Jumat, 02 Juli 2010

Prospek Kebijakan Otonomi Daerah Bagi Daerah Istimewa dan Desa Menurut UU No 22/1999


Abstract:
Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya telah memberi keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan secara otonom. bahkan, desa yang menurut UU Nomor 5 tahun 1974 lebih merupakan wilayah administrasi, akan dikembalikan kepada otonomi aslinya. Demikian pula dengan keberadaan suatu daerah istimewa (cq. Yogyakarta). Dengan adanya perubahan kebijakan ini, tentu akan membawa implikasi-implikasi tertentu baik pada desa maupun pada daerah istimewa. Secara prediktif dapat disimpulkan bahwa prospek pengembangan daerah istimewa dan desa menurut UU Nomor 22 tahun 1999 sangat baik, karena secara historis memiliki hak asal-usul yang melekat padanya sejak sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Dan kenyataan inilah yang sedang berkembang dalam wacana publik dewasa ini.


Pendahuluan


Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi (baca: memiliki) otonomi yang seluas-luasnya makin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI dan mendirikan negara baru, misalnya Sulawesi Selatan dan Aceh. Kondisi seperti ini oleh sebagian orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsa. Sebaliknya, oleh sebagian orang lainnya dinilai bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya ini merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mempertahankan integrasi nasional.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, fenomena tentang daerah yang memiliki otonomi seluas-luasnya tadi sesungguhnya bukan hal yang baru – bahkan terlebih lagi bukan sesuatu yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Demikian pula, keberadaan desa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari unit pemerintahan yang lebih luas. Oleh karena itu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dan sebaliknya. Artinya, cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakan otonomi luas tidak perlu disertai dengan sikap syak wasangka yang berlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa. Kekhawatiran ini justru akan menunjukkan bahwa pemerintah pusat memang kurang memiliki political will yang kuat untuk memberdayakan daerah.

Dengan demikian, ide untuk kembali menyeragamkan sistem pemerintahan daerah dengan alasan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa – antara lain melalui penghapusan ‘daerah istimewa’ dan penyeragaman pemerintah desa, adalah sangat tidak kontekstual dan tidak konseptual.

Mengingat hal tersebut, maka makalah ini mencoba membaca ke depan mengenai prospek daerah-daerah yang memiliki hal asal-usul serta susunan asli, yang oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai ‘daerah istimewa’. Pembahasan akan difokuskan kepada kasus DIY serta prospek otonomi desa pada umumnya, yang disesuaikan dengan norma yuridis baru sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.


Prospek Otonomi pada Daerah Istimewa (Kasus DIY)


Harus diakui bahwa sebagian masyarakat kita kurang mengetahui secara persis mengapa DIY memiliki hak-hak khusus yang membedakannya dengan propinsi lain di Indonesia. Bahkan seorang gubernurpun (c.q. Suwardi) sangat terlihat tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Saat menjabat Gubernur Jawa Tengah, Suwardi mengemukakan ide penggabungan DIY ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Ide ini dianggap sebagai gugatan terhadap eksistensi DIY, yang jika dipenuhi akan menyebabkan hilangnya sebutan, sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.

Dengan kata lain, hak-hak asal usul yang dimiliki oleh DIY akan musnah dengan serta merta, sementara UUD 1945 secara eksplisit mengakui dan menjamin keberlangsungan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, pertanyaan yang paling mendasar dalam konteks ini adalah, bagaimana prospek daerah istimewa – khususnya DIY – pada masa-masa yang akan datang?

Pertanyaan ini penting diajukan karena semakin lama orang semakin kurang menghayati makna dan latar belakang historis, dan ini akhirnya membawa kepada pemikiran untuk menghapuskan status daerah istimewa.

Memang patut dimaklumi, keberadaan DIY yang merupakan bagian integral dari NKRI sering mengundang kecemburuan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya hak-hak istimewa yang dimiliki DIY seperti dalam hal pengangkatan Kepala Daerah, bidang pertanahan, dan sebagainya.

Dalam berbagai bidang tadi, terdapat kesan seolah-olah DIY memiliki legitimasi untuk “berbeda”. Pada gilirannya, berbagai exclusivisme tadi memunculkan pertanyaan, apakah tidak menjadikan berkembangnya anggapan “negara dalam negara” serta mengaburkan pengertian negara kesatuan? Untuk menjawab permasalahan ini, maka pertama sekali harus diketahui tentang ketentuan daerah istimewa serta latar belakang historis yang melekat pada DIY.

