Jumat, 02 Juli 2010

Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing dan Produktivitas Organisasi


Pengantar

Ketika negara-negara di dunia menyepakati pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan investasi melalui forum-forum AFTA, NAFTA, APEC, LAFTA, WTO dan sebagainya, saat itu sesungguhnya telah mulai berlangsung proses terbentuknya tata dunia baru. Dalam konstelasi tata dunia baru ini terdapat suatu iklim kehidupan yang terbebas dari ketegangan Barat – Timur (cold war) dan dari ancaman bahaya nuklir, serta terbelenggu oleh jaring-jaring komunikasi ultra modern yang mampu menepis batas-batas wilayah negara sekaligus batas kulturalnya. Disisi lain, tata dunia baru tersebut akan banyak ditengarai oleh tuntutan keterbukaan, demokratisasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, serta kesadaran akan keterbatasan kemampuan daya dukung bumi terhadap kehidupan ekonomi manusia.

Salah satu implikasi terpenting yang muncul pada era ini adalah makin tingginya tingkat persaingan antar negara untuk memenangkan produk-produk unggulannya di pasar internasional. Untuk itu, maka produk domestik suatu negara haruslah lebih berbasis kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage) dari pada keunggulan komparatif (comparative advantage). Dan untuk dapat memenangkan persaingan pada pasar global tadi, maka faktor-faktor yang menentukan keunggulan kompetitif dalam suatu negara, harus diperhatikan dan dikelola secara baik dan profesional. Adapun faktor penentu yang memiliki kontribusi terhadap pembentukan daya saing nasional dalam tata dunia baru paling tidak terdiri dari 3 hal, yakni faktor SDM, faktor ketatalaksanaan dalam arti pengaturan (regulation) atau pemberlakuan kebijakan publik (public policy), serta faktor kelembagaan.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan laporan The World Economic Forum, daya saing Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan, yakni berada di urutan 31 diantara 41 negara pada tahun 1994, urutan 33 dari 48 negara pada tahun 1995, serta urutan 41 dari 46 negara pada tahun 1996. Penilaian terhadap tingkat daya saing ini didasarkan pada delapan indikator, yaitu kekuatan ekonomi domestik, kemampuan menembus pasar internasional, kondisi pemerintah, keuangan, infrastruktur, penguasaan iptek, dan kemampuan sumber daya manusia. Akan tetapi dilihat dari besarnya korupsi, Indonesia justru menjadi negara peringkat teratas.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka ketiga faktor determinan diatas (SDM, kebijakan/ketatalaksanaan dan kelembagaan) harus selalu diberdayakan. Pembinaan/pemberdayaan SDM, perlu diarahkan kepada terwujudnya sosok aparatur yang terampil, menguasai bidang tugasnya, berwawasan luas, profesional, serta menerapkan nilai-nilai imtak dan iptek dalam mendukung kelancaran tugasnya. Pemberdayaan ketatalaksanaan diarahkan pada tersedianya perangkat aturan/hukum yang menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya kreativitas dan daya cipta (inovasi), penyederhanaan prosedur perijinan dan pelayanan umum, serta konsistensi kebijakan yang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan kelembagaan diarahkan kepada terbentuknya struktur dan kewenangan organisasi yang bersifat luwes dan fleksibel, akordion, kejelasan dalam pembaganan dan pembagian tugas, ramping, serta memperbanyak tenaga-tenaga ahli fungsional.

Sehubungan dengan latar belakang diatas, makalah singkat ini akan mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai pentingnya pemberdayaan kelembagaan yang adaptif dan responsif terhadap tuntutan lingkungan, dengan sebelumnya menguraikan sedikit tentang sejarah dan pengertian pemberdayaan, pemberdayaan kelembagaan dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas organisasi, serta diakhiri dengan catatan penutup.


Pemberdayaan: Sejarah dan Pengertian Teoretis

Empowerment (pemberdayaan) pada awalnya merupakan konsep yang lahir dalam alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Eropa. Konsep ini dapat dipandang sebagai atau sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh kedua abad 20 yang dewasa ini banyak dikenal sebagai aliran post modernisme, dengan titik berat sikap dan pendapat yang orientasinya adalah anti sistem, anti struktur dan anti determinisme (Pranarka dan Moeljarto, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 44-45). Ini berarti, tatanan lama yang memiliki basis idiil pada determinisme keagamaan serta basis struktural pada organisasi gereja dan monarkhi, mulai bergeser pada tatanan baru yang berbasis kepada kemerdekaan dan kebebasan (independensi), otonomi, liberalisasi, serta emansipasi.

Kemerdekaan dan kebebasan dari determinisme keagamaan yang sifatnya doktriner mutlak, digantikan dengan sistem kemerdekaan untuk berpikir dan kemerdekaan untuk individu. Akibatnya, doktrin keagamaan mulai banyak digantikan dengan doktrin yang sifatnya rasional. Kebebasan, ratio dan individu itulah yang kemudian melahirkan konsep baru non keagamaan, hingga akhirnya lahirlah paham-paham alternatif seperti liberalisme, individualisme dan rationalisme (Pranarka dan Moeljarto, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 46-47). Dalam perspektif pemberdayaan, maka lahirnya aliran liberalisme, individualisme dan rationalisme dapat dikatakan sebagai suatu proses “depowerment” terhadap sistem keagamaan yang absolut.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, gerakan aufklarung yang ingin membangun sistem alternatif terhadap sistem keagamaan, ternyata telah melahirkan sistem-sistem sekular yang juga bersifat determinis dan totaliter, bahkan justru menyebabkan terjadinya proses alienasi eksistensi manusia dan proses dehumanisasi. Oleh karena itu, lahirlah gelombang baru seperti eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan paham-paham lain yang ingin membangun humanisme baru.  Dan pada dekade 60-an sampai dengan 70-an, berbagai aliran ini mulai surut dan digantikan oleh paham Sosiologi Kritik (Sekolah Frankfurt), Neo Freudianisme dan Neo Marxisme (Pranarka dan Moeljarto, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 51).

Keseluruhan paham kemasyarakatan yang berkembang sejak abad pertengahan hingga paruh abad 20 diatas pada prinsipnya memiliki unsur kesamaan, yakni keinginan melawan sistem, melawan struktur, atau melawan determinisme, tetapi sebaliknya mengembangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi, yang tidak menjadi sumber bagi terjadinya proses alienasi eksistensi dan proses dehumanisasi. Atau dengan kata lain, gagasan pemberdayaan ingin menempatkan masyarakat dan individu dalam kerangka nilai-nilai kebebasan dari keterikatannya dengan sistem atau struktur tertentu, kesempatan untuk berkreasi atau berinovasi, serta lebih menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Inilah hakikat dari ide pemberdayaan.

Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pemberdayaan, secara teoretis berikut dikemukakan beberapa definisi pemberdayaan dari para pakar sebagai berikut:

1.      Alat/teknik manajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab, sehingga akan mendorong keterlibatan (sekaligus rasa memiliki) dari seluruh anggota organisasi, serta membawa rasa kedekatan antara organisasi dengan masyarakat atau pelanggannya (Cook and Macaulay, 1996: 1)
2.      Upaya untuk membangun potensi (sumber daya) organisasi dengan cara mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 140).
3.      Upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain (Pranarka dan Moeljarto, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 56).

Dalam sisi empirik, makna pemberdayaan digambarkan secara jelas oleh Jan Carlzon, mantan CEO dari SAS Scandinavian Airlines sebagai: “membebaskan seseorang dari kendali yang kaku …. dan memberi kebebasan untuk bertanggungjawab terhadap ide, keputusan dan tindakan-tindakannya”. Dengan demikian, empowerment merupakan perubahan yang terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu lingkungan bagi setiap individu untuk menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi. Atau dengan kata lain, pemberdayaan merupakan metode untuk mendorong inisiatif dan respons, sehingga semua permasalahan dapat dipecahkan secepatnya dan sefleksibel mungkin.

Dalam implementasinya, konsep pemberdayaan menampakkan dua kecenderungan. Pertama, pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya (Pranarka dan Moeljarto, dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 56-57).

Sementara itu Elliot (dalam Prijono dan Pranarka, 1996: 102-103) mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan keberdayaan masyarakat   – khususnya yang dilakukan oleh lembaga/organisiasi non pemerintah – terdiri dari tiga macam strategi pendekatan. Pendekatan pertama, the welfare approach, merupakan kegiatan pemberian bantuan kepada kelompok-kelompok tertentu, misalnya yang sedang terkena musibah. Akan tetapi, pendekatan kemanusiaan ini belum mampu mencapai tujuan untuk memberdayakan rakyat dalam menghadapi proses politik dan pemiskinan rakyat. Itulah sebabnya muncul pendekatan kedua, the developmental approach, yang memusatkan program kegiatannya pada pengembangan proyek pembangunan yang bertujuan meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat. Adapun pendekatan ketiga, the empowerment approach, melihat ketidakberdayaan (powerless) sebagai akibat dari proses politik dan berusaha untuk memberdayakan atau melatih masyarakat guna mengatasi ketidakberdayannya.


Pemberdayaan Kelembagaan Melalui Pendelegasian Wewenang

Diatas telah disinggung bahwa pemberdayaan merupakan suatu upaya menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri, melalui pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada individu atau kelompok agar menjadi lebih berdaya. Ini berarti bahwa untuk mencapai pemberdayaan kelembagaan dalam suatu organisasi, perlu dilakukan dengan strategi pendelegasian wewenang. Sistem organisasi yang terlalu terpusat (sentralistis), rantai hierarkhi komando serta berorientasi kepada peraturan, diperkirakan tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang harus dilayaninya. Untuk itu, diperlukan adanya transformasi dalam organisasi yang menekankan pada desentralisasi wewenang, mempersingkat hierarkhi, memfokuskan pada kualitas, dan berorientasi pada pelanggan/konsumen/masyarakat.

Dalam kaitan itu, David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Government” (1995) telah mengemukakan peran baru bagi pemerintah sebagai pengatur dan pengendali daripada sebagai pelaksana langsung suatu urusan (steering rather than rowing). Demikian pula ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya “Megatrends 2000” (1990), yang menekankan peran baru para manajer dalam kepemimpinannya dengan meningkatkan partisipasi anggota melalui net working (people style of management). Atau dalam bahasa Sarwono Kusumaatmadja dalam buku “Birokrasi dan Administrasi Pembangunan” (1992), pemerintah mulai menarik mundur segenap kekuatannya sehingga perannya beralih dari fungsi ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa, menjadi lebih berat pada fungsi tut wuri handayani.

Delegasi sendiri dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggungjawab formal kepada orang lain untuk melaksanakan kegiatan tertentu (Handoko, 1993: 224). Sedangkan menurut Taylor (1992: 15) delegasi berarti proses penyerahan pekerjaan kepada bawahan, dimana pekerjaan disini dimaksudkan sebagai sebagai tugas yang berada dibawah tanggungjawab seorang manajer. Karena itu, delegasi wewenang menyangkut empat kegiatan sebagai berikut: 1) pemberi delegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas kepada bawahan; 2) pemberi delegasi melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau tugas; 3) penerimaan delegasi – baik implisit atau eksplisit – menimbulkan kewajiban atau tanggungjawab; 4) pemberi delegasi menerima pertanggungjawaban bawahan untuk hasil-hasil yang dicapai.

Dengan demikian pendelegasian wewenang adalah alat manajemen paling efektif dalam upaya mencapai sasaran organisasi melalui orang lain. Dalam hal ini, prinsip utama yang mendasari pendelegasian wewenang dari pimpinan organisasi kepada bawahan adalah desentralisasi pengambilan keputusan dalam organisasi. Dan dengan adanya desentralisasi pengambilan keputusan dalam organisasi ini, diharapkan dapat dicapai keuntungan-keuntungan sebagai berikut:

1.        Pendelegasian memungkinkan manajer dapat mencapai kinerja yang lebih baik dibandingkan jika mereka menangani sendiri setiap tugasnya. Artinya, dengan pendelegasian wewenang, manajer dapat memusatkan tenaganya pada tugas-tugas prioritas yang lebih penting. Dan dalam kerangka organisasional, delegasi wewenang dari atasan ke bawahan merupakan proses yang diperlukan agar organisasi dapat berfungsi lebih efektif dan efisien.
2.        Disisi lain, pendelegasian memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan berkembang, bahkan dapat digunakan sebagai alat untuk belajar dari kesalahan.

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan pendelegasian wewenang yang efektif ini, Stoner (dalam Sardjudin, 1995: 100) megemukakan tiga prinsip klasik yang harus ditaati, yaitu:

1.        Prinsip Skalar, dimana dalam proses pendelegasian harus ada garis wewenang yang jelas mengalir setingkat demi setingkat dari tingkatan organisasi paling atas ke tingkatan paling bawah.
2.        Prinsip Kesatuan Perintah, yaitu bahwa setiap bawahan dalam pelaksanaan tugas seharusnya melaporkan kepada atasan. Pelaporan kepada lebih dari satu atasan membuat individu mengalami kesulitan untuk mengetahui kepada siapa pertanggungjawaban dapat diberikan dan instruksi mana yang harus ditaati.
3.        Tanggung jawab,wewenang dan akuntabilitas. Prinsip ini menyatakan bahwa:
a.      Agar organisasi dapat menggunakan seluruh sumber dayanya dengan lebih efisien, tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu diberikan ke tingkatan organisasi yang paling bawah dimana ada cukup kemampuan dan informasi untuk menyelesaikannya.
b.      Konsekuensi wajar peranan tersebut adalah bahwa setiap individu dalam organisasi untuk dapat melaksanakan tugas yang dilimpahkan kepadanya dengan efektif, diperlukan wewenang secukupnya.
c.       Bagian penting dari delegasi tanggungajwab dan wewenang adalah akuntabilitas penerimaan tanggungjawab dan wewenang, yang berarti bahwa individu juga setuju untuk menerima tuntutan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas.

Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat diketahui bahwa desentralisasi melalui kebijakan pendelegasian wewenang sangat penting peranannya dalam menciptakan efisiensi, produktivitas dan pemberdayaan organisasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sady (1967), desentralisasi dalam manajemen pembangunan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1.      Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal dan memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal.
2.      Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi, dan pada tingkat lokal dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan tersebut..
3.      Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis.
4.      Melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri, serta merupakan pembinaan kesatuan nasional.


Pemberdayaan Kelembagaan Dalam Rangka Menciptakan Daya Saing dan Produktivitas Organisasi

Uraian diatas sedikit banyak telah mampu menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang atau pemberian otonomi kepada unit-unit kerja tertentu, unit pelaksana teknis atau lembaga hierarkhi yang lebih rendah, dapat diartikan juga adanya pemberian kepercayaan kepada lembaga yang bersangkutan, sehingga diharapkan akan menumbuhkan semangat dan tanggungjawab untuk meningkatkan produktivitas dan profesionalismenya. Dan peningkatan produktivitas dan profesionalisme suatu organisasi dapat dianggap pula sebagai suatu kondisi tercapainya pemberdayaan kelembagaan bagi organisasi yang bersangkutan.

Dalam konteks “reinventing government”, maka pemberdayaan kelembagaan (khususnya pada sektor publik) dapat dikatakan berhasil jika memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

1.      Organisasi pemerintah lebih beorientasi pada pemberian wewenang kepada masyarakat dari pada sekedar melayani. Sebab, dengan pemberian wewenang kepada masyarakat sangat membantu dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seperti berkurangnya kendala kontrol terhadap masyarakat. Disamping itu, dengan penerapan prinsip desentralisasi
2.      Organisasi pemerintah memiliki daya kompetisi (competitiveness) yang cukup kuat. Dengan adanya semangat kompetisi ini organisasi sektor publik dipacu untuk selalu cepat tanggap terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat, berusaha untuk memuaskan pelanggannya, serta menekan biaya operasionalnya.
3.      Organisasi pemerintah lebih menekankan partisipasi dan tim kerja daripada hierarkhi. Ini merupakan tuntutan yang diperlukan bagi organisasi sektor publik karena memiliki berbagai keuntungan seperti fleksibel dan adaptif, inovatif dan efektif, menghasilkan semangat kerja yang tinggi, sehingga lebih banyak menghasilkan produktivitas.
4.      Organisasi pemerintah lebih berorientasi kepada pelanggan/masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, saat ini sedang dipikirkan bagaimana membentuk suatu organisasi baru birokrasi yang lebih mengandalkan kepada tenaga-tenaga terampil dan ahli dalam fungsinya masing-masing (jabatan fungsional). Disamping itu juga sedang dirancang suatu struktur yang lebih pipih (flat organization) dengan harapan akan dapat memberikan dampak kepada kelincahan organisasi tersebut dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Dengan mengarahkan kelembagaan sektor publik kedalam sifat-sifat demikian, maka dapat diharapkan bahwa dalam menghadapi era perdagangan dan investasi bebas, kelembagaan aparatur negara Indonesia telah set up untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang ditimbulkan oleh proses globalisasi tersebut.


Penutup

Administrasi negara Indonesia pada dekade menjelang abad 221 sekarang ini dihadapkan kepada suatu kondisi lingkungan yang bergejolak (turbulence) dan tidak dapat dipastikan (uncerteinty). Kondisi ini mengharuskan aparatur untuk mencari berbagai alternatif bagi strategi pendayagunaan administrasi negara -- baik yang menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, maupun sumber daya manusianya.

Ketepatan dalam mengidentifikasikan kebutuhan jenis dan fungsi kelembagaan masa depan, akan membawa implikasi kepada kemampuan daya saing sektor publik dalam era persaingan global. Dan kemampuan berkompetisi secara sehat dengan memperhatikan dimensi-dimensi fair (kejujuran), care (kepedulian terhadap masyarakat yang kurang beruntung) dan share (kebermanfaatan bagi berbagai pihak yang terkait), secara signifikan akan membantu tercapainya produktivitas nasional secara optimal.


Daftar Pustaka


Cook, Sarah and Steve Macaulay, Perfect Empowerment: Pemberdayaan yang Tepat, Jakarta: Gramedia, 1996
Handoko, T. Hani, Manajemen, Yogyakarta: Amarta, Edisi Kedua, 1993
Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pemerataan dan Pertumbuhan, Jakarta: CIDES, 1996
Naisbitt, John  dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Nirwandar, Sapta dan Ibrahim Tadju (ed.), Birokrasi dan Administrasi Pembangunan” Jakarta: Sinar Harapan, 1992
Osborne, David and Ted Gaebler, Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, terjemahan dengan judul Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta, 1995
Prijono, Onny S., dan A.M.W. Pranarka, (ed.), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: CSIS, 1996
Sady, Emil J., and Raphaeli Nimrod (ed.), Improvement of Local Government for Development, Boston: Allynand Bacon Inc, 1967
Sardjudin, Karhi Nisjar, Pengaruh Pendelegasian Wewenang Sebagai Bagian Esensial Manajemen Strategis Terhadap Peningkatan Produktivitas Organisasi, Bandung: PPS Unpad, 1995
Taylor, Lynda King, Business Skill Quality: Total Customer Service, London: Century Business, 1992


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Desember 1999.

Tidak ada komentar: