Sebagai
pembelajar pemula systems thinking,
saya mendapat banyak sekali wawasan dan inspirasi tentang bagaimana suatu
pemerintahan mengelola kebijakannya. Salah satu hal yang menarik minat saya adalah
tentang “Hukum Disiplin Kelima” yang terdiri dari 11 kaidah. Namun dalam
refleksi ini saya hanya akan menyinggung hukum pertama dan kedua.
Hukum pertama adalah “Permasalahan hari ini berasal dari solusi
kemaren”. Masalah yang kita hadapi saat ini, seringkali merupakan hasil
solusi masalah yang kita lakukan pada masa lalu. Pemecahan seperti ini –
katanya – hanya mengalihkan masalah dari satu bagian ke bagian lain dari sistem
itu, tanpa dapat dideteksi atau diketahui. Sebagai contoh, jika polisi menangani
suatu masalah peredaran narkoba di suatu wilayah, akan menyebabkan pindahnya
peredaran barang terlarang itu ke wilayah lain yang dilakukan secara lebih
rapi, baik dalam pengorganisasiannya maupun dalam pendistribusiannya (Sumber:
Modul 1.A-2, hal. 20).
Praktek
kebijakan di Indonesia secara umum, nampaknya tidak memperhatikan hukum
tersebut, sehingga banyak kebijakan yang dapat mengurangi masalah tertentu
namun menimbulkan masalah yang sama di tempat berbeda. Sebagai contoh,
Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengalami masalah baru berupa kemacetan
khususnya di sepanjang Jalan Raya Serpong, akibat kebijakan Pemerintah Provinsi
DKI yang melarang truk masuk tol dalam kota dan memaksa truk-truk untuk
mengambil jalan memutar ke wilayah Tangerang Selatan. Pemerintah DKI dapat berbangga
dan mengklaim bahwa kebijakannya telah mengurangi kemacetan di wilayahnya,
tanpa mempedulikan efek negatif di wilayah tetangganya.
Contoh
dengan pola agak berbeda adalah kasus pelemparan batu dan aksi pengrusakan
penumpang kereta api di beberapa stasiun akibat kebijakan PT. KAI yang
menyemprotkan cat kepada penumpang yang naik keatas gerbong. Akibatnya,
penumpang marah dan menimbulkan kerusakan dengan tingkat kerugian yang tidak
kecil, dan memaksa pihak manajemen untuk mencabut kebijakan tersebut dan mencari
alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih humanis. Dalam kasus PT. KAI
ini, kebijakan baru ternyata menimbulkan masalah berbeda di tempat yang sama.
Persamaan dengan kasus pertama, keduanya sama-sama tidak mampu mengatasi
masalah yang ada, namun hanya memindahkan masalah, menimbulkan masalah baru,
atau sekedar menunda masalah. Dalam ilmu systems
thinking, solusi seperti itu disebut symptomatic
solution, bukan fundamental solution.
Dua
ilustrasi diatas ini menunjukkan bahwa pemerintah (cq. Pemprov DKI dan PT. KAI)
dapat dikatakan tidak menggunakan pendekatan dan cara berpikir sistem dalam
perumusan kebijakan. Mereka juga dapat disebut tidak mengalami proses
pembelajaran, atau mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran. Kegagalan
mereka untuk belajar, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali perubahan
disekitarnya. Pemerintah DKI mungki tidak menyadari bahwa penambahan penduduk
dan pemukiman, peningkatan jumlah kendaraan, perkembangan sektor-sektor ekonomi
tumbuh teramat pesat sehingga menimbulkan kesenjangan yang semakin parah
dibandingkan dengan kemampuan Pemprov DKI menyediakan infrastruktur jalan,
kapasitas polisi untuk mengatur ruas jalan, atau kemampuan anggaran dan petugas
Dinas Perhubungan dalam menata rambu dan marka lalu lintas.
Ketika
perubahan lingkungan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan proses
pembelajaran aparatur, maka dapat dipastikan terjadi bottlenecking kebijakan seperti kedua kasus diatas. Ironisnya, saat
terjadi bottlenecking kebijakan, yang
ditempuh adalah paradigma pragmatis untuk menyelesaikan masalah pada jangka
pendek. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa cara berpikir serba sistem (systems thinking) belum dipraktekkan
dalam manajemen kebijakan publik.
Selanjutnya,
hukum kedua adalah “Semakin keras kita menekan, yang kita hadapi
juga semakin luas”. Contoh hukum ini misalnya terjadi di AS tahun 1960-an,
dimana ada kebijakan pembangunan perumahan bagi kalangan bawah dan kebijakan
peningkatan ketrampilan kerja masyarakat di kota-kota yang dianggap lemah ekonominya.
Satu dekade setelahnya, keadaan di kota-kota tersebut justru semakin memburuk,
meskipun bantuan pemerintah ditingkatkan. Penyebabnya adalah orang-orang yang
berpendapatan rendah dari kota lain dan pedesaan berbondong-bondong pindah ke
kota yang mempunyai program insentif tersebut. Akhirnya, program perumahan baru
menjadi sangat sesak, dan program pelatihan kerja dibanjiri oleh pelamar. Pada
saat yang sama, penerimaan pajak mulai terkikis, sehingga mengakibatkan lebih banyak
orang terperangkap dalam kemiskinan (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 21).
Naga-naganya,
bangsa Indonesia-pun terjangkiti oleh penyakit serupa. Di bidang pendidikan,
misalnya, terdapat kebijakan bahwa guru harus memiliki
kualifikasi minimal sarjana dan jika memungkinkan tersertifikasi. Atas nama desentralisasi,
banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan dana besar untuk peningkatan
kualifikasi guru. Namun yang kemudian terjadi, para guru yang telah mencapai
jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan
atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah daerah
asal untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi
daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar di
daerahnya sendiri. Kasus pemberian BLT (bantuan langsung tunai) juga
mencerminkan berlangsungnya hukum kedua tadi. Peningkatan jumlah penerima BLT
dan anggaran yang dialokasikan, mengilustrasikan terjadinya kasus yang sama
seperti di AS periode 1960-1970an.
Kedua kasus diatas juga
menggambarkan secara gamblang bahwa kebijakan yang ditempuh tidak berbasis pada
pendekatan serba sistem. Sebagian besar kebijakan kita nampaknya masih lebih
bersifat linier dan reaktif terhadap masalah yang ada. Akibatnya, masalah yang
dihadapi tidak dapat dipecahkan secara holistik dan komprehensif. Masalah yang
berhasil diatasi hanyalah masalah yang ada di permukaan, sementara inti masalah
yang sebenarnya tidak pernah teruraikan secara tuntas.
Adapun
sembilan “Hukum Disiplin Kelima” yang tidak saya elaborasi lebih jauh adalah
“Perilaku berkembang membaik, sebelum memburuk”; “Pemecahan masalah yang mudah
umumnya menggiring kembali ke masalah tersebut”; “Upaya penyembuhan dapat lebih
buruk dari pada penyakitnya sendiri”; “Sesuatu yang lebih cepat biasanya akan
lebih lambat”; “Sebab dan akibat tidak begitu erat terkait dengan ruang dan
waktu”; “Perubahan yang kecil dapat menghasilkan hasil yang besar, namun
wilayah dengan kemampuan daya ungkit terbesar itu biasanya tersembunyi (tidak
jelas)”; Anda dapat memiliki kue anda, dan juga memakannya, tetapi jangan
sekaligus”; “Membelah seekor gajah tidak akan menghasilkan dua ekor gajah
kecil”; “Jangan saling menyalahkan dan jangan menghujat”.
Bayangkan
saja, jika kita bisa mengambil banyak pelajaran dari dua hukum, berapa banyak
perbaikan dan kemajuan yang dapat kita raih dengan belajar pada hukum-hukum
lainnya? Sumber belajar ada dimana-mana, tersebar dilingkungan dimanapun kita
berada. Setiap orang yang kita temui-pun, pada hakekatnya juga adalah sumber
belajar yang potensial. Maka, tidak ada alasan untuk tidak belajar atau menunda
untuk belajar. Belajarlah mulai sekarang, dan mulailah dari diri kita
masing-masing …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
17 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar