Dalam berbagai kesempatan diskusi, saya
sering mengamati bahwa istilah diskresi dan inovasi sering dicampuradukkan
secara sembrono. Padahal, kedua istilah ini tidak saling mengenal dan memiliki
pengertian yang jauh berbeda. Untuk bisa berinovasi, seseorang tidak butuh
diskresi. Bayangkan saja jika diskresi menjadi instrumen inovasi, maka hanya
orang-orang yang memiliki kewenangan saja yang memiliki peluang untuk
berinovasi. Sebaliknya, orang yang mengeluarkan diskresi tidak serta dapat
disebut sebagai orang yang sedang melakukan inovasi. Selain itu, diskresi adalah
instrumen kebijakan di ranah hukum, sedangkan inovasi lebih banyak bermain di
wilayah administrasi negara.
Pencampuradukan yang gegabah antara
diskresi dengan inovasi ini lahir dari kekeliruan menafsirkan diskreasi maupun
inovasi itu sendiri. Arti sesungguhnya dari diskresi menurut Rancangan UU
Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) adalah keputusan dan/atau tindakan yang
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan
perundangundangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Definisi ini menegaskan bahwa
diskresi bukanlah sesuatu yang menabrak aturan atau melanggar hukum,
sebagaimana dipersepsikan secara salah kaprah selama ini. Dengan memberikan
“kewenangan lain” diluar kewenangan yang sudah terdefinisikan dengan jelas,
maka diskresi justru dimaksudkan untuk “melindungi” seorang pejabat agar dalam
melaksanakan tugasnya tidak terjebak pada dugaan pelanggaran hukum.
Bahwa banyak pejabat yang kemudian
menjadi tersangka tindak pidana korupsi setelah mengeluarkan diskresi, itu
bukan karena diskresinya, melainkan karena menerapkan diskresi secara keliru.
Meskipun diskresi itu banyak disamaartikan dengan freies ermessen atau kebebasan untuk bertindak bagi seorang
pejabat, namun tetap tidak dapat dijalankan secara sembarangan. Ada beberapa
rambu yang harus dipatuhi oleh seorang pejabat sebelum mengeluarkan diskresi,
misalnya bahwa tujuan penetapan diskresi adalah untuk kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian
hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum. Tujuan diskresi yang selain dari tujuan
tersebut dapat dikatakan sebagai diskresi yang illegal. Selain itu, diskresi juga harus memperhatikan dengan
sungguh-sungguh ketentuan peraturan perundang-undangan, asas-asas umum
pemerintahan yang baik, dan berdasarkan
alasan-alasan yang obyektif, serta tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan dan
wajib dilakukan dengan itikad baik. Dengan karakteristik diskresi yang begitu
mulia, sungguh aneh dan ironis jika pada akhirnya diskresi justru dimaknakan
sebagai breaking the laws.
Nah, nasib yang terjadi pada diskresi
dialami pula oleh inovasi. Pada hakekatnya, inovasi adalah sebuah perubahan
atau pembaharuan dalam hal cara berpikir, cara kerja, atau cara bertindak
sehingga dapat dihasilkan output kerja
yang jauh lebih baik, lebih cepat, dan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Tidak
sedikitpun ada unsur “pelanggaran aturan” dalam pengertian maupun spirit
inovasi. Sebagaimana ucapan yang sering kita dengar: “mengharapkan hasil yang
berbeda dengan cara-cara yang sama, adalah sebuah kegilaan yang nyata”, maka mindset inovasi sesungguhnya adalah result oriented. Inovasi bukanlah
tujuan, melainkan hanya sekedar sarana / media untuk mewujudkan kinerja yang
berlipat ganda dan jauh lebih bermakna. Sayangnya, inovasi – seperti halnya
diskresi – sering menjadi “tersangka” pelanggaran hukum. Artinya, kasus-kasus
pelanggaran hukum sering mengatasnamakan inovasi dan diskresi sebagai
penyebabnya. Ketika sama-sama sering menjadi tertuduh dalam kasus-kasus hukum
itulah, diskresi dan inovasi menjadi “dua sejoli yang sehidup semati” dan
selalu mendapat fait accompli (Inggris:
an accomplished fact) dari berbagai
pihak yang kurang bertanggungjawab.
Dari uraian diatas dapat kita tarik
pelajaran bahwa praktik diskresi dan inovasi harus dijauhkan dari orang-orang
yang memiliki mindset koruptif.
Diskresi dan inovasi hanya akan menghasilkan kebaikan dan kemanfaatan di tangan
orang-orang dengan jiwa bersih, pikiran lurus, dan mental kuat, sehingga mereka
tidak akan “mengkhianati” atau mengatasnamakan diskresi dan inovasi untuk
mencapai tujuan sesat dan kepentingan sesaat mereka.
Satu lagi agenda yang nampaknya perlu
dilakukan. Dari pada membiarkan diskresi dan inovasi sebagai dua sejoli yang
tidak saling kenal namun sering menjadi pesakitan, lebih baik sekalian kita
“kawinkan” dua makhluk beda jenis ini. Maksudnya, diskresi yang dilambari oleh
kemampuan berinovai, tentulah akan menjadi diskresi yang luar biasa. Begitu
juga inovasi yang didukung oleh kewenangan diskresi, akan membuat inovasi tadi
memiliki status yang semakin kokoh.
Jakarta, 14 Maret 2014.
(sepanjang perjalanan ke kantor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar