.
· Interest yang meliputi: action orientation, self-confidence, responsibility, dan normes and ethics.
Sedangkan untuk melihat kemampuan pada level organisasi, konsep yang diajukan oleh Polidano[12] agaknya sangat cocok untuk diterapkan pada sektor publik (pemerintahan). Ia mengemukakan adanya tiga elemen penting untuk mengukur kapasitas sektor publik, sebagai berikut:
· Policy capacity, yaitu kemampuan untuk membangun proses pengambilan keputusan, mengkoordinasikan antar lembaga pemerintah, dan memberikan analisis terhadap keputusan tadi.
· Implementation authority, yaitu kemampuan untuk menjalankan dan menegakkan kebijakan baik terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat secara luas, dan kemampuan untuk menjamin bahwa pelayanan umum benar-benar diterima secara baik oleh masyarakat.
· Operational efficiency, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan umum secara efektif/efisien, serta dengan tingkat kualitas yang memadai.
Pemahaman tentang kapasitas diatas dapat dikatakan masih terbatas pada aspek manusianya saja (human capacity). Pengembangan kemampuan SDM ini harus menjadi prioritas pertama oleh pemerintah daerah, karena SDM yang berkualitas prima akan mampu mendorong terbentuknya kemampuan faktor non-manusia secara optimal. Dengan kata lain, kemampuan suatu daerah secara komprehensif tidak hanya tercermin dari kapasitas SDM-nya saja, namun juga kapasitas yang bukan berupa faktor manusia (non-human capacity), misalnya kemampuan keuangan dan sarana/prasarana atau infrastruktur.
Baik kapasitas SDM maupun kapasitas non-SDM ini secara bersama-sama akan membentuk kapasitas internal suatu organisasi (dalam hal ini pemerintah daerah). Namun, walaupun kapasitas internal suatu pemerintah daerah berada pada level yang tinggi, tidak secara otomatis dikatakan bahwa kinerja pemerintah daerah itu secara agregat juga tinggi. Disini diperlukan adanya indikator-indikator eksternal yang dapat menjadi faktor pembanding / penilai / pengukur dari kapasitas internal tersebut. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa kapasitas internal yang tinggi merupakan prasyarat untuk menciptakan indikator kinerja eksternal yang tinggi. Adalah tidak masuk akal bahwa kinerja eksternal dapat dipacu dengan kemampuan internal yang terbatas.
Dalam hubungan ini, jika kinerja eksternal pada suatu daerah menunjukkan indikasi yang positif, secara asumtif dapat dijustifikasi bahwa kemampuan internal daerah itu berada pada level yang baik. Pada gilirannya, kemampuan internal daerah yang baik ditambah dan/atau dibuktikan dengan positifnya indikator-indikator eksternal, akan membentuk kemampuan / kapasitas daerah secara menyeluruh atau komprehensif. Adapun yang dimaksud dengan kinerja eksternal disini adalah segala hasil capaian diluar struktur kelembagaan pemerintah daerah namun diperoleh karena adanya aktivitas yang dilakukan pemerintah daerah tersebut. Kinerja ini dapat berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat secara progresif (ditopang oleh indikator ekonomi makro), kualitas lingkungan sebagai dampak dari kebijakan, hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan warganya (ditunjukkan oleh tingginya tingkat partisipasi dan legitimasi, serta rendahnya keluhan masyarakat), dan sebagainya.
Pola pikir tentang pengembangan kemampuan pemerintah daerah yang diawali dengan penguatan kapasitas internal baik pada faktor SDM maupun non-SDM, dan upaya mewujudkan kemampuan total (agregat) melalui penggunaan indikator-indikator eksternal ini, dapat disederhanakan seperti pada gambar 1.
Pengembangan Kapasitas Dalam Perspektif Kelembagaan
Diatas telah disebutkan bahwa penyesuaian kelembagaan Pemda (institutional adjustment) merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh untuk merealisasikan program otonomi daerah secara luas. Rasionalisasinya, penyesuaian kelembagaan ini akan menghasilkan sosok organisasi dan/atau perangkat daerah yang lebih tepat, lebih efektif, serta lebih kapabel dalam melaksanakan urusan-urusan rumah tangga daerah (baca: otonomi) yang semakin luas dan berat. Dengan kata lain, penyesuaian kelembagaan dimaksudkan sebagai salah satu cara membangun kapasitas Pemda.
Itulah sebabnya, sesuai dengan semangat otonomi luas yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999, PP No. 84 tahun 2000 meningkatkan jenjang eselon jabatan di daerah sekaligus memberi keleluasaan kepada Daerah untuk menyusun format kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik maupun kebutuhan daerahnya masing-masing. Akibatnya, meskipun masih ada kecenderungan untuk membentuk kelembagaan yang “seragam”, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan, misalnya:
1. Dalam hal penetapan jumlah / kuantitas Perangkat Daerah, sebagian besar daerah Kabupaten / Kota di Jawa Barat mengurangi jumlah Dinas antara 2 hingga 6 unit namun menambah Lembaga Teknis antara 3 hingga 5 unit. Meskipun demikian, Kabupaten Ciamis merupakan pengecualian dengan menambah 1 Dinas serta mengurangi 4 Lembaga Teknis. Sedangkan Kota Cirebon relatif mempertahankan kelembagaan yang sudah ada dengan hanya mengurangi 1 unit Dinas Daerah. Sementara dilihat dari aspek Eselonisasi Jabatan, penataan kelembagaan berimplikasi kepada perampingan struktur organisasi di sebagian besar daerah, yang dilakukan dengan memangkas eselon pada level bawah (V dan IV). Khusus untuk Ciamis dan Cirebon , perampingan eselon tetap terjadi meskipun tidak terlalu signifikan dibanding daerah lainnya.
2. Perbedaan dalam penyusunan format kelembagaan daerah tersebut tentu saja tidak terlepas dari adanya perbedaan orientasi kebijakan Kepala Daerah dan Badan Legislatif dari masing-masing Kabupaten / Kota . Dalam kasus diatas, terdapat tiga orientasi sebagai berikut:
· Pengurangan (downsizing) Dinas dan penambahan (upsizing) Lembaga Teknis. Orientasi seperti ini terjadi di Kabupaten Bandung , Cianjur dan Subang, serta Kota Bogor dan Bekasi.
· Penambahan (upsizing) Dinas pengurangan (downsizing) Lembaga Teknis, terjadi di Ciamis.
· Orientasi untuk seminimal mungkin melakukan restrukturisasi, atau orientasi untuk mempertegas kelembagaan yang telah ada. Hal ini terjadi di Kota Cirebon .
Kebijakan yang saling bertolak belakang ini merupakan fenomena yang menarik dalam implementasi desentralisasi secara luas, dan oleh karenanya perlu dianalisis secara seksama dan hati-hati. Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya, meskipun Dinas dan Lembaga Teknis sama-sama merupakan perangkat daerah, namun memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda. Dinas Kabupaten/Kota adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah yang bertugas melaksanakan kewenangan otonomi dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi, dengan fungsi-fungsi: 1) perumusan kebijakan teknis, 2) pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum, dan 3) pembinaan pelaksanaan tugas. Sedangkan Lembaga Teknis merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah yang bertugas membantu Bupati / Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah di bidangnya dengan fungsi melakukan perumusan kebijakan teknis dan pemberian pelayanan penunjang.[13]
Ketentuan diatas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Tugas Dinas, karena sifat dasarnya sebagai pelaksana urusan rumah tangga sendiri, lebih terkonsentrasi kepada pemberian layanan umum (center of excellence) dalam rangka memacu pendapatan daerah (center of income). Disisi lain, tugas Lemtek, karena sifat dasarnya sebagai unsur penunjang, lebih ditujukan kepada pembantuan bagi Kepala Daerah (auxiliary unit) disamping untuk memberikan pelayanan umum.
Sesuai dengan karakteristik tersebut, maka dalam konteks otonomi daerah, keberadaan Dinas jelas lebih dibutuhkan dan / atau menguntungkan bagi Daerah maupun bagi masyarakat di daerah tersebut. Sebab, hakekat otonomi luas adalah peningkatan kemandirian daerah dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan masyarakat. Dalam hal ini, salah satu strategi untuk meningkatkan kemandirian daerah adalah dengan memperkuat sumber-sumber pendapatan yang potensial untuk dikembangkan. Sehubungan dengan hal tersebut, strategi Ciamis yang menambah jumlah Dinas dan mengurangi jumlah Lemteknya, dapat dikatakan lebih searah dengan nafas atau semangat desentralisasi. Meskipun demikian, strategi yang ditempuh daerah lain tidak serta merta berarti bertentangan dengan kehendak UU Nomor 22 Tahun 1999. Banyak pertimbangan lain yang menyertai penataan organisasi, misalnya efektivitas dan efisiensi birokrasi.
3. Adanya perbedaan yang kontras antara orientasi (a) dan (b) pada butir 2 diatas berkaitan erat dengan perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing daerah. Kota Cirebon dapat ditunjuk sebagai contoh daerah yang mengedepankan “kemapanan”, sehingga cenderung menghindari adanya perubahan secara besar-besaran. Penggantian produk hukum, rotasi/mutasi/promosi/demosi, serta perubahan prosedur / tata kerja sedapat mungkin diminimalisir. Disisi lain, pengurangan struktur dan eselon jabatan jelas mengandung hasrat untuk mendorong efektivitas dan efisiensi birokrasi, khususnya dari segi anggaran dan rentang kendali (span of control).
Terhadap tujuan yang terakhir ini akan memunculkan kesan tarik menarik antara perlunya pemangkasan organisasi dalam rangka efisiensi disatu pihak, dengan perlunya memperkuat (atau menambah) kelembagaan dinas dalam rangka mempercepat kemandirian daerah dilain pihak. Tentu saja hal ini dapat diatasi dengan cara tetap mengurangi jumlah auxiliary unit dan mengurangi jumlah eselon yang ada (khususnya di level bawah), namun pada saat bersamaan menetapkan jumlah Dinas yang paling rasional (tidak selalu penambahan). Dengan demikian, kelembagaan daerah diharapkan dapat sesuai dengan kebutuhan (fit in function) namun ramping dalam struktur (lean in structure). Dengan profil kelembagaan yang fit in function and lean in structure ini, peningkatan mutu pelayanan dan kemandirian daerah dapat lebih diwujudkan.
Sayangnya, dari data diatas terdapat indikasi bahwa penataan kelembagaan yang sudah berjalan di daerah kurang memperhatikan prinsip fit in function and lean in structure. Hal ini antara lain dikarenakan payung kebijakan yang mengatur tentang pedoman penataan organisasi / kelembagaan daerah, yaitu PP Nomor 84 Tahun 2000 sendiri masih mengandung beberapa kelemahan. Dalam hubungan ini, GTZ mengemukakan beberapa kritik terhadap PP Nomor 84 Tahun 2000 sebagai berikut[14]:
1. PP Nomor 84 Tahun 2000 tidak membedakan antara daerah otonom besar dan kecil.
Dalam kenyataannya, Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat tajam dalam hal luas wilayah dan jumlah penduduk. Sebagai contoh, penduduk Kota Mojokerto berjumlah sekitar 100.000, sedangkan Surabaya berjumlah hampir 3 juta. Sayangnya, jenjang eselonisasi untuk suatu jabatan tidak dimungkinkan berbeda. Itulah sebabnya, Sekretaris Daerah baik di Mojokerto maupun di Surabaya sama-sama bereselon IIa. Lebih tidak logis lagi jika dibandingkan antara Propinsi kecil (misal Bengkulu) dengan Kota besar (misal Surabaya ). Dilihat dari jumlah penduduk dan luas kewenangan, Kota Surabaya lebih besar / lebih luas disbanding Propinsi Bengkulu, namun jenjang eselon lebih tinggi di Propinsi Bengkulu.
Untuk mengatasi hal ini, GTZ merekomendasikan agar sistem eselonering dirubah menjadi sebuah skala pemberian tunjangan dikaitkan dengan fungsi administratif/professional dari suatu jabatan. Dengan demikian, semakin luas dan berat fungsi administratif/professional jabatan tertentu, maka semakin besar pula tunjangan yang diterima oleh pemangku jabatan tersebut. Dan tinggi/besarnya tunjangan jabatan, akan menunjukkan tingginya eselon dari jabatan tersebut.
2. PP Nomor 84 Tahun 2000 lebih menonjolkan kepada kepentingan jangka pendek. Sebagai contoh, PP ini hanya memberikan waktu sampai dengan tahun 2001 (± 2 tahun) untuk menyusun format kelembagaan yang baru. Padahal, pemerintah Kabupaten/Kota harus mengambil alih sebagian besar kewenangan Pusat dan Propinsi, serta kelembagaan vertikal dan personilnya. Pengalihan berbagai sumber daya (3P) ini saja sudah membawa banyak persoalan di daerah. Namun pada saat yang bersamaan, Pemda sudah dituntut untuk merumuskan format kelembagaan yang baru. Dengan kata lain, Pemda tidak memiliki cukup waktu untuk membuat perencanaan jangka panjang yang matang. Dengan demikian, penyusunan SOTK yang baru hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, yakni perintah dari PP Nomor 84 tahun 2000 ini.
3. Masalah rentang kendali dibawah Sekretaris Daerah. Oleh karena Asisten dan Kepala Dinas memiliki eselon yang sama, secara logika Sekretaris Daerah tidak dapat mendelegasikan sebagian fungsi dan kewenangannya kepada Asisten untuk mengawasi / mengkoordinasikan beberapa dinas. Dalam hal ini, GTZ mengajukan dua alternatif kebijakan yakni Asisten diberi eselon diantara Sekda dan Kepala Dinas, atau dibentuk lebih dari satu Sekda.
4. Disamping kekurangan-kekurangan diatas, PP Nomor 84 tahun 2000 juga mengandung kelemahan secara teknis. Misalnya, tidak adanya penjelasan terhadap pasal-pasal dan ayat-ayat menyebabkan terjadinya interpretasi yang beragam.
Permasalahannya adalah, jika peraturan yang menjadi payung dan pedoman dalam pembentukan organisasi di daerah masih mengandung banyak kekurangan, maka dapat dipastikan bahwa hasil (output) kelembagaan daerah juga menjadi bermasalah. Selanjutnya, jika kelembagaan aparat daerah bermasalah, maka jelas kurang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal, dan akibatnya pelayanan masyarakat dan kemandirian daerah tidak akan pernah mencapai standar sebagaimana diharapkan. Artinya, kebijakan desentralisasi secara luas yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999 mengalami kegagalan. Dalam konteks inilah, sekali lagi, program pengembangan kapasitas pemerintah daerah menjadi keniscayaan.
Agenda Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah
Strategi membangun kapasitas pemerintah daerah tentu tidak bersifat tunggal. Pendekatan yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya perbedaan dalam strategi yang ditempuh. Dalam hubungan ini, Hirotsune[15] mengemukakan enam poin utama untuk mempromosikan pembangunan kapasitas pemerintah daerah, yaitu:
· Standarisasi pelayanan pemerintah secara nasional.
· Kapasitas kebijakan pembangunan dan proses implementasinya.
· Modernisasi birokrasi dalam rangka reformasi administrasi.
· Reorganisasi batas wilayah pemerintah daerah.
· Sistem check and balance dalam pemerintah daerah.
· Basis keuangan.
Berdasarkan opsi yang ditawarkan Hirotsune diatas, serta didasari pula oleh pola pikir pada Gambar 1, maka pengembangan kapasitas dalam makalah ini harus dilakukan pada jenis-jenis kapasitas yang ingin dicapai, yaitu: kapasitas SDM dan kapasitas non SDM. Kedua jenis kapasitas inilah yang akan membentuk kapasitas internal organisasi. Dan setelah dilakukan assessment/measurement dengan kinerja eksternal, konstruksi kapasitas pemerintah daerah secara agregat dapat diketahui. Untuk itu, beberapa strategi dibawah ini perlu dipertimbangkan untuk membangun kapasitas pemerintah daerah.
1. Peningkatan Standar Pelayanan Pemerintah.
Untuk mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan umum, diperlukan adanya terobosan ketatalaksanaan. Sebab, walaupun saat ini sudah ada ketentuan tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), namun pelayanan yang benar-benar terstandarisasi belum pernah terwujud. Kemajuan paling penting dalam praktek pelayanan di Indonesia baru sebatas pembentukan unit-unit pelayanan terpadu, namun tetap belum menjadi jaminan kepuasan masyarakat. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah daerah merubah paradigmanya, yakni menempatkan masyarakat sebagai pelanggan.[16] Inti dari gagasan ini adalah bahwa terhadap suatu keberhasilan perlu diberikan penghargaan dan atas setiap kegagalan perlu dikenakan sanksi tertentu, sehingga model ini disebut juga sebagai competitive local government.
Dalam kedudukan masyarakat sebagai pelanggan, adalah sangat penting bagi pemerintah untuk memperbaiki “kontrak sosial” yang baru dibidang pelayanan umum. Dalam hal ini, apa yang telah dilakukan pemerintah Malaysia dan Inggris perlu dicontoh, yakni membuat perjanjian yang bernama “local public service agreement”[17] antara pemerintah (Pusat) dengan Dewan Kota tertentu secara individual. Perjanjian ini berisi standar-standar yang harus dicapai oleh Dewan Kota dalam jangka waktu 3 hingga 5 tahun. Jika Dewan Kota dapat mencapai target yang diperjanjikan, maka Pemerintah akan memberikan reward/grant 16,509,825 pounds (untuk kasus Kota Leeds). Jika Dewan Kota hanya mampu mencapai target sebesar 60%, maka hanya 60% dari grant yang akan diterimanya. Dengan demikian, tujuan utama dari perjanjian ini adalah mempercepat pemberian layanan dan/atau meningkatkan mutu pada level yang lebih tinggi bagi penduduk di wilayah tertentu tersebut.
Untuk kasus Indonesia , tanggung jawab pemberian layanan umum berapa pada pundak pemerintah daerah. Tentu saja jika ingin meniru model Inggris, perjanjian dapat dilakukan bukan antrara Pemerintah Pusat dengan Dewan Kota (Pemerintah Daerah dan DPRD), namun antara Pemerintah Daerah dengan perwakilan masyarakat (DPRD ditambah dengan unsure NGO).
Dalam skala yang lebih mikro, APO [18] menawarkan beberapa langkah konkrit yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja pelayanan umum dengan menyederhanakan prosedur serta penambahan counter atau loket-loket pelayanan melalui pemberdayaan sumber daya lain. Hal ini dapat ditempuh dengan tiga macam bentuk:
· Penyediaan one-stop services, misalnya dengan menetapkan kantor pos sebagai tempat pembayaran berbagai macam tagihan (pajak, listrik, telepon, dll) sekaligus tempat untuk mengeluarkan paspor, memperbaharui SIM, pembayaran pensiun/TASPEN, dan sebagainya.
· Penyediaan non-stop services, misalnya dengan menetapkan kios / mini market, internet dan loket-loket layanan sepanjang 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 365 hari setahun.
· Penyediaan any-stop services, dimana pelayanan tertentu yang menjadi kompetensi lembaga atau daerah tertentu dapat dilakukan di lembaga atau daerah lain, misalnya pelayanan pendaftaran penduduk.
Gagasan yang ingin dikembangkan dari ketiga bentuk pelayanan diatas adalah bahwa pelayanan kepada masyarakat tidak boleh terhenti dengan alasan “diluar jam kerja”. Di negara-negara maju seperti jepang dan Singapura, sistem ini telah lama diterapkan tanpa harus selalu membangun SIM secara terpadu terlebih dahulu. Namun dalam hal any-stop services, keberadaan sistem informasi yang on-line merupakan syarat awal yang harus dipenuhi.
2. Peningkatan Kapasitas Kebijakan Pembangunan.
Pada era berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, di Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) terdapat tiga jenis kelembagaan yang bersifat lini, yaitu aparat otonom (Dinas), instansi vertikal Pusat (Kantor Departemen), dan instansi vertikal Propinsi (Cabang Dinas). Sebagai contoh, pelaksanaan urusan pendidikan dan kebudayaan dijalankan secara bersama-sama oleh Dinas P dan K, Kantor Departemen P dan K, serta Cabang Dinas P dan K. Dengan kata lain, kepentingan Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota sama-sama bermain di tempat yang sama dengan institusi yang berbeda. Akibatnya jelas bahwa kondisi ini mengakibatkan sulitnya pelaksanaan koordinasi karena adanya tumpang tindih, baik secara organisatoris maupun substansial. Peran pemerintah daerah sendiri, tidak lebih hanya sebagai implementator dari kebijakan yang ditetapkan di tingkat pusat.
Dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999, keberadaan instansi vertical baik Pusat maupun Propinsi ditiadakan. Implikasinya, suatu kewenangan bidang tertentu hanya dilaksanakan oleh aparat otonom tertentu pula. Sebagai contoh, hanya terdapat Dinas Pendidikan sebagai pemegang tanggung jawab dan pelaksana urusan Pendidikan.
Dalam khazanah administrasi publik, model kelembagaan terpusat yang berada di daerah ini disebut centralized local government. Model ini memiliki keunggulan yakni adanya integrasi dalam formulasi dan implementasi kebijakan (policy oriented), sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang jauh lebih baik dibanding pada model divided local government yang diterapkan sebelumnya. Tantangannya adalah, pemerintah daerah harus memiliki dan membangun lembaga pemikir yang dapat diandalkan.
3. Modernisasi Birokrasi.
Desentralisasi yang sedang berjalan di Indonesia pada saat ini pada dasarnya baru berada pada jenjang pertama dari proses desentralisasi secara utuh, yakni dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sayangnya, konsep desentralisasi jenjang kedua (dari pemerintah daerah kepada masyarakat) belum begitu dikembangkan. Padahal, desentralisasi inilah yang secara riil mencerminkan terbentuknya demokrasi tingkat akar rumput (grass root democracy) yang menjadi syarat pelaksanaan pembangunan daerah yang berbasis partisipasi (partisipatory-based development). [19]
Disamping itu, modernisasi birokrasi perlu dipacu secara internal dengan mendesain ulang sistem pendidikan aparatur dengan lebih menekankan kepada proses belajar dari pada latihan (learning rather than training). Selama ini diklat aparatur baik penjenjangan maupun teknis fungsional lebih bersifat “indoktrinasi” kepada peserta dan kurang membangkitkan motivasi. Diklat yang didesain untuk menduduki atau sebagai syarat jabatan, jelas merupakan paradigma klasik yang perlu ditinggalkan. Dengan kata lain, sistem diklat PNS selama ini sangat miskin dengan proses pembelajaran (learning process). Marquardt, sebagaimana dikutip oleh Chan[20] memberikan perbedaan prinsip antara training dengan learning sebagai berikut:
Training memiliki karakteristik sebagai berikut:
· Outside in, done by others, assumes relative stability
· Focuses on knowledge, skills, ability, and job performance accomplishment
· Appropriate for development basic competencies
· Emphasizes improvement
· Not necessarily linked to organization’s mission and strategies
· Structured learning experiences with short-term focus,
Sedangkan learning memiliki karakteristik sebagai berikut:
· Inside out, seek to do for self, assumes continuous change
· Focuses on values, attitudes, innovation and outcome
· Helps organizations and individuals learn how to learn and create own solutions
· Emphasizes breakthrough
· Directly aligned with organization’s vision and requirements for success
· Formal and informal, long-term future oriented, learner-initiated
4. Reorganisasi “Batas Wilayah”.
Sejak UU Nomor 22 tahun 1999 digulirkan, potensi konflik tentang “urusan / kewenangan yang bersifat lintas daerah” semakin merebak. Kasus “Bantargebang” antara Pemda DKI dengan Kota Bekasi menjadi contoh konkrit rawannya mengelola urusan lintas daerah, dalam hal ini persampahan. Disamping persampahan, bidang-bidang lain seperti air bersih, transportasi, perumahan, jalan, kehutanan / perkebunan dan pertambangan, juga sangat potensial menimbulkan sengketa administratif.
Metode pemecahan masalah yang sangat sederhana namun efektif terhadap hal tersebut sebenarnya adalah dengan mengintegrasikan daerah yang bersengketa. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, banyak Kabupaten yang hendak dimekarkan menjadi beberapa daerah otonom. Bahkan banyak Kota Administratif yang ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pola kelembagaan publik baru yang terbangun dari komposisi tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Hubungan antara ketiga belah pihak ini akan membentuk mekanisme triangulasi yang saling mendukung dan saling menguntungkan.
Dengan model kelembagaan demikian, diharapkan dapat diciptakan kinerja sektor publik yag lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya. Dalam perspektif pelayanan, peningkatan kinerja pemerintah dapat dilihat dari pemberian jasa tertentu kepada masyarakat yang berpedoman pada prinsip better, faster, dan cheaper. Hal ini mengandung pengertian bahwa rekayasa kelembagaan yang berbasis kemitraan juga didasarkan pada filosofi untuk mendorong kualitas pelayanan umum (public service delivery). Dalam hubungan ini, format kelembagaan yang berbasis kemitraan (partnership-based institution) dapat dijadikan sebagai pilihan strategis. Disini terdapat dua alternatif yang dapat dipilih sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu Amalgamasi Internal dan Amalgamasi Eksternal.
Pola amalgamasi internal dimaksudkan sebagai penggabungan atau integrasi beberapa unit organisasi kedalam satu wadah tertentu dalam rangka menyelenggarakan urusan yang sama atau sejenis. Integrasi tadi perlu dilakukan mengingat bahwa setiap unit organisasi memiliki kepentingan yang sama terhadap suatu urusan tertentu, atau memiliki tugas dan fungsi yang saling terkait satu dengan yang lain. Adapun yang dimaksud dengan amalgamasi internal adalah integrasi beberapa unit organisasi di suatu daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan tertentu di daerah tersebut.
Sedangkan Pola amalgamasi eksternal merupakan suatu gabungan atau integrasi unit-unit organisasi antar daerah. Beberapa daerah yang telah menerapkan konsep ini antara lain Kertomantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), atau BKS Jabotabek (Badan Kerjasama Jakarta, Bogor , Tangerang dan Bekasi). Struktur kelembagaan dan mekanisme kerja dari pola seperti ini sepenuhnya tergantung kepada perjanjian antar pemerintah daerah yang berkepentingan (intergovernmental agreement).
5. Membangun Sistem Check and Balance.
Ketentuan lama dalam UU Nomor 5 tahun 1974 bahwa Kepala Wilayah adalah penguasa tunggal, seolah-olah menjadi legitimasi bagi berkembangnya supremasi Kepala Daerah terhadap DPRD. Konsekuensinya, fungsi kontrol legislatif menjadi mandul dan kooptasi eksekutif terhadap dewan berjalan secara sempurna. Dalam iklim demokrasi dewasa ini, sistem check and balance diharapkan dapat dijalankan secara lebih proporsional.
Sayangnya, realitas politik di Indonesia pasca pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 menunjukkan adanya pembalikan posisi, dimana DPRD yang semula hanya merupakan “bagian / unsur dari pemerintah daerah” menjadi lembaga yang berhak meminta pertanggungjawaban kepada daerah. Dengan kata lain, kedudukan DPRD berubah dari inferior menjadi superior terhadap Kepala Daerah. Kasus pemecatan Walikota Surabaya menjadi contoh yang gamblang tentang kekuatan baru DPRD.
Mengingat adanya kecenderungan yang salah kaprah sebagaimana dipaparkan diatas, maka perlu dipikirkan adanya mekanisme yang memungkinkan dilakukannya pengawasan langsung terhadap DPRD. Dalam era dimana akuntabilitas sektor publik menjadi tuntutan utama, maka pertanggungjawaban lembaga publik terhadap konstituennya adalah mutlak. Tanpa hal tersebut, kita tidak akan pernah menyaksikan birokrasi yang benar-benar bersih dan akuntabel.
6. Memperkuat Basis Keuangan.
Seiring dengan meningkatnya kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah, kewenangan penggalian dan pengelolaan potensi sumber-sumber penghasilan (misalnya pajak dan retribusi) juga ikut meningkat pula. Dengan kata lain, desentralisasi kewenangan memiliki hubungan tegak lurus dengan desentralisasi fiskal sebagai prasyarat keberhasilan otonomi daerah. Berdasarkan paket perundang-undangan tentang desentralisasi fiskal, sumber-sumber penghasilan daerah meliputi: pajak dan retribusi (UU Nomor 34/2000), dana perimbangan atau balance funds (pasal 6 UU Nomor 25/1999), pinjaman (PP Nomor 107 tahun 2000), serta bagian hasil penerimaan pajak penghasilan (SK Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001).
Dengan basis keuangan seperti diatas, daerah diharapkan tidak tergantung lagi kepada pemerintah pusat, sekaligus dapat memperkuat pelaksanaan program otonomi di daerahnya.
Penutup
Tanpa bermaksud mengabaikan peran (dan intervensi pada batas tertentu) dari pemerintah pusat, kita dapat belajar dari kasus negara-negara lain dimana proses desentralisasi tidak dapat berjalan baik karena keterbatasan pemerintah daerah. Karena kegagalan tersebut, maka terjadilah proses resentralisasi atau pengambilalihan kewenangan oleh Pusat. Kasus ini banyak terjadi di Afrika[21]. Ini berarti bahwa program pengembangan kapasitas pemerintah daerah (local government capacity building) sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya resentralisasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan.
Meskipun demikian, bukan hanya kemungkinan terjadinya resentralisasi yang harus dicapai. Lebih dari itu, kebijakan desentralisasi harus menghasilkan pemerintahan yang lebih baik, dan pemerintahan yang lebih baik harus mampu menghasilkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik pula (decentralization for better government; better government for better society).
Sesuatu yang pasti adalah bahwa apapun yang dilakukan pemerintah daerah, dan apapun hasil yang dicapai, hanya masyarakatlah yang akan membuktikan, apakah pemerintah sudah dinilai serius dan berhasil dalam menjalankan otonomi (yang semestinya adalah milik masyarakat). Masyarakat pulalah yang akan menjadi indikator terbaik untuk mengukur kinerja pemerintah daerah.
Catatan:
Naskah asli dan selengkapnya dari paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Maret 2002.
[1] Kimura Hirotsune, Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional?, dalam Jurnal Ketahanan Nasional, No. IV (3), Desember 1999.
[2] Ibid.
[3] Rémy Prud’homme, The Dangers of Decentralization, dalam The World Bank Research Observer, vol. 10, no. 2 (August 1995), hlm. 201-220
[4] Tri Widodo Wahyu Utomo, Propinsi dan Sindrom Inferioritas, dalam Republika, 26 September 2000.
[5] Kimura Hirotsune, op.cit.
[6] GTZ, Capacity Building for Sustainable Development, 1999, mendefinisikan bahwa capacity building is not defined through the instrument used, but its goal to enhance the capability of people and institution sustainability to improve their competence and problem solving capacities.
[7] Lisanne Brown, Anne LaFond, and Kate Mcintyre, Measuring Capacity Building , Carolina Population Center , University of North Carolina , March 2001, p. 5
[8] UNDP, “Capacity Development”, Technical Advisory paper II, in: Capacity Development Resource Book, Management Development and Governance Division, 1997
[9] World Bank, Partnership for Capacity Building in Africa , A Progress Report, 1997.
[10] Rolando M. Acosta, Berhane Belay, Wilfredo B. Carada (et.al), Local Government Capability Building Handbook, Manila :
[11] Bertram M. Gross, Organizations and Their Managing, New York : Free Press, 1968.
[12] C. Polidano, Measuring Public Sector Capacity, dalam World Development, Vol. 28 Number 5, May 2000
[13] Lihat pasal 62 UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 84 Tahun 2000 pasal 8-9.
[14] GTZ, Discussion Paper No. 26: Comments on Government Regulation No. 84/2000 on Guidelines for Organisational Structure of the Regional Administration, December 2000.
[15] Kimura Hirotsune, op.cit.
[16] Untuk mendapatkan gambaran tentang “Model Baru Berpemerintahan” ini, baca Neal Ryan, Reconstructing Citizens as Consumers: Implications for New Modes of Governance, dalam Australian Journal of Public Administration, 2001, hlm. 104-109.
[17] Department of Transport, Local Government and the Regions, Local Public Service Agreement: A Prospectus for Pilot Authorities, July 2000. Untuk isi perjanjian secara detail, lihat naskah perjanjian antara Pemerintah dengan Dewan Kota masing-masing (available at internet web: http://www.local-regions.dtlr.gov.uk).
[18] Asian Productivity Organization, Productivity and Quality Improvement in Civil Service, Tokyo , 1998, hlm. 8-9.
[19] Kimura Hirotsune, op.cit.
[20] Arnold Tick Yeow Chan, Features of Learning Organization As A New Management Paradigm: Theory and Practice, dalam Learning Organizations, Asian Productivity Organization, 2001.
[21] James S. Wunsch, Decentralization, Local Governance and “Recentralization” in Africa, dalam Jurnal Public Administration and Development, vol. 21 no. 4, October 2001, hlm. 277-188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar