Meski
baru memasuki minggu ketiga Diklatpim II, saya berani merekomendasikan agar
semua policy makers di Indonesia
belajar systems thinking. Dengan
memahami piranti-piranti yang ada pada systems
thinking, akan dapat dihindari kesalahan sedini mungkin. Salah satu piranti
yang sangat mujarab untuk membuat pemodelan tentang efektivitas kebijakan
adalah archetype batas-batas
pertumbuhan (limits to growth). Archetype ini menyediakan suatu gambaran
bahwa pada mulanya sebuah usaha yang dilakukan menghasilkan suatu pertumbuhan.
Upaya selanjutnya mendorong pertumbuhan itu lebih baik. Beberapa waktu
kemudian, keberhasilan usaha itu mencapai batas maksimal, dan setelah beberapa
lama akhirnya membawa usaha tersebut pada proses penurunan (Modul 1.A-2 hal.
131).
Contoh
konkrit adalah usaha pengelolaan kayu (baca: penebangan hutan),penambangan batu
bara, atau eksplorasi minyak bumi. Pada masa-masa awal operasi, usaha tersebut
memberikan keuntungan yang berlimpah karena memang kapasitas daya dukung (carrying capacity) alam yang masih
tinggi. Namun, satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa
alam dan seisinya semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga
eksploitasi lingkungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada
suatu ketika akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Dan apabila
kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai
manusia menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan
menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social
cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya.
Dalam
hal ini terjadi hubungan terbalik
antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya,
semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk
menyediakannya semakin terbatas. Pada saat bersamaan, terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan
manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan
manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan
dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend tersebut berlangsung
terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan
ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas
lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan
oleh Meadows (dalam Berry, et.al., 1993).
Meadows
membuat sebuah prediksi untuk kurun waktu 200 tahun (1900-2100) yang
menggambarkan bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan
manusia serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara
kondisi lingkungan berada dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan
penambahan jumlah penduduk, dan tingkat polusi yang melekat pada ekspansi
kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga
pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumber daya alam menjadi
sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu lagi mendukung aktivitas
kemanusiaan.
Jika penurunan daya dukung
lingkungan sudah dapat diproyeksi, maka kebijakan publik yang akan dirumuskan
dapat diarahkan untuk mencapai dua kondisi, apakah untuk menghentikan kebijakan
sebelumnya yang telah mengakibatkan penurunan daya saing lingkungan, ataukan
untuk pemulihan dan reklamasi lingkungan. Jika ternyata kebijakan masih saja
memberikan perijinan usaha untuk mengkeksploitasi sumber daya alam, hal itu
menandakan bahwa policy makers telah
gagal total dalam berpikir serba sistem (systems
thinking). Pada tahap berikutnya, kegagalan berpikir serba sistem akan
mengantarkan pada kegagalan kebijakan publik (policy failures) yang berdampak negatif terhadap masyarakat.
Sekali lagi, penguasaan policy makers terhadap disiplin learning organization khususnya disiplin
kelimanya yakni systems thinking, dan
lebih spesifik lagi pola-pola dasar sistem (archetype),
akan sangat bermanfaat dalam memperkokoh kualitas kebijakan publik. Untuk itu,
akan sangat ideal jika seorang policy
makers adalah juga systems thinkers.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
27 Juni 2011
2 komentar:
Kami di Papua sdh belajar limit to grow dan sdh punya visi misi sendiri , yg km mau masy.eko. skala industri rumah tangga bukan industri skala besar yg hanya menguntungkan segelintir manusia thanks
Nice, sangat bermanfaat
Posting Komentar