Dalam
setiap penyelenggaraan diklat, akan selalu muncul pertanyaan tentang koneksitas
antara diklat sebagai temporary system
dengan instansi tempat kerja sebagai permanent
system. Diantara keduanya dapat diidentifikasikan paling sedikit dua macam
gap. Pertama, gap antara teori dan
praktek, yaitu antara materi yang dipelajari dalam diklat dengan peluang
aplikasinya di tempat kerja. Faktanya, banyak sekali teori, model, good practices, atau materi-materi yang
sangat bagus ternyata hampir seluruhnya tidak dapat dibumikan dan/atau
direplikasikan. Kedua, proses
pembelajaran yang berlangsung selama diklat diharapkan dapat berlanjut di
tempat kerja, namun kenyataannya tidak terjadi. Teorinya, tempat pembelajaran
yang hakiki adalah pembelajaran di tempat kerja. Namun yang lebih sering
terjadi, pembelajaran berhenti bersama dengan selesainya program diklat.
Peningkatan kompetensi kognitif yang diperoleh tidak lebih hanya sekedar “oleh-oleh”
dari pada sebuah modal intelektual untuk pembenahan organisasi.
Filosofi
dasar diklat sendiri diselenggarakan untuk menutup celah kompetensi seseorang
agar lebih efektif dan produktif dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam hal
ini, desain diklat secara umum sudah sangat bagus untuk membangun kompetensi
peserta, sekaligus membantu peserta untuk melakukan diagnosa permasalahan,
pengembangan alternatif solusi, hingga pengambilan keputusan yang terbaik
lengkap dengan instrumennya. Sebagai contoh, di Diklatpim II ini kami belajar
bagaimana mengidentifikasi 7 ketidakmampuan belajar (learning disabilities), yang dengan mudah dan cepat bisa kami
temukan. Ketika kita sudah tahu letak ketidakmampuan belajar kita, maka dengan
relatif mudah juga akan dapat dirumuskan strategi untuk meminimalisasi,
sehingga roda organisasi akan berjalan lebih mulus dan lancar. Namun, belum
menjadi kelaziman untuk menyebarkan istrumen yang sama ke seluruh pegawai untuk
mengetahui ketidakmampuan belajar dan cara mengatasinya.
Demikian
pula saat kami belajar tentang gaya belajar (learning style inventory), kami menjadi paham bahwa empat gaya
belajar yang ada yaitu Diverger, Assimilator,
Konverger, dan Akomodator
memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing. Sebuah organisasi akan memiliki
peluang untuk belajar lebih cepat jika dalam organisasi tersebut terdapat
pegawai dengan gaya belajar yang beragam. Dengan keragaman tadi, maka seseorang
yang mempunyai gaya belajar diverger akan
mampu mengisi kekurangan orang dengan gaya assimilator.
Gaya assimilator selanjutnya akan
menutupi kekurangan orang dengan gaya konverger.
Pada gilirannya, gaya konverger akan
dapat menyempurnakan orang dengan gaya akomodator,
dan begitu seterusnya membentuk sebuah siklus yang dinamis dan saling memperkuat
(reinforcing). Sayangnya, meskipun
sudah terlalu banyak orang mengetahui ilmu ini, toh tetap saja belum pernah
dipraktekkan dalam dunia kerja.
Oleh
karena itu, jika ternyata kompetensi yang diperoleh selama diklat tidak dapat
diaplikasikan di tempat kerja, maka sesungguhnya telah sia-sialah seluruh
waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk terselenggaranya diklat
tersebut. Kecenderungan diskoneksitas dan diskontinuitas antara keduanya telah
menjadi keprihatian yang meluas dikalangan birokrasi. Pertanyaan retoris yang
sering kita dengar, misalnya, mengapa sikap
perilaku dan kinerja seseorang tidak berubah setelah ikut diklat?; mengapa
masih banyak penyimpangan meski program diklat semakin massive?; mengapa
pembelajaran seorang alumni diklat tidak tertransformasikan kepada kolega dan
bawahannya?; dan sebagainya.
Berbagai
pertanyaan tadi mengantarkan kita pada pertanyaan fundamental, yakni mengapa
pembelajaran pada temporary system tidak
dapat atau sedikit sekali diterapkan pada permanent
system? Sub-sistem apa yang berkontribusi terhadap kegagalan tersebut?
Terus
terang, saya juga tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun terdorong
oleh hasrat untuk menguak misteri yang ada, saya mencoba melakukan kontemplasi
mendalam dan menemukan dugaan-dugaan sebagai berikut. Pertama, diklat tidak mampu menutup gap kompetensi karena memang gap antara kemampuan individu pegawai (individual level) dengan standar kompetensi jabatan, dan gap antara SDM organisasi (institutional
level) dengan kemampuan untuk mewujudkan visi-misi organisasi, tidak pernah
teridentifikasikan sebelumnya. Bagaimana akan menutup gap atau celah, jika
lobangnya sendiri belum ditemukan? Kedua,
siklus diklat sering terputus oleh “ritual”
penutupan,
dan tidak dilanjutkan dengan sebuah evaluasi yang mendalam dan menyeluruh.
Kalaupun ada, evaluasi lebih banyak menyentuh aspek
“persepsi” yang tidak terukur, atau tidak diperkuat oleh parameter untuk mengetahui korelasi /
pengaruh langsung diklat terhadap kinerja alumni.
Maka,
agar terjadi koneksitas dan kontinuitas antara temporary system dengan permanent
system, perlu diciptakan “jembatan” antar keduanya. Salah satu instrumen
yang dapat difungsikan sebagai jembatan, menurut saya, adalah kontrak
pembelajaran (learning contract) yang pada hakekatnya adalah sebuah Perencanaan
Kinerja (Renja) diklat. Artinya, peserta
harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum masuk kedalam program
Diklat, misalnya:
mengapa saya (harus) ikut diklat?; pada level mana kompetensi saya saat ini?; apa yang akan
atau harus saya pelajari / kuasai dari diklat tersebut?; manfaat apa yang harus
saya peroleh dari diklat tersebut?; kompetensi baru apa yang harus saya raih, dan pada level
mana seharusnya kompetensi diri saya meningkat?;
bagaimana
menerapkan manfaat yang diperoleh dari diklat tersebut, dan
bagaimana bentuk penerapannya?, dan sebagainya. Dengan demikian, peserta tidak hanya sekedar “faktor produksi” yang
akan diproses atau diolah dalam rangkaian diklat,
namun mereka juga sebagai designer atau programmer
yang harus menjadikan diklat sebagai sarana (tools)
untuk mencapai tujuannya (tujuan Individu – Kelompok – Organisasi).
Selain
itu, sekuensi diklat
sebaiknya tidak seperti sekarang, dengan komposisi pokok berupa proses
pembelajaran – orientasi /studi lapangan – seminar, namun diubah menjadi learning (concept) – modeling (construct)
– uji coba (piloting).
Sekuensi baru tersebut mensyaratkan sebuah Diklat tidak dilaksanakan secara “sekali dan selesai”, namun dibagi
menjadi tiga kategori strategi / kompetensi, kemudian disebar
penyelenggaraannya dalam kurun waktu tertentu. Tiga tahap ini sifatnya siklis
menjadi tiga tahap, sehingga semuanya terdiri dari sembilan tahap. Sebagai contoh, jika sebuah Diklat durasinya 3 bulan, maka 1 bulan
pertama harus selesai dengan 3 putaran tersebut. Break 2 bulan untuk evaluasi dan penyempurnaan hasil piloting, dirumuskan menjadi learning contract untuk 1 bulan ke-2.
Setelah selesai, break lagi 2 bulan,
susun lagi learning contract, terus
masuk masa 1 bulan ke-3. Dengan demikian, dari konsep 1, konstruk 1, piloting
1, dilanjut hingga konsep 3, konstruk 3, piloting 3, akan menjadi hasil yang
benar-benar matang dan siap diimplementasikan di tempat kerja.
Jika gagasan ini dapat diterima dan dikembangkan,
maka diharapkan akan terjadi transformasi diklat dari peran tradisionalnya sebagai
pengungkit (leverage) perubahan, kepada
peran baru sebagai faktor utama (condition
sine qua non) perubahan organisasi.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
23 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar