Dalam
ceramahnya tentang konsep keadilan, Yudi Latif sempat menyinggung soal
remunerasi yang diterima oleh kementerian tertentu. Beliau mengajukan
pertanyaan retoris: apakah hanya karena mengurusi anggaran lantas kementerian
tertentu berhak mendapat remunerasi jauh lebih besar dibanding pegawai
kementerian/lembaga lain? Seketika, pernyataan tadi disambut dengan tepuk
tangan riuh oleh peserta. Saya jadi teringat, pada ceramah perdana tentang
reformasi birokrasi yang disampaikan Kepala LAN setelah pembukaan Diklatpim II,
seorang peserta menanyakan tentang dasar logika yang digunakan pada kebijakan
pemberian remunerasi kepada kementerian tertentu.
Ada
dua nuansa yang yang dapat ditangkap dari dua peristiwa diatas. Pertama, terdapat kesan adanya kebijakan yang diskriminatif dan menciderai
rasa keadilan masyarakat banyak. Alasan dan logika apapun terlalu sulit untuk
diterima dengan akal sehat, mengapa orang yang bekerja di kementerian yang
menangani keuangan memiliki penghasilan 5 hingga 6 kali lipat dibanding mereka
yang bekerja di kementerian/lembaga lain, padahal mereka sama-sama mengabdi
kepada republik dengan level jabatan yang sama, beban kerja yang sama, masa kerja
yang sama, ataupun pangkat yang sama? Diskriminasi kebijakan seperti ini dapat
diobservasi secara kasat mata tanpa memerlukan metodologi maupun pembuktian
ilmiah apapun. Bahkan dari perspektif hukum, hal ini dapat pula dimaknai
sebagai upaya memperkaya atau menguntungkan diri-sendiri. Tidak aneh jika
kemudian banyak berkembang sinisme bahwa birokrasi di Indonesia sudah menganut
paham kastanisasi. Dalam konteks kebijakan yang berkeadilan, secara langsung
maupun tidak langsung, praktek seperti ini adalah bentuk pengingkaran terhadap
Sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kedua, kentara sekali nuansa
“cemburu” yang terpancar dari sikap para peserta setiap kali issu remunerasi
diungkap. Namun, “kecemburuan” ini sebenarnya sangat logis dan beralasan.
Bukankah orang yang bekerja di lembaga yang mengurusi soal kepegawaian juga
tidak mendapat perlakuan istimewa di bidang kepegawaian? Bukankah orang yang
bekerja menangani urusan asset (mobil, rumah dinas, komputer, dll) juga tidak
memperoleh privilege untuk
menggunakan asset tersebut? Jika asumsi yang digunakan adalah bahwa pemberian
remunerasi dimaksudkan untuk menekan tingkat korupsi dan penyelewengan di
kementerian tertentu, bukankah itu adalah asumsi yang sesat dan misleading? Korupsi dan penyelewengan
hanya tepat diganjar dengan hukuman, bukan malah dianugerahi dengan remunerasi.
Semestinya, remunerasi adalah bentuk penghargaan terhadap individu atau lembaga
yang mampu bekerja dengan penuh integritas dan dibuktikan dengan kinerja
optimal. Faktanya sekarang, kementerian yang telah mendapat remunerasi tetap
saja gagal memberantas praktek-praktek koruptif di lingkungannya.
Secara
kebetulan, beberapa hari yang lalu ada berita di media cetak bahwa beban APBN
sudah sangat berat untuk membayar gaji pegawai. Bisa dibayangkan, jika
kementerian/lembaga yang lain menuntut diberikan remunerasi yang sama seperti
kementerian yang telah menerima sebelumnya, apakah tidak menyebabkan
kebangkrutan total bagi negara? Namun jika kementerian/lembaga lain tidak
diberikan hak yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan serta kegelisahan yang
semakin menumpuk, bukankah sama artinya dengan menyimpan bom waktu yang dapat
meledak kapan saja tanpa dapat diprediksi? Dengan demikian, pemberian
remunerasi secara merata kepada seluruh kementerian/lembaga, atau hanya
memberikan keistimewaan bagi kementerian yang menangani urusan keuangan,
sama-sama menyimpan potensi bahaya yang sangat besar.
Nah,
ketika kami belajar tentang diagram pola dasar sistem (archetype diagram) sebagai piranti systems thinking, ada satu pola dasar yang nampaknya sangat tepat
untuk menganalisis kasus reformasi birokrasi ini, yakni archetype tragedi bersama (tragedy
of the commons). Archetype ini
menggambarkan bahwa banyak individu (baik dalam pengertian orang maupun
lembaga) yang memanfaatkan sumber daya milik bersama untuk keperluan pribadi
tanpa memperhitungkan dampak dan kepentingan bersama yang berpengaruh pada
kegiatan semua pihak. Pada keadaan tertentu, kegiatan perorangan itu melampaui
batas dan menguras hampir seluruh sumberdaya (Modul 1.A-2 hal. 155-156).
Normalnya, archetype tragedi bersama sering diterapkan pada
kasus-kasus eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif. Namun dalam kasus
reformasi birokrasi-pun, ternyata archetype
ini cukup tepat dan akurat. Reformasi birokrasi yang berimplikasi pada
pembayaran remunerasi akan menjadi beban yang makin lama makin besar terhadap
APBN. Ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, apabila sumber-sumber pendapatan baru tidak sebanding
dengan tuntutan pembayaran remunerasi yang semakin banyak dari berbagai
kementerian/lembaga yang belum menerima, maka beban APBN akan semakin besar
lagi. Jika beban ini terus membesar, maka akan ada mata anggaran yang
dikorbankan untuk menutup beban pembayaran remunerasi. Jika semakin banyak mata
anggaran yang dikorbankan, maka kepentingan publik yang lebih luas akan menjadi
“tumbal” reformasi birokrasi. Kedua,
apabila kementerian/lembaga selain yang menangani keuangan tidak diberikan
remunerasi guna meminimalisir tekanan terhadap APBN, maka akan muncul
kecemburuan, kegelisahan, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Jika perasaan
ini terus terakumulasi, maka akan menurunkan semangat kerja dan kinerjanya.
Jika kinerja turun, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak yang
semestinya dilayani dengan optimal berdasarkan prinsip “anggaran untuk rakyat”.
Dengan demikian, reformasi birokrasi
yang berujung remunerasi sebaiknya dihentikan. Kebijakan pemberian remunerasi
kepada kementerian yang menangani urusan keuangan harus dihentikan pula secepat
mungkin sebelum menimbulkan ekses bola salju yang lebih besar. Namun program
reformasi tetap perlu dilanjutkan tanpa harus dikaitkan dengan iming-iming untuk mendapatkan
remunerasi. Remunerasi dapat dipikirkan kemudian ketika reformasi telah
menunjukkan hasil berupa efisiensi anggaran yang signifikan. Atas dasar
efisiensi itulah, remunerasi baru dapat dikalkulasi. Jadi jelaslah bahwa
remunerasi sesungguhnya hanyalah by
product dari proses reformasi, bukan tujuan utama.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Sabtu,
25 Juni 2011