Pada dasarnya, terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan oleh dua faktor pokok, yaitu hak asal-usul dan susunan asli, serta peran historis dalam perjuangan kemerdekaan RI.

Mengenai hal asal-usul dan susunan asli ini, pasal 18 UUD 1945 secara tegas menyebutkan sebagai berikut: "..... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Ini berarti bahwa UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di daerahnya.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18 disebutkan bahwa: Oleh karena Negara Indonesia itu adalah eenheidstaat, maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga … Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbestuurende-landschappen … daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Berdasarkan ketentuan itu, secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat dua macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon) atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah.

Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewa­jiban tertentu kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengang­katan dan pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa. Adapun makna susunan asli sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 18 angka II, adalah susunan yang sudah berlaku sejak semula. Meski demikian bukan berarti bahwa selama-lamanya tidak boleh diadakan perubahan terhadap organisasi Daerah Istimewa tersebut.

Uraian dibawah ini akan semakin memperlihatkan bahwa sejak awal berdirinya, sebenarnya Yogyakarta sudah merupakan suatu “negara”, sehingga tidak bisa dilebur begitu saja pada saat berintegrasi dengan RI.

Pada masa penjajahan Belanda, Kasultanan Yogyakarta diperlakukan sebagai negara kecil, sehingga kedudukannya tidak diatur secara sepihak dalam ordonantie, melainkan diatur dalam sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal sebagai wakil Pemerintah Hindia Belanda dan Sri Sultan sebagai wakil Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian yang harus diperbaharui setiap kali terjadi pergantian Sultan ini disebut politiek - contract.

Menurut politiek-contract terakhir tanggal 18 Maret 1940 (Stb. 1941 No. 47), Kasultanan Yogyakarta masih mempunyai kekuasaan (kewenangan atau urusan) yang banyak, misalnya mempunyai peradilan sendiri sebagai badan yudikatif meskipun hanya berwenang mengadili perkara-perkara dari keturunan Sultan Yogyakarta mulai graad satu sampai dengan graad empat, baik meliputi perkara sipil maupun kriminal. Bahkan sebelum keluarnya Petunjuk Gunsei­kan tanggal 1 Agustus 1942, Kasultanan Yogyakarta memiliki beberapa kelompok prajurit bersenjata sebanyak hampir 1000 orang.

Selanjutnya, dibidang perindustrian, jika daerah diluar DIY berlaku peraturan Hinder Ordonantie (HO) yaitu setiap usaha yang menimbulkan kebisingan atau menggang­gu masyarakat sekitarnya harus mendapat ijin HO, maka di DIY terdapat peraturan yang disebut Pranatan Reridhu yang tertuang dalam Rijksblad Kasultanan. Dibidang pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung, DIY sudah memiliki dinas PDG (Pengair­an, Djalan dan Gedung), sedang diluar DIY berlaku aturan Algemene Water Regle­ment (AWR) tahun 1934.

Kewenangan-kewenangan otonom seperti inilah yang dimaksud dengan hak asal-usul atau hak yang bersifat autochtoon, yang merupakan awal mula timbulnya hak istimewa dalam Negara Kesatuan RI.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, kiranya dapat dimengerti apabila dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, pasal 4 ayat (4) dinyata­kan bahwa: “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat (1), yang dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogya­karta sebelum dibentuk menurut UU ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang”.

Ketentuan ini tidak terdapat pada UU Pembentukan Propinsi lain, sebab pada waktu pembentukannya propinsi-propinsi itu belum mempunyai kewenangan apapun, sehingga kekuasaannya harus diisi oleh Pemerintah Pusat. Dan karena sebelumnya tidak memiliki kewenangan dalam urusan tertentu, maka dalam UU Pembentukannya-pun tidak diperlukan adanya ketentuan peralihan seperti tersebut diatas.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa eksistensi DIY sampai saat ini tidak perlu diperdebatkan. Masalahnya adalah, bagaimana prospek ke depan khususnya dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999?

Bicara masalah prospek, berarti bicara sekitar perlu tidaknya penghapusan sebutan, kedudukan, dan hak-hak yuridis sebuah daerah istimewa dalam Negara Kesatuan RI. Hal ini akan dielaborasi lebih lanjut pada paparan di bawah ini.

Pada prinsipnya, daerah istimewa sebagai struktur dan sifat organisasi yang spesifik, suatu saat dapat ditiadakan bila perkembangan keadaan memang menghendaki demikian. Organisasi sebagai alat mencapai tujuan juga senantiasa harus selalu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, sehingga pada saat tertentu perlu diadakan perubahan struktur organisasi pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia sendiri pernah mempraktekkan perubahan sebuah Daerah Istimewa menjadi daerah otonom biasa, yakni yang terjadi pada kasus Daerah Istimewa Surakarta. Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran sebagai daerah swapraja berubah menjadi Karesidenan yang bersifat istimewa, sebab residennya berada langsung dibawah pemerintah Pusat RI dan Karesidenan Surakarta itu bersifat otonom. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Surakarta gagal mempertahankan diri sebagai daerah istimewa, bahkan kemudian diintegrasikan kedalam wilayah propinsi Jawa Tengah.

Dengan demikian, di satu sisi penghapusan daerah istimewa membawa pengaruh positif yakni terciptanya keseragaman dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Disisi lain, sebuah daerah istimewa yang tinggal “namanya” saja tanpa memiliki implikasi tertentu, sama artinya dengan terjadinya inkonsistensi daerah istimewa. Lagi pula, apakah keseragaman itu merupakan satu-satunya kondisi yang dapat melancarkan roda pembangunan serta menciptakan stabilitas nasional, masih perlu dikaji lebih lanjut.

Dalam kaitan ini, kalimat “kedudukan pemerintah daerah sejauh mungkin diseragamkan” yang terdapat dalam konsiderans Menimbang huruf c. jo. Penjelasan UU Nomor 5 tahun 1974 bagian I angka 4a (6), harus ditafsirkan bahwa penyeragaman daerah tidaklah wajib sifatnya, tetapi yang harus diperhatikan juga adalah kondisi dinamis suatu daerah. Jadi, istilah penyeragaman mengandung sifat supel dan dinamis, artinya meskipun secara nasional telah ada peraturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun dalam hal-hal tertentu dapat dimungkinkan penyimpangan oleh suatu daerah. Dengan kata lain, cita-cita penyeragaman itu adalah keseragaman dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, yakni keseragaman yang mengindahkan keragaman.

Terlepas dari pro dan kontra ide penyeragaman pemerintah daerah, sebelum pemerintah memutuskan untuk menghapuskan suatu daerah istimewa, hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu tanggapan masyarakat setempat, sehingga peristiwa penghapusan Daerah Istimewa Aceh pada tahun 9171 tidak terulang lagi.

Pada umumnya, masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah suatu Daerah  Istimewa menginginkan agar kedudukan istimewa bagi daerahnya dipertahankan untuk waktu-waktu mendatang. Demikian pula di Yogyakarta, dengan keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/ 1980 tentang sebutan dan kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat sekali bahwa masyarakat Yogyakarta menghendaki terjaminnya kelestarian sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.

Kehendak, perasaan dan harapan warga Yogya akan kelestarian dan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama tercantum dalam Diktum Keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/1980, yang menghendaki agar Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintah Daerah Istimewa yang monumental berdasarkan kenyataan sejarah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat nilai-nilai perjuangannya dimasa lalu baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, untuk diketahui dan dijadikan suri tauladan bagi generasi mendatang.

Melihat isi keputusan itu, jelaslah bahwa selain memilki latar belakang yang amat kuat, eksisitensi DIY juga memiliki latar depan strategis dalam arti untuk membekali generasi muda tentang nila-nilai historis bangsa. Oelah karena itu, agaknya tidak cukup alasan untuk menghapus DIY atau menggabungkannya dengan propinsi lain. Di samping itu, landasan konstitusional yang dipunyai DIY cukup menjamin kelangsungan hidupnya dengan segala hak-hak istimewa yang melekat padanya. Sebab mengubah status dan kedudukan DIY sama artinya dengan keharusan untuk mengubah terlebih dahulu ketentuan dan jiwa konstitusi yang ada. Dengan demikian, secara teoritis maupun praktis, kedudukan daerah istimewa pada umumnya dan DIY khususnya, masih layak dipertahankan pada masa-masa mendatang.


Prospek Otonomi Desa


Perubahan kebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah (termasuk pemerintahan desa) dari UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 5 tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebut adalah bahwa Desa tidak sekedar merupakan wilayah administratif sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Pusat di Daerah (pelaksana asas dekonsentrasi), tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki otonomi luas.

Sebagaimana halnya pada kasus DIY, otonomi yang luas pada desa sesungguhnya bukan hal yang baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Berdasarkan kerangka waktunya (time frame), perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecil (desa) mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu Desa memiliki otonomi yang sangat luas (most decentralized), sedang disaat lain Desa tidak memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagai wilayah administratif (most centralized).

Pada awalnya, terbentuknya suatu komunitas bermula dari berkumpul dan menetapnya individu-individu di suatu tepat karena terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagai kepentingan bersama. Alasan-alasan untuk membentuk masyarakat yang masih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup, kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar, dan ketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya (Kartohadikoesoemo, 1965: 5).

Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan yang merupakan sebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas, lebih luas dari pada otonomi daerah-daerah hukum di atasnya yang lahir di kemudian hari, baik yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengan sukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomi atau kewenangan desa itu antara lain meliputi hak untuk menentukan sendiri hidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.

Selanjutnya Kartohadikoesoemo (1965: 214) menyebutkan bahwa masyarakat sebagai Daerah Hukum, menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut: berhak mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah, berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau Majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumber keuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut pajak sendiri.

Berdasarkan otonomi desa yang mendapatkan landasan yuridis dalam Regeringsreglement 1854 pasal 71 itu, maka hak atas tanah sepenuhnya ada ditangan rakyat desa, tidak saja kekuasaan atas tanah pertanian, tetapi juga atas tanah yang belum digarap, hutan belukar dan gunung jurangnya (sa-satebane sa-jurang perenge).

Hak ulayat seperti ini oleh van Vollenhoven dinamakan beschikkingrechts, yakni hak kuasa desa yang dalam wilayahnya berhak mempergunakan tanah bagi kepentingan warganya atau kepentingan warga desa lain dengan terlebih dahulu membayar uang recognitie sebagai bukti bahwa dia di situ adalah orang asing atau sebagai bulu bekti / persembahan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah itu. Adapun bagi warga desa setempat, dapat mempergunakan tanah itu dengan hak-hak perorangan: hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); hak wenang pilih, hak mendahulu (voorkeursrecht); hak menikmati hasil (genootsrecht); hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap (ontginningsrecht); hak imbalan jabatan (ambtelijke profijtsrecht)  serta hak wenang beli (naastingsrecht). (Kartohadikoesoemo, 1965: 233; Sudijat, 1981: 6-8).

Dalam perkembangan selanjutnya terdapatlah satu gejala ketatanegaraan yakni berkembangnya komunitas sosial politik diatas kesatuan komunitas desa yaitu Sima, Wisaya, Watak, Mandala, dan pada masa kemudian lahirlah Istana sebagai pusat politik negara kerajaan. Dengan kata lain, terjadi proses penyatuan desa-desa menjadi wilayah yang lebih besar dan luas, yaitu negara kerajaan.

Peristiwa lahirnya kerajaan, menyebabkan otonomi desa mendapat pembata­san-pembatasan. Desa tidak lagi merupakan kesatuan yang otonom, tetapi menjadi kesatuan wilayah yang lebih luas tadi. Oleh karenanya, meskipun pada prinsipnya hak pertuanan / hak kuasa desa tetap berlaku, tetapi dalam lingkungan yang lebih luas itu desa dibebani hak pertuanan / hak milik raja atas wilayahnya. Hak pertuanan raja ini dengan cara dipaksanakan dapat mendesak kedudukan hak desa dan akhirnya mendapatkan tempat dalam hukum adat Jawa, bahwa tanah adalah milik raja.

Dalam masa-masa ini, otonomi desa menghadapi cobaan berat. Dan sejak saat itulah terjadi proses sentralisasi otonomi, dari otonomi desa menjadi otonomi kerajaan. Gejala seperti ini terus berlangsung hingga abad 19, yakni masa-masa munculnya pemikiran tentang emansipasi politik, kebebasan, demokrasi dan desentralisasi bagi negara-negara (unit kemasyarakatan) terjajah. Akhirnya, gencarnya ide-ide pembebasan individu secara radikal mampu mengembalikan lagi otonomi desa yang sempat hilang.

Sebagai gambaran, dalam bidang agraria, Werner Roll (1983: 45) menulis bahwa reorganisasi atau reformasi agraria yang dilaksanakan antara tahun 1912 dan 1918 menghasilkan aturan-aturan baru, yakni: penghapusan sistem feodal beserta tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sudah membudaya; beberapa kesatuan tempat tinggal (desa; dukuh; kabekelan) digabung menja­di kesatuan administrasi baru seperti kelurahan atau desa praja; Raja melepaskan hak-hak mereka atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayah kesatuan administrasi ini, yang kemudian menjadi wewe­nang anggadhuh (hak milik pribumi) anggota masyarakat desa; serta diadakan pembagian baru dari persil-persil tanah dan tanah garapan untuk penduduk desa.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa desa kembali memiliki otonomi. Arah kebijaksanaan otonomi selanjutnya memang semakin mempercayakan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil (baca: pemerintah daerah atau desa). Memang, masalah otonomi atau penyerahan / pengakuan wewenang / urusan ini merupakan lima masalah besar yang timbul dalam proses politik sepanjang masa. Empat masalah lainnya adalah tentang kewarganegaraan, fungsi dan tugas negara, sumber kekuasaan, serta kemampuan negara dalam hubungan-hubungan eksternal.

Selanjutnya pada masa pemerintahan RI, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan yuridis pada pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa secara teoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia. Namun dalam penyusunan peraturan tentang Pemerintahan Desa sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5/1979, kenyataannya Desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahan secara umum. Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuan masyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administratif yang ditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah Pusat (pelaksana asas dekonsentrasi).

Dalam perkembangan saat ini, keberadaan pemerintahan desa tidak (belum) diatur terpisah atau tersendiri dalam suatu peraturan perundangan, tetapi melekat pada UU Pemerintahan Daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999 ini, desa secara implisit memiliki otonomi yang cukup luas, sebagaimana diatur dari pasal 94 hingga pasal 108.  Dan dikaitkan dengan konteks kemajuan masyarakat di tingkat desa yang selalu bergerak maju kearah kompleksitas dan trend globalisasi, maka otonomi luas yang saat ini dititikberatkan pada Kabupaten / Kota tidak mustahil harus dilimpahkan kepada kesatuan hukum masyarakat yang lebih rendah, yakni desa.

Dalam kaitan ini, terdapat hubungan tarik menarik antara Pusat dan Darah (termasuk desa) dalam hal penyerahan suatu kewenangan / urusan pemerintahan tertentu. Artinya, sesuatu urusan yang semula menjadi otonomi suatu daerah dapat ditarik menjadi urusan pusat jika ternyata urusan tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas. Sebaliknya, mungkin sekali sesuatu soal yang tadinya merupakan urusan negara dalam perkembangannya membutuhkan pengurusan yang lebih khusus yang hanya dapat dilakukan di lingkungan daerah. Hal ini selaras pula dengan asas kedaerahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus semua kepentingannya dikarenakan semakin berkembangnya masyarakat sehingga harus dilimpahkan sebagian kepada daerah.

Faktor eksternal berupa perkembangan masyarakat dengan tingkat kehidupan yang semakin maju seperti itulah yang pada akhirnya menyebabkan menumpuknya beban urusan di tingkat desa. Kemampuan desa yang terbatas baik dari sisi aparatur maupun sumber daya lainnya, jelas tidak akan mampu mengimbangi semakin tingginya tingkat kesulitan hubungan sosial politik warga di wilayahnya.

Di sinilah pada saatnya nanti dituntut keseriusan para pengambil keputusan untuk menyempurnakan sistem pemerintahan desa, baik dari segi administrasi, manajemen, maupun personalia dan keuangannya. Pemerintahan desa yang demikian, tidak lagi merupakan unsur pelayan publik yang berfungsi memberikan surat keterangan, penyuluhan maupun izin-izin tertentu; sebaliknya harus mampu memainkan peran sebagai “pembuka jalan” bagi pemenuhan permintaan masyarakat (public choice), sekaligus sebagai fasilitator yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara swadaya maupun swadana.

Disamping itu, masalah otonomi selalu merupakan pemilihan antara centralization dan local autonomy (otonomi daerah). Jika otonomi daerah yang dipilih, berarti pemerintah pusat harus menyelenggarakan desentralisasi (secara harfiah berarti melepaskan dari pusat).

Arti pentingnya desentralisasi bisa dilihat dari berbagai segi. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan pada satu pihak, dan merupakan tindakan pendemokrasian guna menarik partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Dari sudut administrasi, desentralisasi tidak lain adalah pendelegasian wewenang dari pucuk pimpinan kepada bawahannya yang menjadi aktivitas-aktivitas pemberian tugas, penyerahan wewenang, dan permintaan tanggung jawab. Dalam pengertian ini desentralisasi merupakan keharusan yang mesti terdapat pada semua organisasi.

Dari berbagai sudut pandangan yang ada, sangat menarik untuk disimak pemikiran dari segi sosio kultural. Adalah fakta bahwa tiap-tiap daerah memiliki kekhususan-kekhususan seperti corak geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, latar belakang sejarah dan budaya. Spesifikasi daerah ini mengharuskan penguasa dan aparatur daerah untuk benar-benar mengenalinya dan memanfaatkannya untuk pembangunan daerah secara optimal. Pandangan sosio kultural ini apabila digabung dengan sudut pandang teknis organisatoris akan dapat memberikan alasan yang jelas mengapa otonomi cenderung dilimpahkan kepada daerah yang lebih rendah tingkatannya.

Dilihat dari segi teknik organisatoris, desentralisasi adalah alat dan teknik untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi desentralisasi adalah cara atau metode untuk melancarkan tugas-tugas pemerintahan sekaligus mencapai tujuannya. Hal ini logis, sebab rakyat dari suatu daerah itu sendirilah yang dalam babak pertama berkewajiban untuk memajukan daerahnya.

Kebijaksanaan penyerahan urusan kepada desa sebagai unit pemerintahan terkecil, akan membawa pengaruh positif berupa peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan kualitas aparatur negara, khususnya di tingkat desa. Hal ini dapat dicapai apabila dapat diidentifikasikan tiga kondisi, yaiu: 1) tingkat perkembangan masyarakat, pertumbuhan penduduk dan pergeseran arah pembangunan ke daerah terpencil; 2) kemungkinan positif dan negatif dari pelaksanaan titik berat otonomi pada desa; dan 3) hambatan baik dari segi sumber daya aparatur maupun kelembagaan di desa.  Dengan identifkasi ketiga kondisi ini, barulah dipikirkan untuk memutuskan perlu tidaknya otonomi daerah.


Penutup


Perubahan sistem dan mekanisme pemerintahan (di) daerah dewasa ini merupakan suatu keniscayaan. Hal ini didorong oleh adanya fenomena bahwa penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah sebagai sub sistem dari penyelengga­raan Pemerintahan Nasional dan Pembangunan Nasional, saat ini menghadapi masalah yang sangat mendasar, yaitu bagaimana menampung dan memenuhi aspirasi serta kepentingan rakyat di daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi. Seiring dengan tuntutan jaman dan arah fenomena perubahan sosial yang meng­hendaki terciptanya suatu tatanan, kondisi, peluang dan kesempatan bagi masyarakat agar makin mampu mengembangkan kreativitas dan prakarsanya, maka keberadaan, tugas, peran dan tanggung jawab pemerintahan dalam arti luas, dirasakan semakin relevan untuk ditinjau kembali, dalam pengertian dilakukan revitalisasi organisasi.

Dalam hubungan ini, maka penghormatan terhadap bentuk-bentuk organisasi (kesatuan masyarakat hukum) asli sangat dibutuhkan. Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa kebijakan otonomi yang dianut UU Nomor 22/1999 sekaligus membawa misi demokratisasi masyarakat lokal.


Daftar Pustaka

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Bandung: Sumur.
Roll, Werner, 1983, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia: Studi Kasus Daerah Surakarta Jateng, Jakarta: Rajawali.
Sudijat, Iman, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty.


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Maret 1999.

Tidak ada komentar: