Entah
bagaimana mulanya, tiba-tiba materi Systems
Thinking yang dibawakan Dr. Sudarsono Hardjosukarto berkembang menjadi
diskusi tentang otonomi daerah. Banyak yang menginginkan agar urusan pertanian
ditarik lagi menjadi urusan pusat mengingat kegagalan negara untuk memperkuat
ketahanan pangan dan kembali ber-swasembada beras. Ada juga yang mengemukakan
bahwa sejak big bang desentralisasi
1999, kasus deforestrasi menjadi tidak terkendali. Dalam bidang pendidikan-pun,
muncul kritik bahwa desentralisasi gagal membangun sumber daya manusia yang
unggul. Singkatnya, forum pembelajaran tadi berubah menjadi ajang pengadilan
terhadap desentralisasi. Desentralisasi menjadi tersangka utama atas berbagai
masalah yang muncul sejak tumbangnya rezim Orde Baru.
Diskusi
menjadi semakin menarik karena baru saja peserta diberikan materi tentang learning dan Learning Organization (LO). Ada tiga bentuk pembelajaran dalam
organisasi, yakni learning how to learn,
learning how to unlearn, dan learning how to relearn. Bentuk pertama
adalah pembelajaran terhadap hal-hal baru yang diyakini mampu memberi leverage effect terhadap peningkatan
kinerja organisasi. Bentuk kedua merupakan kemauan dan kesadaran untuk
menanggalkan atau meninggalkan hal-hal dimasa silam yang sudah jelas tidak
membawa manfaat. Adapun bentuk ketiga adalah kemampuan untuk mengambil nilai
atau hikmah dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, untuk kemudian
dijadikan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Pada saat yang sama, peserta
juga diasumsikan sudah memiliki pemahaman tentang teori Seven Learning Dissabilities dari Peter Senge, yakni: I am my position, The enemy is out there,
The illusion of taking charge, The fixation on events, The parable of the
boiled frog, The delusion of learning from experience, dan The myth of the management team.
Dengan
bekal teori LO dan tujuh ketidakmampuan belajar tadi, maka agak janggal rasanya
ketika kelas menjadi ajang “pembantaian” terhadap desentralisasi. Aneh rasanya
ketika cara berpikir tidak diarahkan pada mencari solusi terhadap akar masalah
yang dihadapi, namun lebih mencari “kambing hitam” terhadap masalah tersebut. Tanpa
disadari, kita justru terjerumus dalam sindrom ketidakmampuan belajar no. 2, the enemy is out there. Bahwa kebijakan
dan proses desentralisasi saat ini masih menyisakan persoalan besar, adalah
fakta yang sulit dibantah. Namun, terhadap fakta negatif desentralisasi tadi,
ada dua opsi cara berpikir yang dapat dipilih: menyalahkan desentralisasi
sebagai biang persoalan, atau mencari solusi kreatif atas masalah yang ada.
Pilihan pertama jelas bukan pilihan bijak, terutama bagi setiap orang yang
telah menguasai lima disiplin dalam LO. Pilihan pertama juga tidak akan pernah
mampu menghasilkan pemikiran inovatif dalam bentuk tawaran solusi. Hasil yang
muncul dari pilihan seperti ini hanya saling menunjuk hidung orang lain, saling
mengelak, saling merasa benar, saling menuduh, dan saling memojokkan.
Ironisnya, cara berpikir “mencari kambing hitam” adalah cara berpikir termudah
dan oleh karenanya, paling banyak diterapkan oleh para pejabat publik,
politisi, hingga akademisi dan pengamat sekalipun.
Padahal,
kalau mau dirujuk ke belakang, desentralisasi adalah pilihan dan keputusan kolektif
bangsa Indonesia untuk mengkoreksi berbagai penyimpangan dalam praktek
pemerintahan pada masa sebelumnya. Artinya, pada tahun 1999 lalu, bangsa
Indonesia sudah melakukan proses learning
how to unlearn, yaitu meninggalkan dan menanggalkan jauh-jauh praktek
pemerintahan yang sentralistis dan menghambat tumbuhnya kemandirian daerah.
Kekayaan ragam budaya nusantara, tidak mungkin dikemas dalam sistem manajemen
yang seragam, karena hal itu bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan
menanggalkan sistem yang jelas-jelas tidak membawa perbaikan, maka pada saat
itu pula bangsa Indonesia telah berhasil menjalani proses learning how to learn, yaitu menciptakan sistem baru yang belum
pernah terjadi di masa sebelumnya dan diyakini akan membawa perbaikan di
berbagai sektor pemerintahan. Keberadaan Kantor Wilayah yang overlap dengan urusan rumah tangga
daerah, dihapuskan. Wewenang pemerintahan yang sangat luas diberikan kepada
daerah lengkap dengan instrumen fiskal dan SDM-nya.
Setelah
desentralisasi berjalan 10 tahun, sebuah evaluasi yang komprehensif adalah hal
yang wajar, bahkan sangat diperlukan. Kalaupun ternyata ada wisdom dan best practices masa lalu yang patut dikembangkan lagi, juga bukan
suatu kemustahilan atau harus dipandang sebagai hal yang tabu. Sebagai contoh,
peran pemerintah pusat dan provinsi yang melemah akibat desentralisasi luas,
ternyata menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Maka, peran pemerintah pusat
dan provinsi perlu diperkuat tanpa harus melakukan upaya resentralisasi ataupun
mengurangi wewenang kabupaten/kota. Ini berarti, proses learning how to relearn sesungguhnya telah terjadi tanpa harus menuding
desentralisasi sebagai akar masalah bangsa. Desentralisasi sudah terlanjur
menghantarkan bangsa Indonesia pada posisi seperti saat ini dan berada pada point of no return, sehingga
problematika yang ada bukanlah pembenar untuk berbalik arah ke masa silam.
Dari
kasus desentralisasi tersebut, saya pribadi menangkap sebuah kesan dan
keyakinan bahwa mempelajari dan menguasai teori maupun disiplin-disiplin LO
akan membawa sangat banyak manfaat untuk menelaah kompleksitas kebijakan di
sekitar kita. Dengan LO ini kemungkinan keliru dalam pengambilan keputusan dapat
diminimalisir, sehingga secara tidak langsung turut meningkatkan kualitas
kebijakan itu sendiri.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
17 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar