Jumat, 02 Juli 2010

Pendelegasian Kewenangan Pemerintah Daerah Kepada Kecamatan dan Kelurahan


Pengantar

Semenjak berlakunya otonomi daerah yang luas, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang amat besar, yang kemudian disertai dengan transfer kepegawaian, pendanaan dan asset yang besar pula. Hal ini mendorong Kabupaten/Kota untuk mengembangkan format organisasinya secara kurang terkendali, sehingga pada akhirnya keluarlah PP No. 8/2003 yang membatasi jumlah perangkat daerah.

Ditengah semangat membangun otonomi, adalah hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau penyelenggaraan langsung suatu urusan.

Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.

Pertama, Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain, sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format kelembagaan semakin besar dan tidak efisien.

Kedua, Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.


Urgensi Pendelegasian Kewenangan kepada Kecamatan & Kelurahan

Wacana tentang desentralisasi dan otonomi daerah terus menggelinding. Saking ramainya perdebatan tentang implementasi dan implikasi otonomi, banyak orang melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri. Jiwa atau semangat otonomi menurut UU 22/1999 adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum disini tidak hanya pemerintah Kabupaten/Kota saja, tetapi juga meliputi para pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga dan Rukun Tetangga.
           
Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, UU 22/1999 lebih mencerminkan pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi daerah” itu sendiri. Hal ini bisa disimak dari gelombang devolusi kewenangan yang teramat besar dari pusat kedaerah, yang disusul dengan penataan kelembagaan yang cenderung gemuk dan membebani anggaran. Akibatnya, mutu pelayanan publik bukan semakin membaik, namun beban masyarakatlah yang justru bertambah berat dengan ditetapkannya berbagai Perda tentang pungutan retribusi.

Penafsiran yang berlebihan – jika tidak dikatakan salah – terhadap otonomi inilah yang telah melahirkan egoisme kedaerahan yang sempit. Egoisme ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni egoisme keatas (upward egoism) dan egoisme kebawah (downward egoism).

Kondisi dimana daerah kurang mengindahkan aturan dan bimbingan dari atas, serta kurang memberdayakan potensi dibawah inilah yang potensial melahirkan sosok pemda yang tidak demokratis, atau bahkan otoritarian. Tidaklah mengherankan jika kemudian berkembang gagasan untuk menarik kembali sebagian kewenangan otonomi ke Pusat (resentralisasi), atau memindahkan titik berat otonomi pada level Propinsi (reklasifikasi).

Pemerintah sendiri telah menjamin tidak akan melakukan resentralisasi, karena hal ini memang merupakan kebijakan yang tidak populer dan gegabah. Justru ide reklasifikasi atau rekalkulasi kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota-lah yang lebih masuk akal. Jika dalam konsep awal UU 22/1999 Kabupaten/Kota memiliki kewenangan luas sedang Propinsi terbatas; maka dengan kebijakan reklasifikasi akan terdapat perimbangan kewenangan yang lebih proporsional. Dan hanya dengan hubungan yang lebih berimbang inilah dapat dihindarkan egoisme atau otoritarianisme lokal, sekaligus menjamin efektivitas roda pemerintahan dan pembangunan.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari model transfer of power dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kecamatan/Kelurahan ini antara lain adalah:

·        Beban Pemda dalam penyediaan/pemberian layanan semakin berkurang karena telah diambil alih oleh Kecamatan atau Kelurahan/Desa sebagai ujung tombak;
·        Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan yang besar sehingga dapat menghemat anggaran;
·        Alokasi dan distribusi anggaran lebih merata keseluruh wilayah sehingga dapat menjadi stimulan bagi pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional;
·        Sebagai wahana memberdayakan fungsi Kecamatan atau Kelurahan/Desa yang selama ini terabaikan.

Uraian diatas menggambarkan bahwa pendelegasian kewenangan kepada kecamatan akan membawa manfaat tidak saja kepada kecamatan yang menerima limpahan, namun juga kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Disamping itu, kebijakan untuk melimpahkan kewenangan kepada unit organisasi yang lebih rendah ini juga memiliki manfaat pada 3 (tiga) bidang, yakni:

·        Politik: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance) serta untuk mendorong perwujudann good governance and good society.
·        Sosial ekonomi: mengurangi kesenjangan antar wilayah (regional disparity) atau ketimpangan (inequity), memacu pertumbuhan pembangunan (economic growth), mendorong prakarsa dan partisipasi publik, dan sebagainya.
·        Administratif: mendorong efisiensi dan efektivitas penyelenggaraann pemerintahan, mempercepat pelayanan publik, dan mmemeprkuat kinerja pemerintahan secara umum.


Pendekatan dan Pola Pendelegasian Kewenangan

Penetapan suatu kewenangan, pada dasarnya dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan, yakni pendekatan yuridis atau top down, dan pendekatan sosiologis atau bottom up.

Menurut pendekatan yuridis, kewajiban melimpahkan kewenangan beserta rincian kewenangan ditentukan secara limitatif melalui peraturan perundang-undangan tertentu. Dalam hal ini, produk-produk hukum yang mengatur mengenai pelimpahan kewenangan kepada Kecamatan adalah sebagai berikut:

                      a.      Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi: “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”.
                      b.      Lampiran Kepmendagri 158/2004 yang mengatur bahwa kewenangan pemerintahan yang dapat dilimpahkan oleh Bupati/Walikota kepada Camat meliputi 5 Bidang dengan 43 rincian kewenangan, yakni:
·        Pemerintahan (17 rincian)
·        Ekonomi dan Pembangunan (8 rincian)
·        Pendidikan dan Kesehatan (8 rincian)
·        Sosial dan Kesejahteraan Rakyat (6 rincian)
·        Pertanahan (4 rincian)
                       c.      Keputusan Bupati / Walikota suatu daerah otonom tentang “Pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan kepada Camat”. Contoh:
·        Wali Kota Bandung, melalui Keputusan No. 1342 tahun 2001 telah melimpahkan 19 bidang kewenangan yang dijabarkan menjadi 96 rincian kewenangan.
·        Bupati Bandung, melalui Keputusan No. 8/2004 telah melimpahkan 614 rincian kewenangan.
·        Walikota Depok, melalui Raperda Pelimpahan Kewenangan 2003, akan melimpahkan 23 Bidang dengan 160 rincian kewenangan.

Pada sisi lain, kewenangan dapat juga berasal dari aspiirasi masyarakat tingkat grassroot atas dasar kemampuan riil dan kebutuhan obyektif mereka. Jika model ini diterapkan, maka yang ada sesungguhnya bukanlah “pelimpahan atau penyerahan wewenanag”, melainkan “pengakuan kewenangan”. Kondisi ini serupa dengan model otonomi yang dianut UU Nomor 22 Tahun 1999, dimana pemerintah Pusat melakukan pengakuan terhadap kewenangan Kabupaten/Kota (Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002). Memang Kecamatan hanyalah merupakan perangkat daerah dan bukan unit kewilayahan yang otonom. Namun demi alasan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, pendekatan sosiologis (bottom-up) ini penting untuk dipertimbangkan.

Satu hal yang patut dicermati dari pendekatan yang digunakan dalam pelimpahan kewenangan tadi adalah tentang besaran kewenangan kecamatan. Terdapat kecenderungan adanya orientasi yang sangat kontras dalam menetapkan besaran kewenangan. Kepmendagri 158/2004, misalnya, hanya mengatur 43 rincian kewenangan. Sementara disisi lain, Keputusan Bupati/Walikota memberikan kewenangan yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, rincian kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota Bandung berjumlah 96 rincian (Keputusan Walikota No. 1342/2001), sedangkan di Kabupaten Bandung sebanyak 614 rincian kewenangan (Keputusan Bupati No. 8/2004).

Jika pendekatan sosiologis dipakai, ada kemungkinan bahwa besaran kewenangan yang dihasilkan akan sangat berbeda dibanding melalui pendekatan yuridis. Boleh jadi, besaran kewenangan menjadi sangat kecil, jika memang potensi kecamatan dan masyarakatnya belum tergali secara optimal. Sebaliknya, kewenangan tadi bisa saja lebih besar, tergantung pada kondisi obyektifnya. Intinya adalah, kewenangan kecamatan akan berjalan secara efektif apabila sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki kecamatan tersebut.

Adanya perbedaan orientasi dalam menentukan besaran kewenangan kecamatan tadi menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam memetakan potensi dan kebutuhan kecamatan. Inilah akibat logis yang timbul ketika pendekatan yuridis menjadi pilihan tunggal dalam proses pelimpahan kewenangan. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mendekatkan kesenjangan penafsiran yang muncul, maka dua penjelasan berikut kiranya dapat dipertimbangkan:

1.      Ketentuan dalam Kepmendagri No. 158//2004 harus ditafsitrkan sebagai aturan yang bersifat minimalis. Artinya, peraturan ini hanya mengatur kewenangan-kewenangan yang dipandang penting dan strategis untuk dilimpahkan kepada Kecamatan, sementara Bupati/Walikota dapat mengadopsi dan memodifikasi (menambah, mengurangi, atau mengubah) sesuai keadaan dan kebutuhan daerahnya.

2.      Pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan harus dievaluasi secara periodik, sehingga dapat diketahui secara pasti kemampuan aparat kecamatan dalam mengimplementasikan kewenangan tersebut. Selanjutnya, atas dasar evaluasi ini, dapat ditentukan langkah-langkah assessment yang diperlukan, baik berupa pengurangan / pencabutan atau penambahan kewenangan, penyesuaian pemberian sumber daya, dan sebagainya.

Hal krusial lain yang perlu diperhatikan adalah tentang pola pendelegasian kewenangan. Disini, pada prinsipnya terdapat dua kelompok, yaitu pola homogen dan pola heterogen. Dalam pola homogen, kecamatan diasumsikan memiliki potensi dan karakteristik yang relatif sama, sehingga diberikan kewenangan delegatif yang sama pula. Sedangkan dalam pola heterogen, setiap kecamatan hanya menerima kewenangan yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi obyektif kecamatan yang bersangkutan.

Dalam prakteknya, opsi pertama-lah yang banyak diterapkan. Namun, tentu saja pola ini mengandung kelemahan yang cukup mendasar. Pola ini mengabaikan kondisi dan karakteristik yang berbeda-beda untuk tiap wilayah / kecamatan. Padahal, setipis apapun perbedaannya, setiap kecamatan pasti memiliki ciri khas yang membedakannya dengan kecamatan lainnya.

Katakanlah dalam kewenangan bidang pertambangan, tidak semua kecamatan memiliki potensi tambang. Kecamatan yang tidak memiliki potensi tambang namun tetap diberi delegasi wewenang untuk mengurus / mengatur bidang ini, adalah sebuah kesia-siaan, kalau tidak dikatakan kesalahan administrasi. Dampaknya jelas bahwa kewenangan tadi tidak mungkin dapat dioperasionalkan. Dan jika pendelegasian kewenangan ini dijadikan sebagai alat ukur menilai kinerja kecamatan, maka dapat dipastikan bahwa tingkat kinerja kecamatan dalam bidang itu sangat rendah (bahkan nol).

Untuk menghindari hal tersebut, pendelegasian kewenangan dengan pola heterogen lebih dianjurkan. Meskipun demikian, pola homogen dapat saja diterapkan, namun harus disertai dengan klausul bahwa kecamatan berhak untuk menyatakan suatu kewenangan tertentu “tidak dapat dilaksanakan” atas dasar pertimbangan- pertimbangan yang rasional.


Beberapa Kriteria Pendelegasian Kewenangan

Persoalan yang menyangkut besaran kewenangan kecamatan sebagaimana dikemukakan diatas, juga bersumber dari tidak jelasnya kriteria yang dipakai dalam melimpahkan kewenangan. Kewenangan kecamatan baik yang tercantum dalam Kepmendagri No. 158/2004 maupun dalam Keputusan Bupati/Walikota, terkesan “turun begitu saja dari langit”, tanpa didahului oleh forum konsultasi dari bawah. Padahal, tanpa adanya kriteria yang jelas, maka dapat dipastikan bahwa implementasi kewenangan tadi tidak dapat berjalan dengan baik.

Untuk menghindari terjadinya kegagalan kebijakan mengenai pelimpahan kewenangan tadi, maka beberapa kriteria dibawah ini perlu dipertimbangkan secara seksama:

·         Dilihat dari lokus dan kepentingannya, kewenangan tersebut lebih banyak dioperasionalisasikan di Kecamatan sehingga berhubungan erat dengan kepentingan strategis Kecamatan yang bersangkutan. Contoh: penanganan penyakit masyarakat seperti perjudian, PSK, dan lain-lain
·         Dilihat dari fungsi administratifnya, kewenangan tersebut lebih bersifat rowing (pelaksanaan) dari pada steering (pengaturan), sehingga kurang tepat jika terdapat campur tangan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Contoh: pemberian ijin IMB (untuk luas tertentu), administrasi kependudukan, dan lain-lain.
·         Dilihat dari kebutuhan dasar masyarakat, kewenangan tadi benar-benar dibutuhkan secara mendesak oleh masyarakat setempat. Contoh: pelayanan sampah dan kebersihan, sanitasi dan kebutuhan air bersih, pendidikan dasar khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan 3 B (Buta huruf, Buta aksara, dan Buta pendidikan dasar), dan lain-lain.
·         Dilihat dari efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, suatu kewenangan hamper tidak mungkin dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena alasan keterbatasan sumber daya. Contoh: perbaikan dan pemeliharaan jalan-jalan dan jembatan perintis, pelayanan penyuluhan pertanian / KB, dan lain-lain.
·         Dilihat dari penggunaan teknologi, suatu kewenangan tidak membutuhkan pemakaian teknologi tinggi atau menengah. Contoh: pembinaan usaha kecil dan rumah tangga (small and micro business), dan lain-lain.
·         Dilihat dari kapasitas, kecamatan memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan kewenangan tersebut, baik dari aspek SDM, keuangan, maupun sarana dan prasarana.


Pendelegasian Kewenangan: Masalah yang Muncul dan Kemungkinan Implementasinya

A.     Pendelegasian Kewenangan dari Bupati / Walikota Kepada Camat

Sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66 UU No. 22 tahun 1999 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Ini berarti bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi.

Sejalan dengan ketentuan pasal 66 diatas, sungguh patut disyukuri bahwa banyak Bupati/Walikota di Indonesia yang sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat di wilayahnya masing-masing. Tujuan utama dari pelimpahan kewenangan kepada Camat tadi adalah untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini akan meringankan beban beban Daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan umum diharapkan akan semakin efektif dan efisien. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa pelimpahan kewenangan tadi jelas membawa konsekuensi di berbagai hal.

Beberapa aspek yang perlu dikaji lebih mendalam berkaitan dengan kebijakan tersebut, paling tidak menyangkut 3 dimensi strategis sebagai berikut:

1.     Koordinasi Antar Lembaga dan Standarisasi Tata Kerja

Pada umumnya, Keputusan Bupati / Walikota tentang Pendelegasian Kewenangan kepada Kecamatan mengatur bahwa “kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat dilaksanakan oleh unit organisasi yang ada pada Kecamatan”. Namun dalam hal-hal yang bersifat teknis operasional, Camat wajib melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi dengan Dinas Daerah, Cabang Dinas dan UPTD sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Selain itu, diatur pula bahwa “Dinas Daerah dan Lembaga Teknis daerah dalam kerangka penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat wajib berkoordinasi dengan Camat dalam perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan.
Dalam kaitan dengan koordinasi ini, perlu dipertegas antara tugas dan kewajiban Kecamatan disatu pihak dengan tugas dan kewajiban Dinas / Cabang Dinas / UPTD di pihak lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan tertentu.
Dalam hal pemberian IMB misalnya, perlu ada kejelasan tentang apa yg harus disediakan dan/atau dilakukan Dinas dan Cabang Dinas Bangunan, apa yang harus disediakan dan/atau dilakukan Kecamatan, serta tata laksana antara kedua pihak lengkap dengan standar waktu dan sumber pembiayaannya. Tanpa adanya kejelasan tentang pembagian tugas, tata kerja, standar kerja serta sumber pendukung, pelimpahan kewenangan dikhawatirkan justru akan membingungkan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan publik.

2.     Kebutuhan Perimbangan Sumber Daya Keuangan, SDM dan Sarana

Adalah hal yang logis jika pelimpahan kewenangan harus diikuti pula oleh pemberian sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sebagaimana halnya perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, Keputusan Bupati/Walikota tentang Pendelegasian Kewenangan kepada Kecamatan-pun harus disusul dengan penyusunan konsep perimbangan sumber daya (keuangan, SDM dan sarana) antara Kabupaten/Kota dengan seluruh Kecamatan di wilayahnya.
Tanpa adanya penguatan sumber daya, Kecamatan akan mengalami over-load dalam tugas-tugasnya, dan kewenangan yang dilimpahkan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jika ini terjadi, maka tujuan pelimpahan kewenangan dapat dikatakan mengalami kegagalan.
Sebagai contoh, Kecamatan tidak mungkin dapat melaksanakan kewenangan Lingkungan Hidup jika tidak disertai dengan alat uji / alat ukur tingkat pencemaran air / udara / tanah.

3.     Pengembangan / Penguatan Struktur Organisasi Kecamatan

Dengan bertambahnya kewenangan dan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan, maka sangatlah wajar jika struktur organisasi Kecamatan perlu dikembangkan atau diperkuat. Pada saat yang bersamaan, organisasi pemerintah Kota Bandung (khususnya Dinas / Cabang Dinas dan Lembaga Teknis yang kewenangannya telah diserahkan kepada Kecamatan), perlu dirampingkan. Jika kewenangan-kewenangan teknis suatu Dinas / Cabang Dinas telah dilimpahkan kepada Kecamatan sementara kelembagaannya justru membengkak dengan dibentuknya cabang-cabang Dinas baru, maka akan terjadi inkonsistensi antara pemegang dan pelaksana kewenangan.
Salah satu prinsip dalam distribusi kewenangan yang harus dijaga adalah tidak adanya kewenangan yang dimiliki dan / atau dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu lembaga. Oleh karena itu, untuk menghindari kewenangan rangkap tadi, suatu kewenangan mestinya hanya dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki dan/atau diberi delegasi untuk melaksanakannya.
Adapun pilihan untuk mengembangkan organisasi Kecamatan dapat dipilih diantara dua opsi berikut:
·         Menetapkan format organisasi secara seragam atau homogen mengingat tipisnya karakteristik antar Kecamatan di suatu daerah.
·         Menetapkan format organisasi secara heterogen berdasar tipologi-tipologi tertentu yang dihitung berdasarkan indikator jumlah penduduk, jumlah kelurahan, luas wilayah, serta sarana / fasilitas dasar bidang sosial ekonomi.
Kebijakan pemerintah sendiri nampaknya ingin mengkompromikan kedua opsi tersebut. Hal ini terlihat dari ketentuan Kepmendagri No. 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan, dimana jumlah seksi ditetapkan sebanyak-banyaknya 5 (lima), dengan 2 (dua) diantaranya adalah Seksi Pemerintahan dan Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum, namun nomenklatur ketiga seksi lainnya dapat disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecamatan sesuai kebutuhan daerah (pasal 5).
Ketentuan diatas menggambarkan dengan jelas bahwa kebebasan daerah untuk mendesain format kelembagaan kecamatan, sangatlah terbatas. artinya, pemerintah Kabupaten / Kota hanya diberi hak untuk menentukan nomenklatur dari seksi di kecamatan, namun tidak berhak menentukan jumlah seksi atau besaran organisasi kecamatan.


B.     Pendelegasian Kewenangan dari Camat Kepada Lurah

UU No. 22/1999 pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat. Kecamatan sendiri merupakan perangkat Daerah Kabupaten/Kota dan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota (pasal 66).

Uraian diatas telah menyinggung bahwa tanpa pendelegasian kewenangan kepada unit kerja yang lebih rendah, Pemerintah Kabupaten / Kota akan memiliki beban kerja yang terlalu berat sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Selain itu, Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal.

Mengingat hal tersebut, maka pendelegasian atau pelimpahan sebagian wewenang dari atas (dari Bupati/Walikota ke Camat dan dari Camat ke Lurah) perlu diupayakan seoptimal mungkin. Dalam hal ini, Keputusan Bupati/Walikota tentang Pelimpahan Kewenangan kepada Camat, perlu dikaji lebih lanjut untuk dapat dilimpahkan lagi kepada Kelurahan. Sebab, harus diakui bahwa Kecamatan tidak cukup mampu untuk melaksanakan seluruh kewenangan yang dilimpahkan. Faktor dukungan sumber-sumber daya (keuangan, SDM dan sarana/prasarana) yang masih rendah, ditambah dengan belum jelasnya mekanisme kerja penyelenggaraan kewenangan oleh Kecamatan, jelas akan menjadi hambatan utama dalam implementasi kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, disamping diperlukan adanya kejelasan tentang mekanisme kerja Kecamatan dengan perangkat Daerah lainnya, juga sangat dibutuhkan adanya pendistribusian kewenangan (sharing of authority) yang lebih proporsional antara Kecamatan dengan perangkat dibawahnya, yaitu Kelurahan.

Meskipun demikian, disadari bahwa upaya melakukan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat kepada Lurah masih menyimpan potensi masalah atau kendala, antara lain sebagai berikut:

·         Kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif (attributive authorities), yakni kewenangan-kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja Kelurahan terlihat kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, jika Kelurahan akan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan yang bersifat delegatif (delegative authorities), maka perlu dikaji secara mendalam kewenangan apa saja yang layak dan prospektif untuk diemban oleh Kelurahan. Sebab, pelimpahan kewenangan yang asal-asalan justru akan berdampak pada ketidakmampuan Kelurahan melaksanakan kewenangan tersebut, serta terjadinya penurunan mutu pelayanan umum. 

·         Kondisi obyektif Kelurahan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan pemerintahan kepada Kelurahan. Jumlah dan kualitas SDM yang minim, sarana kerja yang sangat konvensional, sumber dana yang terbatas, dan sebagainya adalah beberapa fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Namun secara logika, pengembangan kelembagaan akan terlebih dahulu diprioritaskan kepada Kecamatan mengingat telah dilimpahkannya sebagian kewenangan Walikota kepada Camat. Setelah kelembagaan dan fungsi baru Kecamatan berjalan mantap, barulah tahap berikutnya dilakukan pengembangan dan penguatan kelembagaan Kelurahan.

Mengingat pertimbangan diatas, pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah tidak bisa dilaksanakan secara tergesa-gesa, namun perlu dikaji secara matang khususnya dari kerangka waktunya (time frame). Dengan demikian, hal ini akan efektif dilaksanakan jika kewenangan yang dilimpahkan kepada kecamatan sudah dapat terlaksana secara optimal.

Satu hal yang perlu dicatat disini adalah, meskipun banyak kendala yang harus diatasi, namun pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan melalui pelimpahan kewenangan beserta sumber daya pendukungnya adalah langkah terbaik untuk mewujudkan cita-cita pemberian otonomi, yakni peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum, serta kehidupan masyarakat daerah yang lebih demokratis.


Issu Strategis Seputar Pendelegasian Kewenangan

A.     Karakteristik Organisasi Kecamatan

Pada umumnya, model kelembagaan di Kabupaten/Kota terdiri dari 4 (empat) jenis atau fungsi, yakni organisasi Lini (direpresentasikan oleh Dinas), Staf dan Auxiliary (Sekretriat), Supporting Units (Lembaga Teknis), serta organisasi Kewilayahan / Teritorial (Kecamatan dan Kelurahan).

Oleh karena jenis dan fungsi dasarnya berbeda, maka kewenangan yang diemban-pun juga berbeda. Dinas adalah organisasi yang menjalankan tugas-tugas pokok (kewenangan substantif atau kewenangan material) daerah. Itulah sebabnya, bidang kewenangan dan nomenklatur dinas dibentuk berdasarkan pertimbangan sektoral (sektor pertanian, sektor kesehatan, dan sebagainya). Sedangkan Sekretariat adalah unit organisasi yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pembantuan untuk mendukung pelaksanaann fungsi lini yang dijalankan dinas. Dengan kata lain, unit-unit dalam Sekretariat berkewajiban melaksanakan tugas-tugas ketatausahaan dalam rangka pengambilan kebijakan, seperti Bagian Umum, Bagian Kepegawaian, Bagian Keuangan, Bagian Bina Pemerintahan, dan sebagainya.

Selanjutnya, Lembaga Teknis berbentuk Badan atau Kantor bertugas melaksanakan fungsi-fungsi strategis daerah yang belum terakomodasikan oleh pola kelembagaan yang lain. Fungsii-fungsi yang diemban oleh Lembaga Teknis bukanlah kewenangan substantif daerah, namun memiliki peran yang sangat penting bagi daerah. Contohnya adalah Badan Penelitian dan pengembangan, Badan Pengawasan, dan Badan Perencanaan Daerah. Adapun lembaga kewilayahan pada umumnya lebih diarahkan sebagai pelaksana tugas bidang “pemerintahan umum” seperti masalah ketentraman dan ketertiban (tramtib)), administrasi kependudukan, serta pembinaan kemasyarakatan.

Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, Kecamatan adalah perangkat dekonsentrasi, yang bertugas menjalankan tugas pemerintahan umum dan kewenangan yang dilimpahkan oleh aparat dekonsentrasi yang lebih tinggi, yakni Bupati, Gubernur, ataupun Menteri. Namun dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, Kecamatan berubah menjadi “perangkar daerah”, sehingga secara tidak langsung, berkewajiban untuk ikut menjalankan sebagian tugas / kewenangan Kabupaten/Kota.


Disinilah awal mula perlunya pelimpahan kewenangan kepada Kecamatan. Namun, dari sini pula-lah kompleksitas itu menjadi semakin rumit. Kecamatan yang masih berciri organisasi kewilayahan, justru diberi kewenangan yang bersifat sektoral. Dalam hal ini, terdapat dilema perlu tidaknya Kecamatan menjalankan kewenangan substantif / material. Sebab, pelimpahan kewenangan substantif kepada kecamatan akan menimbulkan potensi benturan dengan lembaga-lembaga sektoral (Dinas). Pada saat yang bersamaan, selain melaksanakan kewenangan substantif (yang diatur dalam Peraturan Daerah), Dinas juga dapat menerima pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota melalui Surat Keputusan.

Jika kita konsisten dengan jenis dan fungsi kecamatan sebagai lembaga kewilayahan (dibatasi oleh batas geografis dan administratif), maka perlu dipertimbangkan kemungkinan Kecamatan hanya menyelenggarakan kewenangan / tugas-tugas bidang “Pemerintahan Umum”. Hal ini sesuai dengan tugas pokok Camat sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.061/729/TJ tgl.21 Maret 2000 tentang Penataan Perangkat Daerah, yakni:

·         Memimpin pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Kecamatan;
·         Membantu Sekretaris Daerah dalam penyiapan informasi mengenai wilayah Kecamatan yang dibutuhkan dalam perumusan kebijakan bagi kepala Daerah;
·         Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pelayanan lintas Kelurahan dan Desa.

Fungsi kecamatan sebagai pelaksana tugas “pemerintahan umum” ini sebenarnya diakomodir juga dalam Kepmendagri No. 158/2004. hal ini terlihat dari pengaturan tentang 2 (dua) Seksi limitatif (dinyatakan secara wajib dalam peraturan perundangan), yakni Seksi Pemerintahan dan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban. Kedua seksi ini, secara substantif termasuk dalam kategori kewenangan bidang “Pemerintahan Umum”.

Hanya saja, kalau Kecamatan akan diarahkan untuk menjalankan fungsi “Pemerintahan Umum” saja, maka hal ini tidak sejalan dengan ketentuan pasal 3 Kepmendagri No. 158 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota sesuai karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya”. Dengan kata lain, Kepmendagri No. 158 Tahun 2004 ini cenderung memerintahkan Kecamatan untuk ikut serta menyelenggarakan kewenangan substantif / material. Dan disinilah letak kekurangkonsistenan Kepmendagri ini.

Namun jika Kecamatan tetap harus menjalankan kewenangan substantif / material ini, maka nomenklatur 3 (tiga) Seksi lain di Kecamatan dapat disesuaikan dengan nomenklatur Asisten di Sekretariat Daerah, yakni:

·         Seksi Perekonomian, dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanaan kewenangan di bidang-bidang perdagangan dan industri, koperasi dan UKM, perhubungan, pekerjaan umum, pertanian, kehutanan dan perkebunan, serta pertambangan dan energi.
·         Seksi Kesejahteraan Sosial, dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanaan kewenangan di bidang-bidang kesehatan, agama, pendidikan, lingkungan hidup, sosial, transmigrasi dan ketenagakerjaan.
·         Seksi Administrasi, dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanaan kewenangan di bidang-bidang hukum dan informasi, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan umum.

Dalam hal Kecamatan tetap menjalankan fungsi / kewenangan substantif, maka jenis atau karakteristik kecamatan sesungguhnya telah berubah dari organisasi territorial menjadi organisasi lini territorial. Sementara itu, Dinas dapat dikatakan sebagai organisasi yang bersifat lini teknis.


B.     Eselonisasi Jabatan

Dalam prakteknya, eselonering menjadi penghambat bagi upaya mengembangkan organisasi di tingkat kecamatan dan kelurahan. Seperti diketahui, kebijakan desentralisasi berimplikasi pada terjadinya transfer pegawai secara berlimpah dari Pusat ke Daerah. Akibatnya, Kabupaten/Kota mengalami surplus pegawai, sementara Kecamatan dan Kelurahan tetap mengalami defisit pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Itulah sebabnya, sebagian pegawai dan jabatan di tingkat Kabupaten/Kota mestinya didistribusikan lagi hingga tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Namun pelimpahan pegawai ini akan terbentur pada rendahnya jenjang eselon jabatan di Kecamatan dan Kelurahan, dimana eselon tertinggi di Kecamatan adalah III-b (Camat), sedang di Kelurahan adalah IV-a (Lurah). Akibatnya, struktur kepegawaian tidak dapat terdistribusikan secara merata, dan malah cenderung mengakibatkan pembengkakan organisasi di tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan adanya berbagai permasalahan kepegawaian diatas, sudah sewajarnya jika kebijakan tentang eselonering ini “ditinjau kembali”. Disamping itu, kewenangan kepegawaian sebaiknya diletakkan pada level propinsi sehingga membuka peluang mutasi yang lebih luas dalam lingkup regional. Jika kondisi kepegawaian tidak dibenahi, bukan saja berdampak pada tidak dapat dioptimalkannya SDM daerah, namun juga menjadi masalah laten bagi implementasi otonomi daerah secara luas dan berkesinambungan.


Pendelegasian Kewenangan: Studi Kasus Kota Bandung

Pada tahun 2001, Walikota Bandung menerbitkan Keputusan No. 1342 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota Bandung kepada Camat. Kebijakan tadi memberikan 19 bidang dan 96 rincian kewenangan kepada Camat. Kewenangan Kota Bandung sendiri berjumlah 19 bidang dengan 249 rincian (Perda No. 2/2001). Ini berarti bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat masih sangat sedikit (38,6%), dan terdapat kemungkinan untuk menambah kewenangan yang baru pada waktu-waktu mendatang.

Kewenangan Kota Bandung sendiri sebenarnya belum optimal, karena hanya terdiri dari 249 rincian. Padahal menurut Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota, kewenangan yang dapat dilaksanakan oleh daerah terdiri dari 19 bidang dan 1.193 rincian kewenangan.

Apabila dibuat perbandingan antara ketiga peraturan diatas, maka dapat diperoleh gambaran yang bersifat piramida terbalik. Artinya, kewenangan yang diakui oleh Pusat sebagai domein kabupaten/kota berjumlah sangat besar, namun ketika diformalisasi kedalam Perda, kewenangan tadi menjadi mengecil / mengerucut. Dan ketika kewenangan itu akan dilimpahkan kepada Camat, jumlahnya menjadi sangat kecil. Beberapa hal menarik yang dapat disimak antara lain adalah sebagai berikut:

·           Untuk kewenangan bidang Koperasi, Penanaman Modal dan Sosial, agak membingungkan karena jumlah kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat ternyata lebih besar dari pada kewenangan yang dimiliki oleh Kota Bandung.
·           Perumusan Perda No. 2/2001 dan Keputusan Walikota No. 1342/2001 nampaknya lebih memperhatikan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dan kurang memperhatikan Kepmendagri No. 130-67/2001. Hal ini terlihat dari adanya beberapa bidang di Kepmendagri No. 130-67/2001 yang tidak terakomodir dalam Perda dan Keputusan Walikota. Padahal, Kota Bandung jelas memiliki kewenangan-kewenangan pada bidang Pariwisata, dan Tata Ruang.

Menurut hasil penelitian STPDN (2002), implementasi kebijakan tentang pelimpahan kewenangan tadi tidak dapat berjalan optimal, salah satunya disebabkan belum adanya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Oleh karena itu. perlu segera disusun juklak / juknis yang memuat pengaturan mengenai:

·           Kelembagaan yang harus menangani di kecamatan (bentuk organisasi, tupoksi, personil).
·           Mekanisme koordinasi dalam pelaksanaannya (intern kecamatan, antar lembaga).
·           Mekanisme pengambilan keputusan dalam pelaksanaannya.
·           Mekanisme perencanaannya (prosedur dan instansi yang terlibat).
·           Pelaksanaan dan pengendalian (prosedur, pelaksana dan penanggungjawab).
·           Pelaporan (mekanisme, pelapor, penerima laporan).
·           Pertanggungjawaban (mekanisme, petugas / penerima tanggungjawab, bentuk / format pertanggungjawaban).
·           Monitoring dan evaluasi (metoda / sistem dan instansi terkait).
·           Pengawasan (bentuk, unsur-unsur / obyek pengawasan, petugas / unit pengawas, instrument pengawasan, dan pelaksanaan pengawasan), dan sebagainya.


Penutup

Keberhasilan program pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan melalui pelimpahan kewenangan, sangat tergantung kepada sejauhmana desain program disusun dengan baik, dan juga sejauhmana program tadi benar-benar berbasis pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat local (people-centered policy). Salah satu hal yang sangat krusial disini adalah perlunya ada kejelasan tentang format kelembagaan kecamatan di masa mendatang, apakah akan dikembangkan menjadi “perangkat semi desentralisasii” dengan tugas-tugas sektoral substantif, atau tetap pada posisi semula sebagai “perangkat kewilayahan dibawah kabupaten/kota”.

Tidak ada komentar: