Senin, 17 Maret 2014

Kota Kreatif



Di suatu sudut kota, seorang pedagang kerak telor dengan sabar berharap ada yang membeli dagangannya. Sudah hampir satu jam belum juga ada yang membelinya. Dengan sesekali menyeka keringatnya, ia berbincang dengan pedagang siomay disebelahnya yang bernasib sama. Entah apa yang diperbincangkan. Mungkin mereka sedang meratapi nasibnya yang harus berjualan sejak pagi hingga sore bahkan terkadang sampai malam, namun hasil yang diperoleh tidak seberapa. Tidak jauh dari kedua pedagang tersebut, seorang anak rajin menjajakan kerupuk yang ditentengnya dalam sebuah kantong plastik besar. Ia mendekati mobil-mobil yang baru datang atau akan meninggalkan tempat parkir. Sesekali tawarannya nyantol, namun lebih sering ia harus gigit jari karena sebagian besar calon pembelinya menunjukkan raut muka tidak tertarik. Anak itu ternyata tidak sendirian. Ada teman-teman sebayanya yang menjajakan koran dan majalah, atau ada pula yang menenteng kotak berisi perlengkapan semir sepatu.

Itulah sekelumit pemandangan di halaman toko dan di pinggiran jalan sebuah kota besar di Indonesia. Jika kita melihat mereka secara tersendiri, mungkin akan timbul rasa iba atas nasib kedua pedagang tadi dan ratusan koleganya di sektor informal. Namun jika mereka dilihat sebagai sebuah kesatuan di sudut kota Bandung bernama Dago, Braga, atau Buah Batu, maka akan membentuk sebuah wajah kota yang lengkap, dimana semua pilihan tersedia disana. Kontribusi para pedagang tadi dalam membentuk wajah kota semakin disempurnakan oleh keberadaan toko-toko yang berderet sepanjang jalan protokol itu. Mereka seperti berlomba menggaet naluri hedonisme warganya melalui sajian yang menggiurkan, dari industri kuliner beraneka cita rasa, produk fashion dan sepatu model-model terbaru, alat-alat elektronik dan gadget mulai yang termurah sampai yang bernilai puluhan juta, kosmetik ala selebriti, hingga barang-barang seni seperti lukisan, kerajinan tangan, dan beragam souvenir khas kota kembang. Tentu, hotel-hotel yang didesain unik hadir disana menyemarakkan geliat kota yang sangat dinamis.

Kehidupan kota yang begitu bergairah, ditambah lagi oleh aksi kawula mudanya yang seperti ingin tampil beda. Beberapa diantaranya nongkrong di café. Sambil bercakap dengan temannya, mereka asyik dengan laptopnya berkelana di alam maya. Mereka seperti tidak mau tertinggal berita apapun, atau hanya sekedar meng-update status dan ber-narsis ria dengan memajang foto-fotonya di media sosial. Sementara sekelompok anak muda yang lain lebih kreatif dalam mengekspresikan jati dirinya. Saat saya melintas pelan di jalan Dago itu, misalnya, segerombol muda-mudi yang berpenampilan bersih dan cukup trendy menyetop saya, kemudian berjoged dan bernyanyi bersama. Meski terkesan tidak dipersiapkan dengan baik, namun pemandangan ini memberi nuansa yang berbeda. Ketika saya tanya siapa mereka dan apa motifnya, ternyata mereka adalah para mahasiswa yang sedang menggalang dana untuk meringankan beban saudara-saudara kita yang terkena bencana, atau untuk bakti sosial seperti sunatan massal, dan sejenisnya.

Dari berbagai fakta itulah, langsung terbersit dalam benak saya bahwa Bandung adalah sebuah kota kreatif. Sama halnya ketika saya berjalan di lorong jalan Malioboro di Yogya, terasa benar nuansa kreatif yang terpancar dari cara berpakaian para pedagang dan artis jalanan, barang-barang dagangan yang unik dan khas Jawa, beberapa arsitektur yang masih mempertahankan karakter tempo dulu, dan seterusnya, yang secara akumulatif membentuk citra kota yang kreatif. Kesan yang kental kreativitas juga dengan mduah ditemukan di setiap penjuru Bali. Dari utilisasi bunga kamboja untuk beragam keperluan, pohon-pohon bersarung kotak hitam putih, pura-pura yang begitu magis, hingga tarian-tarian yang eksotis, dan seterusnya, terbentuklah kota yang “beda”, yang tidak mudah ditemukan di kota-kota lainnya.

Saya percaya bahwa semua itu merupakan manifestasi dari tata kelola perkotaan yang membuka ruang-ruang kreatif warganya. Disengaja maupun tidak, dan disadari atau tidak oleh walikota dan para birokratnya, kondisi seperti itu tentulah merupakan konsekuensi dari kebijakan pemda setempat. Artinya, selain para pemimpin daerah harus memiliki visi untuk membangun kota yang kreatif, mereka juga harus menyiapkan seperangkat regulasi yang kondusif untuk berkembangnya kreativitas masyarakatnya. Kreativitas individu warga tidak serta merta akan bertransformasi menjadi kreativitas kolektif perkotaan, melainkan butuh intervensi kreatif dari para pemimpin di kota tersebut. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan ruang-ruang terbuka di setiap penjuru kota agar merangsang interaksi antar warga dan menarik mereka untuk mengekspresikan bakat dan hobinya. Bisa juga pemda memasang perangkat wifi di ruang-ruang terbuka tadi, atau mewajibkan setiap kafe, restoran, dan hotel untuk memiliki koneksi internet nirkabel secara gratis. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan membangun gedung pertunjukan untuk mewadahi aksi kreatif masyarakat seperti membaca puisi, sendra tari, pantomim, lawak/komedi, sulap, pidato kebudayaan, bahkan bermain skateboard, dan sebagainya. Boleh jadi pula pemda mengundang para pelukis graffiti untuk mencurahkan imajinasinya dalam gambar-gambar di sudut-sudut kota yang kumuh. Intinya, para pemimpin itulah yang wajib melakukan upaya transformasi secara sengaja dengan mengoptimalkan regulasi, otoritas, dan sumber daya yang dimiliki sehingga terwujudlah kota kreatif yang didambakan.

“Kota kreatif” sendiri ternyata bukan hal baru. Ketika saya masukkan kata tadi di Google, ternyata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah mengajukan 4 (empat) kota sebagai kota kreatif kepada UNESCO, badan PBB untuk urusan pendidikan, sosial dan budaya, yakni Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Menurut Mari Pangestu, empat kota ini dipilih karena dinilai maju dalam seni, industri kreatif dan desain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Solo dinilai layak sebagai kota kreatif, karena setiap akhir pekan, jalan-jalan ditutup untuk menciptakan ruang kreatif bagi masyarakat, yakni dengan menggelar performing art, pameran dan memberi kesempatan UKM pameran bahkan sampai izin usaha gratis. Bandung dinilay layak sebagai kota kreatif karena dinilai memiliki sisi visioner dalam bidang pariwisata dan kuliner. Sedangkan Pekalongan memiliki museum batik serta industri batik dan Yogyakarta dinilai memiliki ragam budaya dan seni, serta menjadi tujuan wisata Indonesia. Jika salah satu atau keempat kota nantinya ditetapkan oleh UNESCO sebagai kota kreatif, maka akan berkedudukan sama dengan London dan Paris yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Saya yakin, kota-kota yang lain memiliki kreativitasnya sendiri-sendiri, sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki kota-kota tersebut. Jika di Yogyakarta menonjol aspek seni budaya yang berbasis pada warisan tradisi keratin, misalnya, di Makasar bisa lebih dikembangkan kreativitas berbasis warisan maritim dan kehidupan bahari. Demikian pula jika kreativitas di Bali lebih didominasi oleh sisi budaya yang berakar pada filosofi Hindu dengan dukungan kekayaan wisata alamnya, maka di Padang bisa diarahkan pada penguatan harmoni sosial dan sistem kekerabatan bersendi sara’. Sedangkan kreativitas pada hal-hal umum seperti kuliner, tari-tarian, seni rupa (lukisan, batik, patung), mitologi atau dongeng tradisional, dan sebagainya, dapat dikembangkan di kota manapun.

Selain konsep creative city, ada juga konsep tentang intelligence city atau ada yang menyebut pula virtual city, digital city, information city, wired city, telecity, knowledge-based city, electronic communities, electronic community spaces, flexi-city, teletopia, dan cyber-ville (Wikipedia). Salah satu kota yang pernah memenangkan penghargaan Intelligent Community of the Year 2005 dari Intelligent Community Forum (ICF), adalah Mitaka, daerah pinggiran barat Tokyo berjarak 18 km dari pusat kota. Beberapa pertimbangan ICF dengan menganugerahkan award tadi adalah karena masyarakatnya yang memberi perhatian tinggi terhadap teknologi dan litbang sehingga terbangun budaya sosial politik yang berorientasi kedepan (forward looking). Selain itu, kota Mitaka juga memiliki ciri adanya kolaborasi antar warga yang erat, yang merupakan syarat untuk pembangunan komunitas yang cerdas (intelligent community). Mitaka juga merupakan basis riset bagi sektor bisnis, pendidikan, dan lembaga pemerintahan. Termasuk perguruan tinggi yang ada di Mitaka adalah International Christian University (ICU) dan Kyorin University. Dan yang paling menonjol dari Mitaka adalah sebagai salah satu pusat produksi kantun “anime” (Ayano Hirose and Ikujiro Nonaka, 2013, “Social Innovation in Mitaka City: Collaborating in Harmony”, Hitotsubashi University: International Corporate Strategy).

Diluar konsep creative city dan intelligent city, masih ada lagi konsep tentang smart city. Di Wikipedia disebutkan bahwa A city can be defined as ‘smart’ when investments in human and social capital and traditional (transport) and modern (ICT) communication infrastructure fuel sustainable economic development and a high quality of life, with a wise management of natural resources, through participatory action and engagement (Caragliu et al. 2009). Namun bagi saya, creative city, intelligent community maupun smart city sesungguhnya memiliki esensi yang sama, yakni adanya spirit inovasi untuk menjadikan kota yang lebih baik bagi penghuninya.

Tentu, Bandung, Yogyakarta atau kota manapun di Indonesia tidak perlu menjadi London, Paris, atau Mitaka untuk dapat menjadi kota kreatif, intelligent community maupun smart city. Karakteristik yang khas dan unggulan lokal masing-masing kota perlu dikemas sedemikian rupa sehingga membedakan kota ini dengan kota manapun, bahkan dibanding dengan Mitaka sekalipun. Semua kembali kepada political will dan kerja keras para pemimpin kota beserta warganya untuk mau melakukan transformasi bagi kotanya ataukah tidak.

Jakarta, 17 Maret 2014

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar biasa bung Tri...saya punya mimpi untuk mewujudkan sebuah kota yang kreatif dan berdaya saing di kota tempat saya tinggal. Pasti seru banget kalo bisa minta nasihat dari bung Tri ini hehehe

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

Dengan senang hati bung. Silakan datang ke kantor saya, LAN Jl. Veteran 10 Jkt. Kebetulan kami memang sedang banyak menggali inovasi2 dari berbagai daerah dan instansi. Senang bisa menjalin komunikasi dengan Bung ... Salam.