Meskipun
telah lebih 17 tahun bekerja di LAN, namun saya belum pernah mendapat
penempatan di bidang diklat, kecuali pada saat orientasi semasa masih berstatus
CPNS. Maka, tidaklah mengherankan jika saya juga tidak terlalu paham bagaimana kebijakan,
proses, dan instrumen yang digunakan untuk menjamin kualitas diklat. Yang
pasti, quality control adalah sesuatu
yang mutlak harus ada dalam program diklat, sebab program diklat yang
berkualitas akan melahirkan institusi penyelenggara yang berwibawa, dan wibawa
organisasi akan membentuk citra positif organisasi (branding) dimata pelanggannya.
Dalam
salah satu episode Golden Ways-nya, Mario
Teguh pernah menyatakan bahwa citra organisasi ditentukan oleh keselarasan visi
misi seluruh anggotanya. Jika ada perilaku anggota organisasi yang bertolak
belakang dengan konsensus yang telah disepakati secara kolektif, maka akan
hancurlah citra organisasi itu, ibarat peribahasa “karena nila setitik rusak susu se belanga”. Sehebat apapun
Kepolisian RI melakukan reformasi internal, akan sia-sia jika di lapangan masih
banyak dijumpai oknum yang melakukan pungli maupun penilangan yang berujung
“perdamaian”. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat, seluruh komponen yang
ada di dalamnya baik jajaran pembina (pejabat struktural), widyaiswara,
pelaksana/panitia diklat, hingga petugas teknis seperti Satpam, haruslah
memahami sepenuhnya dan memegang teguh shared
vision dan values yang ada.
Nah,
kuriositas dalam hati saya adalah, bagaimanakah manajemen diklat melakukan
kendali terhadap seluruh komponen yang ada sekaligus menjamin bahwa mereka
patuh dan tunduh terhadap sistem nilai yang berlaku? Kuriositas saya menjadi
semakin menggumpal karena praktek-praktek yang semestinya tidak terjadi, justru
terjadi di depan mata saya. Maklumlah karena posisi saya sebagai peserta diklat
yang membaur dan hidup di tengah-tengah peserta lainnya, maka peristiwa yang
muncul dan dialami teman-teman peserta tidak luput dari pengamatan saya.
Terjadinya
distorsi antara sistem nilai dengan praktek misalnya terjadi dalam aturan
tentang “jam malam”. Sebagaimana tertuang dalam buku panduan dan penjelasan
program, pada jam 22.00 pintu gerbang sudah tertutup dan tidak diperkenankan
peserta untuk keluar atau masuk kampus. Satpam juga diberi hak untuk menegur
peserta jika melanggar ketentuan ini. Namun kenyataannya, cenderung terjadi opportunistic behavior yang mengorbankan
sistem, dimana Satpam sebagai sub-sistem diklat memberi kelonggaran kepada
peserta untuk menabrak aturan “jam malam” hanya karena mengharap sesuatu dari
peserta.
Penyelenggara
nampaknya juga mengalami keterbatasan kendali terhadap aturan yang berkenaan
dengan kehidupan di asrama. Sebagai contoh, jika ada komplain tentang makanan
yang kurang, protap (prosedur tetap) seperti apa yang ditempuh oleh penyelenggara,
apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran ataukah ada proses check and cross-check untuk mengetahui kondisi riilnya? Demikian pula dalam
hal terjadi pelanggaran disiplin seperti menerima tamu dalam kamar, bagaimana
penyelenggara mendeteksi kasus ini? Kasus “besar” yang nampaknya juga luput dari
perhatian penyelenggara adalah kasus seseorang yang tidak masuk kelas seharian
namun daftar hadir lengkap karena diisi oleh temannya. Satu hal lagi, masalah
klasik yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah fakta adanya fenomena ghost writer yang mengerjakan
tugas-tugas individu peserta. Meskipun tidak nampak, namun keberadaannya sangat
mudah dirasakan. Sayangnya, respon penyelenggara masih kurang proaktif dan
cenderung menggunakan prinsip “tutup mata, tutup telinga”. Artinya,
penyelenggara sangat mengutuk praktek plagiarisme dan pengerjaan tugas oleh
orang lain, akan tetapi tidak berbuat secara konkrit untuk memberantas
“tuyul-tuyul” yang bergentayangan. Padahal, sebuah institusi akan berwibawa
jika aturan yang dibuat dan disepakati dapat ditaati, dihormati, dan ditegakkan
manakala terjadi pelanggaran. Jika tidak ada keberanian dan kemampuan untuk
menegakkan aturan, lebih baik aturan tersebut tidak diberlakukan sejak awal.
Sekedar
pemikiran untuk memperkuat fungsi quality
control dalam diklat, saya meyakini bahwa pendekatan partisipatif merupakan
metode yang sangat efektif untuk mengontrol program diklat A-Z. Maknanya, penyelenggara
harus terlibat langsung dalam setiap aktivitas yang dilakukan peserta. Dengan
demikian, penyelenggara perlu makan bersama, senam bersama, dan tinggal bersama
peserta di asrama. Sementara dalam dimensi akademik, keterwakilan penyelenggara
hendaknya selalu ada di setiap kelas.
Model
partisipatif ini bukan berarti tidak memberikan ruang kebebasan kepada peserta
atau tidak mempercayai perilaku harian peserta. Model ini justru dimaksudkan
untuk mengurangi gap komunikasi antara peserta dan penyelenggara melalui hubungan
yang cair, membaur, dan menyatu. Dalam hubungan yang cair seperti itu, maka
tidak ada lagi kedudukan selaku peserta atau penyelenggara, namun keduanya
sama-sama mengemban misi untuk menjaga diklat agar menjadi momentum yang
menyenangkan dan program yang produktif untuk membangun kinerja organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar