Mengikuti
Diklat selalu berarti menghadapi perubahan. Dari lingkungan fisik maupun
sosial, pola makan, ritme hidup, hingga perilaku keseharian kita, semuanya
berubah dengan tiba-tiba. Kantor dan rumah yang menjadi persinggahan sehari-hari,
dengan “terpaksa” harus kita tinggalkan untuk memasuki lingkungan baru berupa
asrama, kelas, auditorium, kantin, foto copy atau koperasi tempat berjualan
pernak-pernik diklat. Interaksi sosial yang biasanya lebih banyak terbangun
dengan rekan kerja dan anak istri, sekoyong-koyong juga berubah menjadi
hubungan dengan sesama peserta yang belum saling mengenal, widyaiswara, penjaga
asrama, petugas foto copy atau fax, hingga satpam dan penjaja koran atau
makanan, bahkan juga dengan instruktur senam, mbak Diana dan mas Yanto.
Kebiasaan
makan pun berubah drastis, baik menunya, jadual makannya, juga penyajiannya.
Urusan makan di program diklat seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah cabang
ilmu baru dari disiplin manajemen, yakni “Manajemen Konsumsi”. Bagaimana tidak?
Jika kita telat sedikit saja, maka kita harus siap-siap kelaparan karena makan
telah dibereskan. Sebaliknya, ketika kita lapar sebelum waktunya, maka dengan
1000 alasan-pun tetap saja mustahil untuk memperolehnya. Menu benar-benar telah
direncanakan dengan sangat detil baik mengenai volumenya, jenis dan pilihannya,
saat penghidangannya, waktu menikmatinya, lengkap dengan etikanya. Jangan harap
kita dapat menikmati makanan sambil bercelana pendek, mengangkat kaki ke kursi,
bahkan kadang untuk nambah-pun terasa sangat berat karena seolah kita serakah
dan menyerobot jatah peserta lain. Maklum, jumlah makanan benar-benar sudah
disesuaikan dengan jumlah peserta. Jika mau nambah, yakinkan terlebih dahulu
bahwa ada teman ada yang puasa, atau yang memilih makan diluar, atau sengaja
menghindar makanan yang ada karena alasan selera …
Diklat
juga merubah ritme dan irama hidup kita secara signifikan. Jika biasanya kita
bangun subuh dilanjutkan dengan shalat subuh, kemudian berkemas-kemas untuk
segera ke kantor karena mengejar waktu agar tidak terkena kemacetan, sekarang
tidak usah lagi khawatir dengan deretan ratusan ribu kendaraan yang mengular
puluhan kilo meter. Sebagai gantinya, setelah shalat subuh kita harus melakukan
olah raga senam pagi. Ternyata, senam saja tidak cukup. Kita juga wajib mengisi
daftar hadir! Ini dia instrument baru yang sekonyong-konyong mengendalikan
ritme hidup kita. Dari subuh hingga malam menjelang tidur, kita diikat
erat-erat oleh Sang Daftar Hadir. Paling sedikit, kita harus membubuhkan tanda
tangan – bukan paraf – sebanyak LIMA kali dalam sehari, sebuah angka yang
menyamai jumlah shalat wajib bagi umat Islam. Maka, tidak mengherankan jika
kehidupan di asrama sesungguhnya adalah momentum menghitung hari yang berisi
fase kehidupan yang dibatasi oleh Daftar-daftar Hadir!
Tidak
cukup sampai disana … ternyata daftar hadir juga mencengkeram naluri kita. Jika
terlambat 5 menit saja, maka daftar hadir yang semula warna putih, mendadak
berubah menjadi kuning. Dan jika kita terlambat 5 menit lebih lama lagi, maka ia
akan berubah menjadi MERAH! Itu artinya, kita harus mempersiapkan mental untuk
menerima teguran lisan atau tulisan.
Yang
lebih “heboh” lagi, perilaku keseharian kita juga turut berganti warna.
Kebiasaan kita untuk berpikir secara komprehensif digiring kearah berpikir
secara sekuensial. Hasrat berpikir “liar” untuk mencari alternatif terbaik
untuk membenahi carut-marut negeri, terhalang oleh tata krama untuk tidak
mengkritik simbol-simbol negara. Kebiasaan bekerja dengan perangkat komputer,
seketika harus putar balik ke zaman kejayaan Koes Plus ketika tulisan tangan
menjadi media dominan dalam dunia akademik. Tradisi baru yang memberi kebebasan
bagi seseorang untuk berekspresi secara lisan, tulisan, atau gerak kinestetik,
dalam batas-batas kedewasaan, kesadaran, dan tanggungjawab penuh, tiba-tiba
ditempatkan dalam kerangka “aturan dan ragam sanksinya bagi pelanggarnya”.
Maka,
terlambat absen akan mengurangi nilai, tidak ikut senam akan mengurangi nilai,
tidak aktif dikelas akan mengurangi nilai, menerima tamu di kamar akan
mengurangi nilai, memakai sandal pada saat makan siang akan mengurangi nilai …
Singkatnya, “nilai” menjadi momok yang ampuh untuk membentuk dan/atau
mengarahkan perilaku seseorang. Seolah, “nilai” menjadi satu-satunya tujuan
dari berduyun-duyunnya para pejabat Eselon II dari seluruh Indonesia ke Kampus
Pejompongan. Bukankah ini unik dan menarik menyimak fenomena pejabat yang ketakutan
dikurangi nilainya, sama seperti takutnya anak-anak para pejabat tersebut terhadap
ancaman pengurangan nilai dari guru Matematika di SD tempat mereka menuntut
ilmu? Para pejabat tadi juga takut tidak lulus, sama seperti takutnya anak-anak
SMP dan SMA yang menghadapi Ujian Nasional …
Perubahan-perubahan
seperti itulah yang nampaknya membuat seseorang cenderung menghindarinya. Rasa
nyaman dan mapan yang selama ini sudah terbangun menjadi tak beraturan oleh
gelombang perubahan yang datang seketika. Kecenderungan menghindari perubahan
nampaknya juga bukan sekedar persoalan “tidak mau berubah”, namun seringkali
justru terdorong oleh kebimbangan tentang kemanfaatan perubahan tadi atas
dirinya.
Jika
demikian, lantas apa sesungguhnya esensi mengikuti diklat kalau hanya sekedar
mengejar nilai? Apa urgensi pembelajaran jika hanya menumbuhkan rasa takut? Apa
manfaat dari perubahan yang ditimbulkan oleh diklat?
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
15 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar