Adalah
hal yang lumrah dan sudah berlangsung puluhan tahun bahwa peserta Diklatpim II
selalu dikelompokkan dalam kelas-kelas, ada kelas A dan ada kelas B. Sekilas
tidak ada yang aneh atau patut dipertanyakan dengan pembagian seperti itu, hingga
munculnya selentingan-selentingan bawah sadar yang membutuhkan penelusuran
lebih seksama. Pagi hari tadi, misalnya, seorang teman menanyakan kapan tanda
pengenal peserta untuk kelas B dibagikan, mengingat kelas A sudah memperoleh
hari Jum’at yang lalu. Alhamdulillah, pada sessi kedua (jam 10.45) kami semua
sudah mendapatkannya. Selentingan teman tadi seketika mengingatkan saya pada
selentingan salah seorang pengajar diklat ketika kami bertemu hari Kamis, atau
pada hari ketiga Diklatpim II berlangsung. Dia bertanya: “Kenapa ya kelas B terlihat lebih santai dan cair dari pada kelas A?”
Dia menambahkan bahwa pengalaman penyelenggaraan Diklatpim angkatan-angkatan
sebelumnya juga relatif sama. Terus terang, saya tidak dapat menjawab
pertanyaan retoris tadi karena saya sendiri belum mampu membandingkan situasi
dan kinerja antara kelas A dan B. Namun beberapa selentingan seolah memberi pembenaran
bahwa antara kelas A dan B memang selalu memiliki karakter yang berbeda.
Saya
jadi teringat ketika anak saya pindah sekolah dari Samarinda ke Tangerang
Selatan mengikuti ayahnya yang dimutasi ke kantor Pusat di Ibukota. Pada saat
saya dan istri mendaftarkan ke SD Negeri di wilayah Serpong Utara, Kepala
Sekolah SD tersebut menanyakan ranking anak-anak saya sewaktu di Samarinda. Dia
menjelaskan bahwa jika ranking-nya 1 s.d. 5, maka akan dimasukkan ke kelas A,
sedangkan jika menempati ranking 6 keatas akan ditempatkan di kelas B.
Singkatnya, kelas A memang didesain sebagai kelompok orang-orang yang memiliki
kelebihan dibanding kelas lainnya.
Namun
dalam konteks Diklatpim II, saya tahu bahwa tidak ada pertimbangan kepandaian,
kepangkatan, track record kinerja,
atau prestasi lainnya dalam penempatan seseorang ke kelas tertentu. Tapi apa
boleh buat, karena A dan B menunjukkan jenjang atau leveling sebagaimana 1 dan
2, maka kesan bahwa kelas A adalah kelas 1 dan kelas B adalah kelas dibawahnya,
tidak bisa terelakkan. Dalam alam bawah sadarnya, mereka yang masuk kelas A mengidentifikasikan
dirinya sebagai kelompok dengan kecakapan diatas rata-rata, sementara mereka
yang “terpaksa” masuk kelas B harus siap untuk belajar lebih gigih jika ingin
menyamai rekannya di kelas A. Bisa jadi, subconscious
mind seperti itulah yang membuat peserta di kelas B merasa tidak perlu
repot-repot belajar atau mengejar prestasi, karena urusan prestasi adalah domain kelas A. Sebagai gantinya, kelas
B lebih memilih untuk menikmati program diklatnya dengan kelakar, senda gurau
dan aktivitas apapun yang mendatangkan rasa rileks dan santai.
Maka,
terbentuklah takhayul bahwa kelas A selalu lebih baik dan lebih hebat dari pada
kelas B. Dikatakan takhayul karena hal tersebut telah menjelma menjadi
keyakinan yang diperkuat dengan fakta-fakta empirik bahwa sang juara lebih
sering lahir dari kelas A dibanding kelas yang lain. Padahal, prestasi itu sama
sekali tidak terbentuk oleh kebijakan penempatan kelas, melainkan oleh
keyakinan seseorang dialam bawah sadarnya bahwa dia cerdas/unggul/hebat, atau
sebaliknya. Keyakinan yang teguh terhadap sesuatu akan menjadikan sesuatu tadi
sebuah kenyataan, sebagaimana bunyi sebuah adagium: what you get is what you believe. Ini adalah ajaran tentang
kekuatan sebuah keyakinan (the power of
believe). Dalam ajaran agama Islam-pun dinyatakan bahwa Allah adalah sesuai persangkaan hambanya.
Saat seorang hamba meyakini secara penuh bahwa Allah akan memberikan kepadanya
rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka, maka hal tersebut benar-benar akan
menjadi kenyataan. Subhanallah …
Sebuah
eksperimen pernah dilakukan di AS dengan memasukkan anak-anak cerdas dan
potensial ke kelas B dan anak-anak dengan intelijensi sedang ke kelas A.
Setelah di-treatment dengan
pembelajaran yang sama untuk periode tertentu, ternyata hasilnya sangat
mencengangkan. Anak-anak di kelas A yang notabene kecerdasannya hanya
rata-rata, berhasil menunjukkan prestasi yang lebih baik dari pada kelas B yang
berisi anak-anak jenius.
Oleh
karena itu, untuk siapa saja yang telah terlanjur masuk kelas B, C, atau D,
keyakinan bahwa mereka adalah kelas 2, 3, atau 4 harus dihancurleburkan agar
tidak membawa efek psikologis yang negatif. Sedangkan untuk penyelenggara
pendidikan, penamaan kelas hendaknya lebih bersifat netral namun justru mampu
merangsang hasrat eksplorasi terhadap nama kelas. Sebagai contoh, kelas A dan B
masing-masing diganti menjadi kelas Kelembagaan dan Ketatalaksanaan. Nama
kelembagaan dan ketatalaksanaan ini bukan sekedar pengganti A dan B, namun
secara tersirat menuntut peserta untuk mendalami konsep kelembagaan dan
ketatalaksanaan tersebut. Dengan pemberian nama kelas yang netral ini, maka
setiap peserta akan memiliki posisi start
yang sama dan kondisi mental yang sama, sehingga siap berkompetisi secara
sehat dan fair.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
20 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar