Jumat, 02 Juli 2010

Reformulasi Kebijakan Perparkiran Dalam Implementasi Otonomi Daerah (Kasus Kota Bandung)


Abstrak:
Secara umum dapat diamati bahwa kinerja empirik BP Perparkiran di kota-ota besar umumnya dan di Kota Bandung khususnya kurang memuaskan, bahkan ada kecenderungan semakin menurun. Padahal, dalam era otonomi luas dewasa ini, tuntutan kualitas terhadap pelayanan publik semakin besar. Disisi lain, beban masyarakat akan makin berat jika Pajak Parkir jadi diterapkan berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan antara tuntutan publik dengan kinerja perparkiran, diperlukan langkah-langkah konkrit untuk mereformulasi kebijakan perparkiran di daerah. Reformulasi kebijakan tersebut meliputi penyesuaian perangkat peraturan perundangan, kelembagaan, maupun ketatalaksanaannya.



Pengantar


Dalam harian “Pikiran Rakyat” tanggal 10 September 2001 terdapat pemberitaan bahwa warga Bandung mengeluh soal perparkiran. Beberapa fenomena yang menjadi perhatian masyarakat antara lain meliputi fakta-fakta menjamurnya petugas parkir di berbagai tempat tanpa aturan yang jelas, pungutan retribusi tanpa disertai karcis tanda bukti parkir, penggunaan setiap jengkal lahan untuk keperluan parkir, status juru parkir yang diindikasikan sebagai ‘liar dengan sikap yang seram dan menakutkan’ dan sebagainya.

Fenomena diatas sesungguhnya hanya representasi sebagian kecil dari kondisi riil perparkiran Kota Bandung yang compang-camping. Segudang ‘rapor merah’ dapat dikemukakan lagi seperti pungutan yang melebihi tarif resmi, kerusakan dan kehilangan kendaraan di tempat parkir tanpa kompensasi sedikitpun, kontribusi terhadap kemacetan lalu lintas, ketidakseimbangan antara permintaan (kuantitas dan frekuensi kendaraan yang membutuhkan lahan parkir) dengan penawaran (kemampuan manajemen kota dalam menyediakan lahan), dan sebagainya.

Dalam era otonomi daerah yang luas saat ini, Pemerintah Daerah (cq. Kota Bandung) semestinya lebih tanggap terhadap keluhan-keluhan masyarakat dalam berbagai bidang, tidak terkecuali bidang perparkiran. Sebab, UU Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas telah mengatur bahwa seluruh kewenangan pemerintahan selain yang dikecualikan dalam pasal 7 dan 9, menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten / Kota. Atas dasar kewenangan yang luas ini, Pemerintah Daerah tidak dapat lagi terlalu menggantungkan bantuan Pusat maupun Propinsi dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Lagi pula, pemerintah telah menetapkan peraturan perundang-undangan tentang desentralisasi fiskal yang memberikan hak kepada Kabupaten / Kota untuk menggali berbagai sumber-sumber keuangan di daerah. Dalam hubungan ini, salah satu peluang yang sangat signifikan sebagai sumber pendapatan daerah adalah pajak parkir (UU Nomor 34 Tahun 2000).

Permasalahannya menjadi semakin pelik ketika kewenangan yang luas dan sumber pendapatan yang lebih besar diprediksikan kurang mampu mendongkrak kinerja pelayanan di daerah. Sebaliknya, terdapat kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa implementasi otonomi daerah lebih disikapi dengan rentetan berbagai kebijakan untuk melakukan pembenahan internal. Sebagai akibatnya, pelayanan dan kesejahtreraan masyarakat cenderung terabaikan.[1] Keluhan masyarakat yang semakin terkristal tentang situasi perparkiran daerah setelah 2 tahun berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, secara asumtif mendukung prediksi diatas.

Mengamati gejala-gejala disharmoni, miskonsepsi dan misinterpretasi yang berkembang dalam praktek berotonomi dewasa ini, maka upaya reformasi terhadap kebijakan daerah tentang perparkiran, mutlak diperlukan. Kebijakan yang baru tentang perparkiran, diharapkan mampu menciptakan sistem perparkiran yang lebih baik sehingga keluhan masyarakat dapat diminimalisir, dan pada saat yang bersamaan, kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan.


Parkir Dalam Konteks Otonomi Daerah


Walaupun urusan perparkiran tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundangan sebagai kewenangan Daerah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa urusan ini merupakan domein pemerintah Kabupaten / Kota. Hal ini didasarkan pada beberapa pemikiran, antara lain:

1.      Urusan perparkiran merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang bersifat langsung. Artinya, masyarakat menikmati secara langsung jasa parkir untuk waktu dan tempat tertentu dengan memberikan imbalan jasa (pungutan parkir) secara langsung pula.
2.      Urusan perparkiran merupakan jenis kewenangan lokal, yang secara indikatif dicirikan oleh tiga aspek sebagai berikut:
a.       Dilihat dari jangkauan atau substansinya, kewenangan tersebut menyangkut kepentingan rakyat daerah tertentu serta untuk memenuhi kebutuhan kalangan masyarakat tertentu.
b.       Dilihat dari lokus dan kepentingannya, kewenangan perparkiran lebih banyak dioperasionalisasikan di Kabupaten / Kota sehingga berhubungan erat dengan kepentingan strategis Kabupaten / Kota yang bersangkutan.
c.       Dilihat dari fungsi administratifnya, kewenangan tersebut lebih bersifat rowing (pelaksanaan) dari pada steering (pengaturan), sehingga kurang tepat jika terdapat campur tangan dari pemerintah Propinsi apalagi pemerintah Pusat.
3.      Urusan perparkiran dapat menjadi salah satu potensi sumber pendapatan yang sangat diperlukan untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah.

Berdasarkan pemikiran diatas dapat diinterpretasikan bahwa urusan parkir termasuk dalam kewenangan sebagaimana dimaksud oleh pasal 11 ayat (1), namun tidak termasuk dalam kewenangan sebagaimana dimaksud oleh pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 tahun 1999.[2] Sebagai kewenangan otonom, urusan perparkiran memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan otonomi di suatu daerah. Dan pada saat yang bersamaan, kinerja perparkiran dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan otonomi daerah. Dengan kata lain, perparkiran dalam konteks otonomi daerah dapat dilihat dari dimensi input maupun dimensi output.

Dari dimensi input, urusan parkir dan segala implikasinya (terutama sebagai sumber PAD) merupakan salah satu faktor deteminan yang mendukung kemampuan / kapasitas daerah. Sedangkan dari dimensi output, kinerja parkir merupakan hasil kerja atau produk yang terukur dari sebuah proses berotonomi. Sayangnya, hingga saat ini aktualisasi dimensi input jauh lebih menonjol dibanding dimensi output. Akibatnya, parkir lebih dipandang sebagai “sapi perahan” dari pada sebagai prestasi yang dapat dibanggakan. Kondisi seperti ini dapat diamati hampir di semua kota besar di Indonesia, tidak terkecuali Kota Bandung dengan tingkat kinerja yang kurang menggembirakan sebagaimana dipaparkan dibawah ini.


Kinerja Perparkiran Kota Bandung


Bagi suatu daerah yang bersifat kota (urban), kebutuhan terhadap pelayanan parkir dapat dikatakan sebgai kebutuhan vital. Hal ini menjadi dasar filosofis bagi pemerintah daerah untuk mengatur masalah perparkiran, dengan tujuan untuk memenuhi permintaan warga kota. Dalam hubungan ini, paling tidak terdapat tiga fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelola Perparkiran (BPP), yang sekaligus menjadi indikator untuk mengukur tingkatan kinerjanya, yaitu: 1) membantu pemerintah daerah dalam mewujudkan ketertiban dan kelancaran lalu lintas, 2) menyediakan pelayanan umum terutama untuk pemilik kendaraan dan pejalan kaki, serta 3) memberikan kontribusi positif terhadap PAD.[3]

Sayangnya, gejala-gejala di lapangan mengindikasikan bahwa BPP belum mampu menunjukkan unjuk kerja terbaik dalam ketiga fungsi diatas. Secara kualitatif hal tersebut dapat diamati dari parahnya kemacetan di jalan-jalan kota Bandung dan terenggutnya track untuk pejalan kaki. Disamping itu, kontribusi retribusi parkir terhadap PAD juga sangat rendah disebabkan oleh kemungkinan terjadinya mis-manajemen atau faktor-faktor lainnya. Secara konkrit, kinerja BPP Parkir dapat digambarkan sebagai berikut:

1.      Kinerja Teknis

Kinerja teknis disini berkaitan erat dengan aspek-aspek teknis pelaksanaan parkir di lapangan seperti kontribusi terhadap kemacetan, kecukupan lahan parkir, dan sebagainya. Dalam hal kemacetan lalu lintas, barangkali tidak seorangpun menyangkal bahwa ketertiban dan kenyamanan berlalu lintas di Bandung semakin hari semakin menurun. Di pusat kota seperti Jalan Merdeka, kawasan alun-alun dan sekitarnya, atau daerah ‘segitiga berkait’ Cikutra/Suci, Cicadas dan Cicaheum, kemacetan sudah menjadi pemandangan yang sangat lumrah. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah pinggiran kota (suburb) seperti Cijerah dan Ciwastra.

Tentu saja, traffic congestion tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh faktor parkir yang buruk, namun juga berasal dari keadaan riil panjang jalanan, jumlah kendaraan, serta ketersediaan tempat parkir. Menurut data BPS Kota Bandung[4], panjang jalan di Kota Bandung baik yang berjenis hotmix, penetrasi maupun beton adalah sepanjang 932.701 km. Kuantitas panjang jalan belum mengalami peningkatan dalam 2 tahun (1998-1999).

Kapasitas sebesar ini agaknya tidak memadai dengan jumlah mobil penumpang sebanyak 32.585, mobil beban sebanyak 13.508, otobus sebanyak 129.350, serta kendaraan roda-2 dan roda-4 sebanyak 418.592. Ditambah dengan jumlah becak, andong/dokar, sepeda, serta pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang tidak teridentifikasi secara akurat, perimbangan antara kapasitas jalan dengan pengguna jalan menjadi sangat tidak seimbang. Dampaknya, kemacetan lalu lintas menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.

Sementara itu, banyaknya tempat parkir hanya berjumlah 623 buah, dengan perincian parkir jalan umum (215), lingkungan parkir (4), pelataran pasar (6), gedung parkir (12), pelataran parkir (148), penyelenggaraan parkir gratis (184), serta pengusaha garasi (54). Meskipun tidak ada informasi rinci tentang daya tampung per satuan waktu, namun fenomena empirik menunjukkan bahwa ke 623 tempat parkir tadi belum mampu menampung kendaraan yang membutuhkan tempat parkir. Artinya, perimbangan antara jumlah dan daya tampung tempat parkir dengan jumlah kebutuhan terhadap tempat parkir, juga sangat tidak seimbang. Sekali lagi, hal ini mengakibatkan inefisiensi dalam berlalu lintas.

Fakta-fakta diatas menyiratkan bahwa kondisi teknis parkir yang kurang memadai memberi kontribusi negatif terhadap kualitas berlalu lintas di kota Bandung. Oleh karena itu, penanganan masalah kemacetan juga harus dilakukan dengan membenahi aspek-aspek perparkiran sebagai salah satu kontributornya.

2.      Kinerja Pendapatan / Finansial

Berdasarkan data BPS Kota Bandung, pada tahun anggaran 1999/2000, retribusi parkir Kota Bandung ditargetkan sebesar Rp 5.500.000.000 dan dapat direalisasikan sebesar 81,50% atau Rp 4.482.574.600. Dengan jumlah total retribusi sebesar Rp 20.820.430.591, berarti parkir berkontribusi sebesar 21,5%.

Hal ini menegaskan bahwa retribusi parkir dapat menjadi primadona pendapatan daerah jika dikelola dengan tertib dan profesional. Sementara itu jika dibandingkan dengan total APBD Kota Bandung 1999/2000 sebesar Rp 159.986.276.089,07, maka retribusi parkir berkontribusi sebesar 2,8%. Apabila pajak parkir sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah direalisasikan, maka potensi pendapatan dari sektor parkir dengan sendirinya akan meningkat secara drastis.

Selanjutnya pada tahun anggaran 2000, target pendapatan sebesar Rp 4.850.000.000 dan dapat dicapai sebesar Rp 4.190.525.500 atau 86%. Meskipun persentase realisasi meningkat, namun jumlah nominalnya justru menurun. Adapun pada tahun 2001, target pemasukan retribusi parkir sebesar Rp 9.000.000.000.[5] Dengan peningkatan target yang hampir mencapai 100%, dapat diprediksikan bahwa persentase realisasi akan mengalami penurunan.

Dengan asumsi bahwa: 1) jumlah pemasukan retribusi tahun 2001 sebesar Rp 9.000.000.000; 2) total kendaraan 594.035 buah (berdasarkan data 1998/1999 tanpa membedakan jenis); dan 3) tarif sekali parkir 1 jam pertama sebesar Rp 500 (berdasarkan Perda Kota Bandung No. 5 Tahun 1995 untuk kendaraan bermotor roda empat), maka dapat dilakukan proksimasi perhitungan pendapatan retribusi sebagai berikut:

·        Penerimaan retribusi 1 kali parkir: 594.035 buah kendaraan x Rp 500 = Rp 297.017.500
·        Frekuensi parkir yang diperlukan untuk dapat mencapai target: Rp 9.000.000.000 : Rp 297.017.500 = 30,3 kali parkir.

Perhitungan diatas menggambarkan bahwa target tahun 2001 dapat dicapai “hanya” dengan syarat bahwa setiap kendaraan di kota Bandung menggunakan jasa parkir sedikitnya 30 kali dalam setahun, atau 2,5 kali dalam sebulan. Pertanyaannya, mungkinkah seorang pemilik kendaraan hanya menggunakan jasa parkir sebanyak 2 sampai 3 kali dalam sebulan? Pertanyaan retoris ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa potensi yang telah tergali dari retribusi parkir sesungguhnya masih sangat kecil. Dengan kata lain, kinerja pendapatan BPP Kota Bandung juga masih rendah.

3.      Kinerja Pelayanan

Banyaknya keluhan masyarakat sebagaimana dilaporkan oleh Harian “PR” dan dikutip pada awal tulisan ini secara gamblang menjelaskan kadar kepuasan masyarakat terhadap jasa pelayanan parkir di Kota Bandung. Disamping itu, kasus-kasus pengrusakan dan pencurian kendaraan di areal parkir juga mengurangi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga perparkiran. Merujuk kepada potensi pendapatan sektor parkir yang begitu besar, sesungguhnya penggantian kerusakan dan kehilangan kendaraan di tempat parkir tidak akan menyebabkan bangkrutnya BPP. Apalagi, kerusakan dan kehilangan adalah kasus yang cukup mudah diantisipasi dan dicegah dengan metode kerja yang efektif dan profesional. Oleh karena itu, dalam perspektif kedepan dimana tuntutan pelayanan semakin kritis, sudah waktunya ketentuan yang mengatur bahwa “petugas parkir atau pemegang ijin tempat parkir dibebaskan dari tuntutan dan tanggung jawab kerusakan dan kehilangan kendaraan serta barang-barang dari dalam kendaraan tersebut”,[6] dihapuskan.


Reformulasi Kebijakan Perparkiran 


Dalam rangka mendorong unjuk kerja organisasi, BPP perlu melakukan pembenahan dalam berbagai bidang. Pembenahan tersebut semakin penting jika dikaitkan dengan implikasi logis dari pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999. Disini paling tidak terdapat empat implikasi penting, yakni implikasi terhadap perubahan tugas pokok, implikasi terhadap administrasi perpajakan dan/atau retribusi, implikasi terhadap struktur organisasi internal dan antar hubungan dengan instansi lain, serta implikasi politis (dampak terhadap masyarakat). Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa bidang yang perlu mendapatkan prioritas untuk dibenahi adalah bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, serta kebijakan atau kesisteman

1.      Reformulasi Kelembagaan


Hingga saat ini, “perangkat” daerah yang menangani urusan perparkiran di Kota Bandung adalah berbentuk Badan, yakni Badan Pengelola Perparkiran (BPP). Ironisnya, dalam SOTK Kota Bandung yang baru[7], eksistensi BPP tidak diatur sama sekali, sehingga keberadaannya menjadi membingungkan, paling tidak dari perspektif administratif. “Hilangnya” BPP dari Perda SOTK dapat diinterpretasikan dalam beberapa bentuk :

·        BPP “tidak diakui” sebagai perangkat daerah dalam pengertian pasal 1 (g) PP Nomor 84 tahun 2000 yang menentukan bahwa perangkat daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan sesuai dengan kebutuhan daerah. Dengan kata lain, BPP kemungkinan akan diarahkan sebagai UPTD seperti PDAM, PD Pasar, PD BPR, dan sejenisnya. Namun interpretasi ini nampaknya tidak akurat pula karena Perda SOTK telah mengakomodir dua bentuk UPD, yakni Pusat Pelayanan Kesehatan Gigi Mulut dan RSB Astanaanyar. Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa penataan kelembagaan BPP (dan juga PDAM, PD Pasar, PD BPR) masih status quo, jika tidak dikatakan belum dipikirkan sama sekali.
·        Atas dasar interpretasi pertama, muncullah spekulasi bahwa dibelakang fenomena tersebut tersembunyi kepentingan-kepentingan “politik” tertentu. Kepentingan politik yang dimaksud disini berhubungan erat dengan “potensi retribusi” yang sangat besar. Dengan tidak diaturnya BPP dalam Perda, maka institusi ini relatif dapat “dimainkan”, baik oleh Pemda, DPRD, maupun pihak-pihak tertentu seperti pengelola parkir swasta.

Fakta bahwa BPP belum diatur dalam SOTK baru akan menimbulkan beberapa kesulitan atau pertanyaan, misalnya tentang nomenklatur, kedudukan / statusnya sebagai perangkat daerah, mekanisme hubungan dengan instansi terkait, eselonering, dan sebagainya. Oleh karena itu, beberapa alternatif kelembagaan dibawah ini dapat dipertimbangkan dalam mendesain ulang format kelembagaan BPP.

·        Dinas yang berfungsi menangani urusan teknis perparkiran sekaligus mengelola aspek pajak dan retribusinya. Dengan kata lain, Dinas Perparkiran sebagai unit pelayanan (center of service excellence) sekaligus sebagai penghasil pendapatan (center of revenue).
·        Badan Pembina Perparkiran seperti di Kota Surabaya yang terdiri dari DLLAJ, Satlantas, Polwiltabes, Dinas PU (Bina Marga), Bagian Hukum, Bagian Organisasi, dan Dinas Pendapatan. Badan ini bertugas melakukan pembinaan perparkiran dengan tujuan meningkatkan ketertiban, keamanan, kelancaran lalu lintas serta PAD.
·        Lembaga Teknis berbentuk Badan yang khusus menangani urusan-urusan teknis perparkiran, sementara aspek pajak dan retribusinya diserahkan kepada lembaga yang lain (cq. Dinas Pendapatan).

2.      Reformulasi Ketatalaksanaan


Aspek ketatalaksanaan yang dimaksud disini antara lain meliputi metode pengumpulan retribusi, mekanisme penyerahan dan pengelolaan retribusi, serta ketentuan bagi hasil (revenue sharing) dengan sektor swasta, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan aspek vital yang akan sangat menentukan kinerja organisasi, dan oleh karenanya perlu diatur dalam peraturan khusus.

Mengenai metode pengumpulan retribusi, selama ini dikenal sistem target. Sebagai contoh, jenis parkir gedung di BIP Jl Merdeka dikenakan kontribusi sebesar Rp 23.754.000 / tahun, sedangkan jenis parkir pelataran di Sultan Plaza Jl Cihampelas dikenakan kontribusi sebesar Rp 6.438.000 / tahun. Sayangnya, sistem ini kurang efektif dan sering kali tidak dapat memenuhi target karena hal-hal tertentu. Misalnya, pada tanggal 6 Juli 2000 setoran parkir di sekitar Jl Cikapundung, Braga dan Banceuy menurun sebesar Rp 80.000 dikarenakan adanya kunjungan Wakil Presiden di Muktamar NU. Dengan demikian, kelemahan dari sistem target ini meliputi dua hal pokok, yaitu: 1) nilai nominal target ditetapkan berdasarkan perkiraan semata, dan 2) terdapat peluang bagi juru parkir atau pemegang ijin tempat parkir untuk berkelit dari kewajiban memenuhi target yang telah ditetapkan.

Disamping sistem target, dikenal pula sistem karcis, yakni pengumpulan retribusi dengan menjual karcis yang pada setiap lembarnya tercantum nilai nominal yang harus dibayar oleh pengguna jasa parkir. Namun sistem ini mengandung beberapa kelemahan seperti: karcis dicetak tanpa batas masa berlaku atau dalam jumlah yang melebihi kebutuhan, pendistribusian karcis kepada para juru parkir hanya didasarkan pada perkiraan kebutuhan, kemungkinan penggunaan karcis secara berulang-ulang, dan jumlah retribusi yang disetorkan disesuaikan dengan jumlah karcis terjual semata.

Oleh karena itu, untuk mengurangi distorsi dalam dua sistem pemungutan tadi, beberapa alternatif sistem pengumpulan retribusi yang dapat dipertimbangkan antara lain sebagai berikut:

·        Sistem Pemungutan Terpusat dalam arti dilakukan penjualan stiker atau bukti parkir bulanan (langganan) kepada konsumen sehingga juru parkir tidak boleh dan tidak dapat lagi memungut retribusi tetapi hanya menerima potongan bukti parkir dari konsumen.
·        Privatisasi dengan sistem license, operate, and sharing (LOS). Metode ini mengandung arti bahwa pemerintah daerah menetapkan pihak swasta tertentu dan memberikan hak previlege untuk mengelola perparkiran (pemungutan iuran, penyediaan dan pengaturan lahan, rekrutmen dan pembinaan juru parkir, pelaporan administratif, dan sebagainya). Selanjutnya, berdasarkan Perda tertentu tentang bagi hasil pengelolaan parkir, pihak penerima lisensi memberikan persentase penerimaan kepada pemerintah daerah.

3.      Reformulasi Kebijakan


Berdasarkan kondisi-kondisi faktual yang relatif kurang efektif dan kurang efisien seperti dikemukakan diatas, maka perubahan kebijakan secara menyeluruh perlu segera dirumuskan. Dalam hal ini, beberapa langkah reformasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan produk peraturan perundangan sebagai berikut:

·         Penerbitan Peraturan Daerah tentang kelembagaan dan tata kerja lembaga perparkiran daerah (baik Dinas, Badan, maupun UPD / BUMD). Dalam Perda ini perlu ditegaskan tentang visi, tugas dan fungsi, eselonisasi, departementasi, hubungan kerja internal maupun antar lembaga, dan seterusnya.
·         Penerbitan Peraturan Daerah tentang Pajak Parkir, termasuk besaran, lembaga pengelola, proses pemungutan dan perhitungan, kontra prestasi bagi masyarakat, mekanisme pemantauan, pemeriksaan,  pertanggungjawaban dan pelaporan, dan sebagainya.
·         Pengaturan (Keputusan Walikota) tentang rincian kewenangan di bidang perparkiran, lengkap dengan mekanisme pengawasan dan penyelenggaraannya, serta prosedur pertanggungjawaban dan pelaporan.
·         Pengaturan (Keputusan Walikota) tentang aspek-aspek teknis perparkiran seperti tarif retribusi, tatacara parkir, hak dan kewajiban juru parkir / pemegang ijin tempat parkir / BPP, prosedur penetapan mitra / pihak ketiga dan pemberian lisensi, tanggungjawab perdata dan pidana pihak-pihak terkait, prosedur penanganan dan penyelesaian komplain atau keluhan masyarakat, dan sebagainya.


Penutup


Perubahan kebijakan pada level tertinggi (policy level) memerlukan penyesuaian pada level yang lebih bawah (organizational level). Dalam hal ini, pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 harus disikapi dengan pembenahan pada level pemerintahan daerah dalam bentuk penyesuaian kebijakan (policy adjustment) dalam semua aspek yang diperlukan. Penyesuaian kebijakan ini meliputi penyesuaian perangkat peraturan perundangan, kelembagaan, maupun ketatalaksanaannya.


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Desember 2001.



[1]     Untuk diskusi tentang ironi dalam implementasi otonomi daerah, lihat antara lain Tri Widodo W. Utomo, Desentralisasi Kewenangan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Kajian Tentang Implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Struktur Pembiayaan Pemerintahan Daerah)”, Jurnal Wacana Kinerja Vol. 4 Nomor 2, Juni 2001.
[2]     Sebagai ilustrasi dapat dikutip Perda Kota Surabaya No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Perparkiran yang secara tegas menyatakan bahwa “penyelenggaraan tempat parkir di Kota merupakan kewenangan Pemerintah Kota” (pasal 2).
[3]    Hasil wawancara dengan Kepala BPP Kota Bandung, 26 June 2001.
[4]     BPS Kota Bandung, Bandung Dalam Angka 1999.
[5]     BPP Kota Bandung, Target dan Realisasi Pendapatan (Income) di BPP Kota Bandung Tahun Anggaran 2000 dan Program Kerja BPP Kota Bandung 2001.
[6]     Pasal 4 ayat (2) Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 1993.
[7]     Perda No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung, dan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Sebagai perbandingan, di Kota Surabaya kelembagaan yang mengurusi masalah perparkiran berbentuk Dinas, yakni Dinas Perparkiran.

Tidak ada komentar: