Satu
sisi dalam Diklatpim II yang sayang untuk dilewatkan adalah kewajiban senam
pagi setiap Selasa, Rabu dan Kamis. Ternyata, banyak juga hal yang dapat
dipelajari dari sessi yang berlangsung dari jam 05.30 s/d 07.00 ini, termasuk
soal kepemimpinan. Siapa pemimpin lapangannya? Dia adalah Diana. Ya … Diana
adalah nama instruktur senam pagi selama program diklat berlangsung. Meski
tugasnya terkesan sepele dan hanya menjadi bagian kecil dari sistem diklat
aparatur, namun sesungguhnya ia juga mencerminkan sosok pemimpin. Harold Koontz
(1989) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, seni, atau proses
mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok
dengan kemauan dan antusiasme. Definisi dari George R. Terry, FA. Nigro,
Tannenbaum, dan lain-lain juga menegaskan inti kepemimpinan sebagai kemampuan
seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain atau menuntut ketaatan dari
orang lain.
Faktanya,
Diana memiliki kedua kemampuan tersebut. Perilaku peserta senam terbentuk
secara seragam mengikuti irama yang dimainkan Diana. Orang yang sama sekali
tidak pernah senam pun berusaha sekuat tenaga untuk meniru semirip mungkin
gerakan Diana. Peserta senam memberi perhatian penuh terhadap Diana, terlihat
dari arah pandangan yang fokus kepada dirinya. Boro-boro komplain, tidak seorang peserta pun yang mencoba memberi
alternatif gerakan senam yang lebih baik. Singkatnya, Diana adalah pemimpin
tunggal di lapangan yang setiap instruksinya diikuti dengan koor yang kompak.
Bahkan ketika Diana bertanya: Mana
suaranyaaa?”, seketika riuh rendah beragam suara memberi sambutan secara
meriah.
Uniknya,
Diana tidak pernah menegur peserta yang tidak mengikuti gerakannya. Dia juga
tidak pernah mengancam akan memberi sanksi bagi siapa saja, termasuk yang tidak
datang ke lapangan. Dia tetap saja happy dengan
situasi disekelilingnya meski dia sadar bahwa karakter orang-orang disekitarnya
sangat beragam. Nampaknya Diana tahu betul bahwa orang-orang yang datang
kepadanya adalah orang dewasa yang telah menyadari hak dan kewajiban
masing-masing, sehingga model pembelajaran yang diberikan Diana juga model pembelajaran
orang dewasa (andragogi). Nampaknya,
Diana memahami betul metode ini sehingga yang dia lakukan lebih banyak bersifat
motivasi, persuasi, serta pemberian contoh (suri tauladan) yang konkrit.
Adalah
hal yang ironis ketika sosok Diana begitu ditaati oleh peserta, sedangkan
penyelenggara diklat yang jelas-jelas memiliki otoritas formal harus berusaha
sekuat tenaga untuk menjaga peserta agar berperilaku sesuai tata tertib dan
seperangkat aturan yang telah disiapkan lembaga. Ada saja peserta yang merasa
sangat merdeka ketika sessi senam pagi, namun tiba-tiba merasa terkekang dalam
formalitas diklat di sessi-sessi berikutnya. Apa yang salah dengan situasi
seperti ini? Bukankah penyelenggara adalah pemimpin yang sebenarnya untuk
peserta diklat? Namun faktanya, mengapa sosok Diana lebih menonjol dan lebih
disukai?
Tentu
saja, teori yang berbeda akan memberikan penjelasan yang berbeda pula. Salah
satunya adalah kepemimpinan situasional yang diajarkan Paul Hersey dan Ken Blanchard.
Dari empat gaya kepemimpinan directing
(telling), coaching, supporting (participating) dan delegating, kepemimpinan hanya akan efektif jika diterapkan dalam
situasi yang tepat – meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang
disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu. Dalam
prinsip pembelajaran untuk orang dewasa (andragogi), pada diri peserta diasumsikan
sudah terdapat dua macam kompetensi, yakni kompetensi
kognitif berupa seperangkat pengetahuan dan pengalaman, serta kompetensi afektif berupa sikap
kedewasaan dan kesadaran tentang eksistensi dirinya.
Dengan
dua jenis kompetensi tersebut, maka gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk
mendampingi mereka dalam proses diklat adalah gaya supporting participating, disusul dengan gaya delegating dan coaching
secara seimbang, serta menghindari sebanyak mungkin gaya directing. Gaya directing dicirikan
oleh tingginya tingkat penugasan dan rendahnya hubungan interpersonal (high
tasks and low relationship), sedangkan gaya supporting dicirikan oleh tingginya hubungan interpersonal dan
rendahnya penugasan (high relationship and low tasks). Kalau
mau jujur, gaya yang lebih dikembangkan saat ini di Diklatpim II adalah gaya
pelatihan (coaching) – meski keberadaan
pelatih telah diposisikan sebagai mitra – dan sedikit directing. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya target jumlah produk
pembelajaran yang harus dihasilkan baik secara individual maupun kelompok,
bahkan pada tingkatan kelas atau angkatan. Pada saat yang sama, interaksi
interpersonal antara peserta dengan penyelenggara sangat sedikit sekali
terjalin. Paling banyak hubungan terjadi antara peserta dengan widyaiswara,
petugas absen, petugas laundry, dan
satpam, sementara dengan manajemen diklat seperti Deputi V, Kapusdiklat Spimnas
Bidang Kepemimpinan, para pejabat Eselon III dan IV, serta staf penyelenggara
lainnya, bisa dikatakan nihil. Hingga minggu kedua, hanya sekali ada pertemuan
dengan penyelenggara, itupun cuma dalam sessi penjelasan program. Demikian
pula, pertemuan dengan Kepala LAN hanya terjadi dalam konteks ceramah, bukan
dalam fungsi pembinaan diklat atau dialog antara service provider dengan user-nya.
Nah,
disinilah kepemimpinan model Diana menunjukkan keunggulannya. Dalam setiap
pelaksanaan tugasnya, dia selalu menjalin kontak langsung dengan peserta, bukan
hanya dengan suaranya atau gerakannya, namun juga dengan bahasa tubuhnya,
semangatnya, totalitasnya, kedisiplinannya, dan senyumnya. Tidak heran, sosok
Diana menjadi lebih populer dibanding sosok lain yang mestinya lebih berwibawa.
Teori
X dan teori
Y dari Mc. Gregor sebagai hasil klasifikasi dua jenis tipe manusia yaitu tipe X
dan tipe Y, mungkin juga dapat sedikit memberi penjelasan. Menurut teori X,
pada dasarnya manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (a) tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha
mengelakkannya; (b) karenanya manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam
dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai; (c) para
pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila
menerima perintah untuk melakukan sesuatu; dan (d) kebanyakan pekerja akan
menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor
lain yang berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi
untuk maju. Sementara itu teori Y menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya
cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) para
pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya
beristirahat dan bermain; (b) para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa
terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri; (c) pada
umumnya para pekerja akan menerima tanggungjawab yang lebih besar; dan (d)
mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, dan oleh karenanya akan
berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan
bukan semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber,
1960, dalam Siagian, 1989).
Manajemen diklat aparatur pada
umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, juga tidak lepas dari kecenderungan
mempersepsikan peserta selayaknya manusia tipe X. Pada sesi pengarahan program,
misalnya, peserta dicekoki dengan berbagai macam kewajiban, larangan, dan etika
berperilaku lengkap dengan sanksi yang mungkin diterima. Saat acara tanya jawab,
seorang peserta sampai bertanya: ”Dari
tadi kami hanya dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang harus kami penuhi.
Lantas apa hak-hak kami selaku peserta?”. Pada poin inilah, kapasitas
penyelenggara masih perlu banyak pembenahan. Akan jauh lebih elegan jika
peserta disambut dengan sikap dan pernyataan yang encouraging, diposisikan sebagai sub-sistem penting bagi institusi,
dihormati sebagai sumber pengetahuan dan kearifan, dilayani dengan segenap
sumber daya dan sarana yang ada untuk menumbuhkan rasa betah laksana di rumah
sendiri, serta diperlakukan layaknya perusahaan memperlakukan pelanggan
setianya.
Peserta memang harus siap lahir
batin dengan berbagai konsekuensi atas keikutsertaannya dalam diklat (baca
Jurnal #2: Ketika Perubahan Menghampiri
Kita ...). Namun tidak ada salahnya pula bagi penyelenggara untuk terus
meningkatkan kapasitas leadership-nya
guna menghasilkan proses diklat yang sinergis serta output diklat yang
benar-benar sesuai harapan semua pihak. Sebab, kepemimpinan bukan hanya sebuah
ilmu, namun lebih merupakan seni. Bisa jadi, orang yang tidak pernah belajar
ilmu kepemimpinan, lebih berhasil menjadi pemimpin dibanding orang yang kenyang
teori-teori kepemimpinan, sepeti Diana, atau Walikota Solo, Joko Widodo.
Akhirnya, penguatan kapasitas leadership penyelenggara yang makin
menguat diharapkan akan menjadi trade-off
bagi Diana Leadership. Semoga!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa,
21 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar