SETELAH berjalan selama 8 tahun, sudah sepantasnya jika kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi luas kepada daerah telah menampakkan hasilnya bagi masyarakat. Bangunan gedung-gedung pemerintah, kemunculan pusat-pusat pertumbuhan baru, atau penambahan infrastruktur dasar, adalah beberapa hasil kasat mata (tangible) yang positif dari gelombang transfer kewenangan dari Pusat kepada Daerah. Namun jika kita mau berpikir seimbang, maka fakta-fakta masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, merebaknya inefisiensi penggunaan anggaran, atau munculnya kasus-kasus mis-manajemen seperti banjir, kemacetan, penggusuran, aksi massa jalanan, dan sejenisnya, adalah tugas-tugas yang masih terbengkalai.
Mis-manajemen, mal-administrasi, inkompetensi aparatur, kegagalan kebijakan, atau apapun namanya adalah satu kondisi yang harus disikapi dengan arif dan dicarikan jalan keluar yang terbaik. Kecenderungan mencari dalih atau kambing hitam, mengelak dari tanggungjawab, atau mengedepankan alibi untuk berkelit dari kinerja yang rendah, sudah bukan jamannya lagi diikuti. Dalam alam realita, sayangnya, masih sering dijumpai adanya logika yang asimetris antara pandangan Pusat dengan persepsi Daerah.
Pemerintah Pusat, misalnya, menilai bahwa kinerja Daerah dalam pelaksanaan urusan-urusan yang telah diserahkan relatif masih sangat rendah, baik dilihat dari pengelolaan anggaran maupun pencapaian target output dan outcomes-nya. Dengan kata lain, gelombang transfer kewenangan dan sumber daya dari Pusat, tidak sebanding dengan kemampuan Daerah untuk mengoperasionalisasikannya. Ketika kewenangan (discretion = D) dan sumberdaya (resources = R) jauh melampaui kemampuan (capacity = C), atau dapat dirumuskan dalam formula D + R > C, maka terjadilah inefektivitas dan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan ketika kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah rendah, maka cukup logis jika Pusat bermaksud untuk “membantu” pelaksanaan tugas-tugas kedaerahan.
Inisiatif Pusat untuk “membantu” daerah inilah yang kemudian sering diinterpretasikan sebagai upaya intervensi aau resentralisasi. Dalam hal ini, orang Daerah justru memiliki logika yang sedikit kontradiktif. Menurut mereka, kapasitas atau kompetensi daerah merupakan konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan dan sumberdaya secara penuh. Jika Pusat tidak sepenuh hati menyerahkan kewenangan dan sumberdaya tadi, maka yang terjadipun adalah inefektivitas dan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam bentuk formula, logika Daerah kira-kira dapat dirumuskan sebagai fungsi C = D max + R max. Sayangnya, telah menjadi asumsi dasar bagi sebagian besar pejabat daerah bahwa Pusat tidak sungguh-sungguh memberdayakan Daerah melalui kebijakan otonomi. Ilustrasi yang sering digunakan adalah: kepala dilepas, ekor dipegang. Urusan-urusan tertentu yang ditarik kembali (misalnya pertanahan), dana perimbangan yang tidak berimbang, aturan-aturan yang dinilai terlalu kaku dan mengikat kreativitas daerah, adalah beberapa contoh belum seriusnya Pusat mengimplementasikan otonomi daerah.
Bahkan, tidak jarang muncul pemikiran di kalangan birokrat daerah, bahwa reformasi birokrasi daerah tidak mungkin terwujud jika tidak didahului dengan mereformasi birokrasi di tingkat Pusat. Analoginya, kita tidak mungkin membersihkan pencemaran di wilayah hilir jika proses pencemaran di wilayah hulu tidak dihentikan. Dalam hal ini, Pusat adalah hulu, dan Daerah adalah hilir. Logika ini sangat sederhana namun begitu jelas dan mengena sasaran.
Paparan diatas menyiratkan adanya kebuntuan (bottleneck) logika antara Pusat dan Daerah. Contoh korsleting logika yang lain misalnya dalam hal inovasi dan kreativitas daerah dalam bidang urusan tertentu. Cukup banyak “tuduhan” yang dialamatkan kepada daerah karena bermental imitasi (meniru) atau plagiasi (menjiplak). Perumusan Perda adalah satu aktivitas yang paling rentan terhadap praktek copy and paste. Penetapan jenis-jenis retribusi daerah atau kebijakan tertentu lainnya, juga seringkali merupakan turunan dari jenis retribusi atau kebijakan tertentu di daerah tetangganya. Ketika otonomi tidak melahirkan semangat inovasi, kreasi, dan invensi, maka saat itulah otonomi dikatakan mengalami disfungsi. Dan disini, Daerah menjadi tersangka utama.
Namun jika optik dan logika kedaerahan yang kita pakai, maka persoalannya tidak terletak di Daerah, melainkan Pusat yang tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri. Ambil contoh SPM. UU No. 32/2004 mengamanatkan secara tegas bahwa pemerintah (Pusat) harus menyusun SPM untuk urusan wajib, yakni urusan yang berhubungan denga kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan hidup, perhubungan, koperasi, kependudukan, dan sebagainya. Daerah, diwajibkan menyusun Rencana Pencapaian SPM berpedoman pada SPM yang ditetapkan oleh Departemen Teknis terkait. Ironisnya, bagaimanapun semangatnya Daerah untuk menyusun RP-SPM, tidak banyak artinya jika Pusat belum memiliki SPM itu sendiri. Padahal, UU No. 32/2004 sudah berjalan hampir 5 tahun, bahkan sudah dalam wacana revisi, namun Pusat belum menjalankannya!
Contoh lain adalah mengenai reformasi kelembagaan. Postur Pemda yang selama ini dianggap gemuk bahkan cenderung terjangkit penyakit obesitas (kegemukan), dirasionalisasikan melalui penerapan PP No. 41/2007. Faktanya, upaya membangun figur Perangkat Daerah yang ramping, efektif, efisien, ekonomis, dan kaya fungsi, menjadi terhambat gara-gara ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang meminta Daerah untuk membentuk kelembagaan baru selain yang diatur dalam PP No. 41/2007. Akibatnya mudah diterka, sosok Daerah yang terbentuk adalah sosok yang tambun dan boros sumber daya. Pada gilirannya, kondisi ini mengganjal langkah reformasi birokrasi di daerah.
Tentu saja, korsleting atau asimetri logika otonomi antara Pusat dan Daerah tersebut akan menghambat laju otonomi itu sendiri. Oleh karenanya, mendekatkan hati, menyamakan persepsi, mengintensifkan koordinasi, adalah sebuah kebutuhan mutlak. Otonomi adalah produk bangsa yang merupakan kepentingan bersama, bukan kepentingan Pusat, bukan pula kepentingan Daerah. Majunya daerah otonom bukan merupakan prestasi Pusat, bukan pula prestasi daerah yang bersangkutan. Setiap keberhasilan yang diraih oleh suatu daerah adalah keberhasilan bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas, dan setiap kegagalan suatu daerah adalah kegagalan kita semua pula.
Maka, otonomi tidak hanya bermakna kompetisi, namun juga kooperasi. Artinya, otonomi harus bermuara pada terbentuknya koopetisi (kerjasama dalam iklim kompetisi, atau kompetisi yang tidak menghilangkan semangat kerjasama). Otonomi juga tidak identik dengan merebaknya ego sektor, ego wilayah, dan ego jabatan yang melahirkan raja-raja kecil (little kings and barons). Sebaliknya, otonomi harus melahirkan pelayan-pelayan besar (great servants). Akhirnya, otonomi bukanlah logika. Otonomi adalah kesatuan visi dan komitmen untuk membangun bangsa yang lebih demokratis, lebih maju, lebih cerdas, lebih merata dan berkeadilan, serta lebih sejahtera. © Tri Widodo WU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar