Mengikuti
diklat – sebagaimana layaknya belajar dalam konteks apapun – memiliki satu
prakondisi yang sangat penting untuk dapat berhasil, yakni bahwa proses diklat
tersebut haruslah menyenangkan, menggembirakan, juga tanpa ada rasa cemas atau
tertekan, baik oleh ancaman pengurangan nilai, ancaman tidak lulus, ancaman
teguran dari penyelenggara, atau mungkin juga pressure dari pimpinan instansi
agar kita tetap perform terhadap tugas-tugas pokok di instansi yang sedang
ditinggalkan. Jika seorang peserta mengalami perasaan tidak nyaman, kurang
bahagia, resah atau gelisah selama mengikuti diklat, boro-boro mampu mencapai
tujuan diklat … yang lebih mungkin terjadi adalah naiknya tekanan darah dan
gula darah, melonjaknya kolesterol dan asam urat, merebaknya gejala stress dan
depresi, hingga melayangnya nyawa.
Maka,
sangat dianjurkan untuk tidak menolak perubahan yang dibawa oleh diklat. Dari
pada repot-repot mencari sejuta alasan tentang tidak efektifnya perubahan yang
melanda, lebih baik berpikir positif tentangnya. Dan jika didalami lebih
seksama, proses perubahan selalu merupakan proses yang menyakitkan (a painful process). Namun perlu dicatat
bahwa rasa sakit tadi hanya terjadi pada level proses yang akan mengantarkan
kita (peserta diklat) pada hasil yang lebih indah dan manis dibanding kondisi
sebelum mengikuti diklat. Seekor kerang-pun, untuk dapat menghasilkan mutiara
yang bernilai tinggi, harus melewati sebuah proses yang teramat menyakitkan.
Dalam ajaran Islam secara tegas dinyatakan bahwa dibalik setiap kesulitan akan
selalu ada kemudahan (innama ‘al ‘usri
yusra). Maknanya, jika kita ingin lebih berhasil, lebih pintar, lebih
bijak, lebih enak dan lebih baik dalam segala hal dimasa depan, maka harus
melewati terlebih dahulu berbagai perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan.
Bahkan, musim semi yang begitu menawan, tidak pernah muncul tanpa didahului
oleh musim dingin yang begitu berat hingga menggemeretakkan tulang belulang
manusia.
Jika
kita sudah memiliki model mental yang kondusif untuk menerima perubahan, maka
apapun situasi dan tantangan yang ditawarkan oleh penyelenggara diklat, akan
dapat dikelola secara produktif. Ibaratnya, ketika angin bertiup kencang
(simbolisasi perubahan), hasilnya bukan robohnya bangunan beton yang kokoh
(simbolisasi orang yang menolak perubahan), namun justru dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan energi alternatif (simbolisasi yang siap menerima
perubahan).
Kembali
ke perubahan yang meluluhlantakkan wilayah kenyamanan seseorang. Ketika
lingkungan fisik dan sosial sekitar kita berubah mendadak, pandanglah itu
sebagai penyegaran terhadap kondisi sebelumnya yang begitu-begitu saja dan
cenderung membosankan. Milieu baru
secara psikologis mampu mengkonfigurasi ulang simpul-simpul kejiwaan dan sistem
syaraf motorik untuk menumbuhkan kesan lebih rileks dan menyegarkan. Itulah
mengapa banyak orang melancong ke tempat-tempat baru. Bahkan banyak para
petualang yang mengejar daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau hanya untuk
mengembalikan kesegaran dan kekuatan jiwanya.
Demikian
pula ketika pola makan kita berubah menjadi sangat terstruktur, syukurilah
selayaknya seorang atlit yang dijaga ketat pola makannya oleh sang manajer.
Maksudnya jelas bukan untuk mengurangi hak sang atlit, namun justru untuk
menjamin kebugaran dan kesehatannya agar siap bertanding sewaktu-waktu dengan
prestasi optimal. Jika tidak selama diklat, kapan lagi kita akan makan secara
teratur dengan menu yang telah dipertimbangkan secara professional?
Kalaupun
ritme hidup kita berubah secara drastis, itupun harus disikapi secara positif.
Kewajiban mengisi daftar hadir 5 hari sekali sesungguhnya adalah sebuah test-case tentang sejauhmana tingkat
ketaatan (obedience) kita terhadap
aturan dan pimpinan. Seseorang yang berpandangan bahwa pejabat Eselon II tidak
lagi layak diperlakukan seperti anak kecil dengan kewajiban berbasis
ketidakpercayaan (distrust),
mencerminkan bahwa seseorang tadi hanya mementingkan aspek kepemimpinan (leadership) namun cenderung mengabaikan
sisi kepengikutan (followership).
Padahal, keberhasilan suatu organisasi tidak hanya ditentukan oleh kepemimpinan
yang bermutu, namun lebih banyak dikontribusikan oleh para pengikutnya yang
loyal, kompeten, dan kredibel. Satu hal lagi mohon diingat bahwa pejabat Eselon
II – atau Eselon I sekalipun – selain sebagai pemimpin, mereka adalah juga
pengikut bagi atasannya. Untuk itu, hilangkan ego selaku pimpinan dan tumbuhkan
ego selaku pelayan (steward) saat
kita mengikuti program diklat. Peran seorang pemimpin sebagai pelayan (steward) inilah yang paling lemah dalam
sistem birokrasi kita, dan akan dibangun kembali melalui proses perubahan
selama diklat.
Kunci
sukses mengelola gelombang perubahan tadi adalah ikhlas. Janganlah resistant dan jangan keraskan hati
terhadap perubahan. Sebaliknya, siapkan mental, pikiran, dan fisik untuk
belajar dan menyerap kebaikan sebesar mungkin dari rangkaian program diklat.
Yakini juga bahwa pembelajaran yang dilakukan akan merupakan satu-satunya yang
dapat mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi dimasa depan, seperti
diungkapkan oleh de Geuss: learning might
prove to be the only sustainable competitive advantage for organization in the
future. Kunci keberhasilan lainnya adalah disiplin, tekun dan
sungguh-sungguh dalam menjalani keseluruhan proses pembelajaran.
Anda
boleh saja berharap memperoleh kenikmatan dan pelayanan yang menyenangkan
selama diklat, namun akan lebih tepat jika anda berharap untuk memperoleh wisdom yang akan memperbaiki kualitas
anda selaku pemimpin sekaligus selaku pelayan organisasi. Diklat adalah kawah
candradimuka, bukan kawah Tangkuban Perahu. Maka … selamat, anda telah terpilih
untuk memasuki kawah candradimuka!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
16 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar